Bukan Korban, Melainkan Belas Kasih

0
364 views
Buatlah kebaikan di Hari Sabat - Tangannya disembuhkan by paucaverba.

Jumat 21 Juli 2023

  • Kel. 11:10-12:14.
  • Mzm. 116:12-13,15-16bc,17-18.
  • Mat. 12:1-8

MANUSIA pada dasarnya punya rasa atau kemauan untuk membenarkan dan menyalahkan orang lain sesuai dengan nilai yang diyakininya.

Manusia dapat dengan mudah memberi label atau nilai benar dan salah.

Kalau ada hal yang sesuai dengan nilainya akan dikatakan benar, namun jika ada hal yang tidak seauai dengan nilai yang diyakininya akan dinyatakan salah.

Orang Farisi dengan mudah dapat menentukan benar atau salah karena ada larangan atau perintah.

Ini adalah nilai dasar yang dibuat oleh orang Farisi sehingga bagi yang melanggar nilai tersebut dinyatakan salah dan bila dilaksanakan maka dinyatakan benar.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,

“Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembadilaktentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah.

Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas Hari Sabat.”

Allah menghendaki “hati yang benar” jauh melebihi “hal-hal lahiriah” yang telah menjadi apa yang dilakukan bangsa Isarel hanya sekedar mungkin tata cara belaka.

Allah menolak praktik-praktik keagamaan Isarel, dengan kata-kata “Aku menyukai kasih setia, dan bukan kurban sembelihan”.

Kasih setia ini diterjemahkan dengan kata kasih yang mencakup kasih terhadap Allah dan kasih terhadap sesama manusia.

Belas kasihan adalah tindakan yang keluar dari hati yang tulus tanpa memandang rupa dan status. Hati ini tergerak untuk menolong karena dorongan rasa belas kasih yang ada di dalam diri kita.

Melalui perenungan firman Tuhan ini kita semakin tahu dan menyadari bahwa Allah menghendaki hati yang dipenuhi dengan belas kasihan yaitu hati yang penuh kasih kepada Allah dan kepada sesama.

Allah tidak menghendaki praktik keagamaan yang hambar, formalitas, dan rutinitas, sekalipun secara kasat mata luar biasa, namun jika di dalamnya tidak ada unsur kasih yang benar kepada Allah dan membawa dampak yang baik bagi manusia, maka hal itu adalah hal yang ditolak Allah.

Seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Farisi, yang secara kasat mata penuh dengan “ketaatan terhadap hukum Taurat” namun sebenarnya itu tidak berasal dari hati untuk mengasihi Allah tetapi untuk mendapat “pujian” bagi dirinya sendiri.

Bukan dari dalam hati untuk membawa dampak yang baik bagi sesama, tetapi untuk menghakimi sesama.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah hidup keagamaanku menjadi jalan kasih kepada sesama?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here