ORANG Farisi dan kaum Herodian menjebak Yesus dengan pertanyaan, “Bolehkah membayar pajak kepada kaisar atau tidak?” (Markus 12: 14).
Mereka mengira bakal sukses menjerat Yesus.
Jawaban Yesus, “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.” (Markus 12: 17). Jebakan itu berakhir telak 1-0 untuk Yesus. Mereka bungkam. Diam.
Sebenarnya, jawaban Yesus itu memunculkan banyak pertanyaan. Misalnya, apa yang dimaksud dengan hak kaisar dan apa yang dimaksud dengan hak Allah?
Bukankah semua milik Allah?
Jawabannya akan lebih sulit ketika diletakkan pada konteks orang Kristiani pada zaman Romawi.
Bukankah kaisar yang menangkap, menganiaya, dan membunuh orang Kristen? Masihkah mereka harus membayar pajak kepada pembunuh mereka?
Benar, bahwa semua itu milik Allah. Kendati demikian, orang Kristen itu bagian dari masyarakat. Jadi, mereka mesti memenuhi kewajiban sebagai warga masyarakat. Salah satu bentuknya ialah membayar pajak.
Kewajiban itu bisa diterapkan dalam konteks yang lebih luas, yakni politik yang berarti kebijakan dalam menciptakan kesejahteraan umum.
Orang Kristen memang taat kepada Allah melalui Yesus Kristus. Di samping itu, mereka juga mempunyai kewajiban sosial kemasyarakatan, yakni ikut berpolitik.
Berpolitik yang berarti ikut menciptakan kesejahteraan umum tidak bertentangan dengan ajaran Kristen. Itu menjadi sebagian sarana dalam mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Orang Kristen tidak boleh anti-politik.
Ketika negara dan dunia memutuskan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan prinsip kristiani seperti melegalkan aborsi dan membiarkan ketidakadilan, Gereja harus menyerukan kebenaran dengan melawan kebijakan itu.
Yang mesti diberikan kepada negara bukan hanya pajak, tetapi nilai-nilai kristiani yang menyelamatkan.
Singkatnya, orang Kristen perlu belajar politik dari Tuhan Yesus.
Selasa, 6 Juni, 2023
Alherwanta, O. Carm.