Lectio Divina 18.08.2023 – Ia Memanggil untuk Perkawinan dan Untuk Kerajaan-Nya

0
181 views
Maka, mereka bukan lagi dua, by Vatican News

Jumat. Pekan Biasa XIX (H)

  • Yos. 24:1-13
  • Mzm. 136:1-3.16-18.21-22.24
  • Mat. 19:3-12

Lectio

3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” 4 Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?

5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

7 Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” 8 Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.

9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” 10 Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.”

11 Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. 12 Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat.

Meditatio-Exegese

Dahulu kala di seberang sungai Efrat

Kitab Yosua bukan laporan perang, tetapi tentang kesetiaan Allah pada janji-Nya dan panggilan untuk selalu setia pada-Nya. Kestiaan-Nya mendorong Yosua memperbaharui perjanjian umat dengan-Nya di Sikhem.

Dikisahkan karya Allah untuk umat Israel di masa lampau (Yos. 24:1-13). Ia memanggil Abram dari Ur-Kasdim untuk menjelajahi tanah yang dijanjikan-Nya dan menyingkirkan seluruh dewa asing hanya untuk menjadikan-Nya satu-satunya Allah.

Ia kemudian melakukan serangkaian karya penyelamatan untuk bangsa itu hingga mereka siap mendiami tanah terjanji. Semua terjadi bukan karena jasa umat, tetapi karena Ia mengasihi mereka tanpa syarat.    

Setelah kasih setia Allah dikisahkan pada bangsa itu, Yosua memberi kesempatan pada bangsanya untuk memilih: setia pada Allah atau menolak-Nya. Masing-masing bebas untuk membuat keputusan.

Dan ia telah menetapkan pilihan bebasnya, “Pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang Sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan.” (Yos. 24:15)

Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?

Santo Matius  menggunakan kataπειραζοντες, peirazontes, dari kata peirazo: mencobai, menguji. Kata ini juga digunakan ketika setan mencobai Yesus di gurun (Mat. 4:1-11).

Kaum Farisi bertanya pada Yesus bukan untuk mencari kebenaran atau belajar tentang siapa diri-Nya, tetapi untuk menjelekkan atau menjatuhkan nama-Nya di muka umum (Mat. 12:13; Luk. 11:52-53). Sebenarnya yang dilakukan oleh kaum Farisi sangat ganjil.

Mereka tidak berupaya untuk menyingkapkan rencana keselamatan Allah. Mereka justru menyingkapkan rencana setani yang bertentangan dengan rencana Allah.

Kaum Farisi berharap Yesus melakukan kesalahan, sehingga mereka dapat merekayasa tindakan untuk melawan-Nya. Jika Ia menolak perceraian dengan alasan apa pun, mereka berharap dapat menempatkan Yesus dalam posisi seperti Yohanes Pembaptis, yang dihukum mati karena mengecam Herodes Antipas yang mengawini isteri saudaranya, Filipus.

Atau, jika Ia membolehkan perceraian tanpa pembatasan, mereka dapat menuduhNya seperti orang kafir yang membolehkan perceraian tanpa batasan.

Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia

Mengutip Kitab Kejadian Yesus mendefinisikan perkawinan antara Adam dan Hawa serta keturunan mereka. Mereka diciptakan secitra dengan Allah (Kej. 1:26-27); dan, kemudian,  “Lalu berkatalah manusia itu, ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”

Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:24).

Dengan cara ini, Yesus menyingkapkan kehendak Allah dan apa yang diharapkan dari perkawinan: dua orang yang berbeda jenis kelamin melaksanakan pekawinan yang tak terceraikan, sehingga mereka menjadi satu daging.

Adam diciptakan demi Hawa dan sebaliknya, bukan untuk yang lain. Mereka adalah model dan simbol atas perkawinan yang akan datang.

Perceraian diijinkan Musa, pada dasarnya, bukanlan perintah, seperti yang ditafsirkan para Farisi dan ahli Taurat. Ijin diberikan Musa karena sikap batin bangsa tidak setia pada perjanjian dengan Allah.

Perkawinan yang tak terceraikan dipandang berat oleh para murid. Tetapi, kehadiran-Nya di perjamuan kawin di Kana memberi jaminan bahwa Ia akan selalu hadir dalam setiap perkawinan dan perkawinan menjadi tanda kehadiran-Nya (bdk. Yoh 2:1-11; Katekismus Gereja Katolik, 1613).

Gereja mengajar, “Dalam pewartaan-Nya, Yesus mengajarkan dengan jelas arti asli dari persatuan pria dan wanita, seperti yang dikehendaki Pencipta sejak permulaan; izin yang diberikan oleh Musa untuk menceraikan isteri adalah suatu penyesuaian terhadap ketegaran hati (bdk. Mat 19:8).

Kesatuan perkawinan antara pria dan wanita tidak tercerai – Allah sendiri telah mempersatukan mereka; “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6).”  (Katekismus Gereja Katolik, 1614).

Santo Yohanes Chrysostomus, 347-407, menulis, “Yesus menyingkapkan hal yang sangat menakutkan untuk merusak hukum ini. Ketika menetapkan hukum ini, Ia tidak bersabda, “Karena itu, jangan memisahkan atau menceraikan” tetapi ”Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. 

Jika kamu mengutip Musa, Aku akan mengutip Allah, yang diimani Musa; dan bersamaNya, Aku selalu kuat. Karena, sejak awal mula penciptaan, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Inilah hukum yang berlaku sejak jaman kuna, bahkan jika tampaknya manusia baru saja menemukannya.

Hukum ini tetap teguh. Dan Allah tidak hanya membawa perempuan kepada suaminya,  tetapi juga memerintahkannya untuk meninggalkan ayah dan ibunya. Ia juga tidak hanya memerintahkan laki-laki untuk pergi kepada perempuan itu, tetapi juga mengikatkan diri padanya.

Dengan cara ini, Ia menyingkapkan bahwa mereka tidak dapat dipisahkan atau diceraikan. Bahkan, Allah pun tidak puas dengan perintah yang sabdakan-Nya, karena Ia masih meminta mereka mencari persatuan yang lebih luhur lagi: ‘karena keduanya itu menjadi satu daging’.” (The Gospel Of Matthew, Homily 62.1)

Dan ada pula yang memilih sendiri untuk tidak kawin, supaya dapat melayani Allah.

Selibat dan perkawinan sangat diperlukan untuk pertumbuhan Gereja. Masing-masing memiliki panggilan yang unik dari-Nya.

Santo Paus Yohanes Paulus II mengajar, “Selibat pasti merupakan anugerah Roh Kudus. Anugerah yang serupa walau berbeda terkandung dalam panggilan untuk kasih setia dan benar dalam perkawinan, yang diarahkan untuk penciptaan manusia baru/prokreasi sesuai dengan kodrat manusiawi, tepatnya dalam konteks Sakramen Perkawinan.

Jelaslah bahwa anugerah ini sangat penting bagi perkembangan Gereja, umat Allah. Tetapi, bila komunitas ini menghendaki untuk menanggapi dengan sepenuhnya panggilan pada Kristus, haruslah disadari, dengan kesadaran yang tepat, akan anugerah hidup selibat ‘demi Kerajaan Allah’.” (Letter To All Priests, 1979).

Katekese

Diapanggil Untuk Sakramen Perkawinan. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936 – sekarang:

“Sakramen perkawinan bukan sekadar kesepakatan sosial, ritual kosong atau hanya tanda lahiriah dari suatu perjanjian.

Sakramen adalah hadiah yang diberikan untuk pengudusan dan keselamatan pasangan, karena “bahwa mereka saling memiliki, secara nyatamenghadirkan hubungan Kristus sendiri dengan Gereja melalui lambang sakramental. 

Maka, suami-istri terus-menerus mengingatkan Gereja akan kejadian di kayu salib. Antara mereka sendiri dan bagi anak-anak, suami-isteri bersaksi tentang keselamatan, yang mereka terima berkat Sakramen.” (Yohanes Paulus II,  Anjuran Apostolik Familiaris Consortio, 94)

Perkawinan adalah suatu panggilan karena merupakan jawaban terhadap panggilan khusus untuk menghayati kasih suami-istri sebagai tanda belum sempurna cinta antara Kristus dan Gereja.

Dengan demikian, keputusan untuk menikah dan membentuk keluarga harus menjadi buah dari suatu pertimbangan panggilan.” (Seruan Apostolik Amoris Laetitia, 72).

Oratio-Missio

Tuhan, sucikanlah hidup kami – baik yang membangun keluarga maupun menghayati hidup bakti – agar kami menghayati hidup sebagai insan yang disucikan untuk-Mu. Amin.              

  • Apakah melalui cara hidupku sekarang – menikah atau selibat, aku sungguh menghadirkan Kristus?

Quod ergo Deus coniunxit, homo non separet – Matthaeum 19:6

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here