“Gerah” dalam Bahasa Sunda, berarti panas, sumuk, atau rasa tak nyaman.
Dalam Bahasa Jawa kromo, berarti sakit. Bisa badan atau hati.
Saya “gerah manah” saking buruknya (pengelolaan) sampah di masyarakat.
Contoh terdekat, masalah sampah di lingkungan kami.
Coba simak laporan pandangan mata ritual saya di pagi hari, saat jalan cepat di sekitar tempat tinggal.
Durasi perjalanan sekira 60 menit, untuk jarak hampir 6 kilometer, pergi-pulang. Rute yang sebetulnya menyenangkan. Ada perumahan, kampung, tanah kosong dan lapangan.
Udara jernih, lalu-lintas tak riuh, pepohonan rindang di sana-sini, kadang terdengar burung berkicau. Semuanya indah. Kecuali satu: sampah.
Hampir 75% tepi jalan yang saya lalui, berserakan sampah rumahtangga. Gelas, botol dan piring plastik bertebaran di sekelilingnya. Dibuang begitu saja, entah oleh siapa.
Saya menduga pelakunya tidak hanya penduduk sekitar situ. Mereka yang datang dari jauh sengaja mencari lokasi sepi untuk membuang sampah. Dipilih waktu dan tempat yang pas agar aman dan leluasa.
Selokan dan sungai-kecil idem ditto. Airnya hitam, jangan tanya aromanya. Kalau turun hujan kecil, air meluap dan meningggalkan lumpur di jalan.
Itu contoh kecil dari buruknya “pengelolaan sampah” yang bisa membuat orang “gerah”.
Mungkin masyarakat juga pingin sampahnya terkelola dengan baik. Tapi, infrastruktur sangat-sangat tidak memadai.
Pemerintah tak cukup menyediakan prasarana dan sarana. Pura-pura tutup mata, hidung dan telinga, kalau masalah sampah muncul ke permukaan.
Saya pun bingung bagaimana “membuang” sampah dengan benar.
Paling, panggil “tukang sampah” dan bayar bulanan sekadarnya. Kalau ada baju bekas layak pakai kami “lempar” kepadanya. Setahun sekali kasih bingkisan dan THR. Sekali-kali nggenggemi tips, yang jumlahnya tak seberapa.
Itu pun sudah merasa berjasa besar. Tak peduli apa yang terjadi di hilir sana.
Bisa jadi, yang saya keluhkan ini, sedikit banyak, hasil ulah yang saya lakukan di hulunya. Celakanya, itu sudah berlangsung bertahun-tahun, tanpa ada tanda-tanda usaha perbaikan.
Dua hari lalu, saya “curhat” soal sampah di suatu grup WA alumni. Hanya satu balasan yang menanggapi rasa gerah itu. Dia menceritakan apa yang dilakukan warga di perumahannya, sekitar Tanjung Barat, Jakarta Selatan.
Sebut saja namanya Jajang. Berdua dengan isterinya. Panggil saja, Pri.
Pasutri ini menjadi duet “pahlawan sampah” di daerahnya. Mereka menginisiasi dan menggerakkan tetangga-tetangganya.
Sudah lebih dari tiga tahun menghimpun warga satu demi satu, waktu demi waktu, problem demi problem, sampai terkumpul 350 KK dari 400-an KK di kompleksnya. Ya, ada juga yang tak mau ikut perbuatan mulia seperti ini.
Relawan-relawan ini membuat “organisasi” kecil-kecilan dengan nama “Pos Bijak”.
Slogannya: “Pilah, olah dan manfaatkan”.
Prosesnya dimulai dari memilah sampah menjadi organik, anorganik, minyak jelantah dan residu (tidak termasuk dalam ketiga jenis pertama dan tidak bisa didaur ulang).
Proses utamanya adalah: “Komposter, fermentasi limbah organik dengan bio-aktivator/ starter”.
Saya tak sabar menunggu cerita tentang hasil yang mereka wujudkan selama tiga tahun tertatih-tatih.
Untung, Jajang menyampaikan kabar gembira dengan penuh antusias.
Sampah yang semula sebanyak 10 kontener per pekan, saat ini tinggal 2 kontener berupa residu.
Selisihnya menjadi produk berharga seperti kompos dan bio-diesel, plus sedikit rupiah dari jenis anorganik.
Ternyata, pasutri ini tidak sendirian.
Di daerah lain, ada perempuan mungil dan gesit dari Klaster Kasuari, Sektor 9, Bintaro Jaya.
Namanya Tini. Mereka malah sudah menginisiasi kegiatan semacam ini sejak 15 tahun lalu. Lebih dari 350 KK berhasil berhimpun.
Semangatnya luar biasa. Wajah Tini langsung berbinar-binar, bila bercerita soal sampah.
Beberapa penghargaan dari pemerintah dan swasta diraihnya.
Tahun 2013, mereka menyabet gelar juara lomba lingkungan antar klaster grup D, tujuh kali berturut-turut.
Mendengar cerita tentang passion mereka, saya seolah mahasiswa tingkat pertama yang ikut kuliah dari dosen bergelar guru besar. Langkah-langkah mencengangkan yang penuh makna dan mulia.
Karena kompleksitasnya sangat tinggi, tak heran kalau banyak pihak tak terlalu optimis dengan inisiatif mereka. Lingkupnya lokal dan terbatas, padahal ini masalah berskala nasional, atau malah global.
Mana bisa membudaya kalau supra-struktur absen berkepanjangan dalam menangani problem sampah yang nyata, di depan mata. Namun, sekecil apa pun, sesuatu telah dilakukan.
Tak semua orang mampu membuahkan karya besar yang bermanfaat bagi banyak orang. Tapi semua orang bisa mengukir karya sederhana yang dilakukan dengan cinta yang besar.
Jajang, Pri dan Tini seolah lentera kecil di ujung lorong panjang yang gelap gulita.
“Not all of us can do great things. But we can do small things with great love.” (Mother Teresa)
@pmsusbandono
8 Juli 2023
Baca juga: Fenomena Burung Plover: Win-win Solution