Puncta 07.08.23
Senin Biasa XVIII
Matius 14: 13-21
SETIAP kali rapat atau pertemuan kelompok, diumumkan kepada peserta, “Besuk kita kumpul dengan membawa lima roti dan dua ikan.”
Lima roti dan dua ikan sudah seperti bahasa sandi yang disepakati bersama bahwa untuk rapat atau pertemuan semua peserta akan membawa konsumsi dari rumah masing-masing.
Para anggota sudah tahu dengan sendirinya bahwa kita saling berbagi dengan apa saja yang kita punya.
Ada yang membawa pisang goreng, ubi rebus, gudeg, B1 dan B2, sayur-sayuran, lauk-lauk untuk makan. Ada pula yang membawa tahu tempe bacem atau makanan khas dari daerah tertentu.
Orang tidak repot-repot iuran atau setor uang, tetapi apa yang dipunyai dikumpulkan untuk dinikmati bersama.
“Lima roti dua ikan” sudah menjadi bahasa kesepakatan bersama. Hasilnya? Berlimpah-limpah bahkan banyak yang tersisa.
Dalam hal ini pun para ibu sudah punya jurus jitu yakni mengeluarkan tas plastik. Makanan yang sisa dikumpulkan dan dibagi-bagi bersama.
Mukjizat Lima roti dan dua ikan itu dibuat Yesus untuk memberi makan limaribu orang. Yesus memerintahkan para murid-Nya. “Kamu harus memberi mereka makan.”
Para murid tidak boleh lari dari masalah. Mereka harus bisa menyelesaikan masalah.
Tindakan Yesus itu terus dilakukan Gereja sampai sekarang. Dengan berbagai cara umat Allah diajak untuk berbagi. Semangat berbagi itu didasarkan pada kasih Yesus yang memberikan Diri-Nya dalam Ekaristi.
Sakramen Ekaristi adalah sakramen berbagi.
Sebagaimana roti yang dipecah dan dibagikan, demikianlah hidup kita juga harus siap dikorbankan dan dibagikan kepada orang lain.
Kita selalu mendengar perintah “Pergilah, kamu diutus,” pada akhir Ekaristi.
Semoga kita bisa menghayati semangat berbagi dalam kehidupan karena hanya dengan begitu, hidup kita akan berarti.
Sore-sore ke Pantai Drini,
Lihat ombak menari-nari.
Kalau kita mau berbagi,
Hati bahagia tak henti-henti.
Cawas, mari kita berbagi