Melayani Umat Indian di Reservasi Lower Brule, South Dakota, AS (1)

0
1,083 views

KAWASAN Reservasi untuk orang-orang Indian di Lower Brule, South Dakota, AS ini dibangun oleh  para misionaris Jerman yang datang ke South Dakota akhir abad ke-18.  Pada karya misi tahap awal ini, Serikat Jesus mengutus para anggotanya  dari Provinsi Jesuit  Jerman.

Tak lama setelah para Jesuits tiba di tanah Indian, mereka mempelajari bahasa Indian baik dialek Lakota maupun Dakota. Dua dielek ini lazim dipakai oleh umat Indian yang termasuk ke dalam bangsa Sioux. Mereka tidak mengambil kursus bahasa Indian secara resmi, tetapi cukup tinggal bersama keluarga-keluarga Indian.  Dengan cara itulah mereka mempelajari bahasa Indian seraya melatih tokoh-tokoh masyarakat Indian menjadi katekis. Para katekis itu selanjutnya membantu para misionaris memberitakan Injil di antara suku-suku Indian. Mereka tidak dibekali aneka metode pengajaran dan teologi. Jika mempunyai sedikit pemahaman teologi dan kemauan untuk mengajar, mereka diberi peran untuk mengajar masyarakat mereka sendiri.

Perubahan besar harus terjadi. Sebagai sebuah negara berdaulat, pada abad itu Amerika Serikat secara gencar menerapkan sistem pendidikan di sekolah-sekolah. Segala misionaris yang berkarya di Amerika harus belajar bahasa Inggris. Demikianlah pula semua orang Indian, tua-muda, dewasa, anak-anak, harus belajar bahasa Inggris.

Bahasa Inggris menjadi bahasa komunikasi dan bahasa pemersatu semua warga Negara Amerika yang memperluas wilayahnya ke arah Samudera Pasifik. Akibatnya, banyak warga Indian menderita secara psikologis and secara fisik karena tak mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Bahkan jika ketahuan mereka berkomunikasi dalam bahasa Indian, mereka diwajibkan membayar denda.

Kecuali itu, sistem pendidikan di sekolah mewajibkan anak-anak Indian tinggal di asrama-asrama di kompleks sekolah. Implikasi dari sistem pendidikan berpola asrama itu ialah bahwa semua anak usia sekolah diambil dari tengah-tengah keluarga mereka. Idea semacam ini jauh dari budaya Indian. Semua ini terjadi atas kebijakan pemerintah untuk membuat warga Indian segera menjadi bagian integral dari budaya warga kulit putih yang dianggap jauh lebih unggul daripada budaya Indian, yang notabene adalah warga pribumi benua America.

Semua kebiasaan, adat-istiadat, dan kepercayaan yang berasal dari budaya Indian dianggap sebagai sesuatu yang terkontaminasi oleh kegelapan atau setan. Pendidikan anak-anak di luar keluarga itu tak pernah menjadi pemikiran para orang tua Indian. Mereka hanya bisa bersedih menahan pilu seraya menyaksikan penghancuran budaya Indian secara sistematis.

Secara tak terduga timbullah reaksi negatif dari banyak warga Indian. Semula mereka menyambut secara hangat para misionaris. Kini mereka berubah sikap. Mereka menjadi sangat anti terhadap Gereja dan segala bentuk pelayanan dari Gereja. Periode ini dideskripsikan sebagai masa dimana mereka mengalami disorientasi yang bagaikan ‘buah simala kama’.

Di satu pihak, mereka ingin kembali, memegang teguh agama asli Indian. Namun hal itu tak mungkin mereka lakukan karena dilarang oleh pemerintah. Di lain pihak mereka enggan menerima keberadaan Gereja yang ternyata tak melindungi mereka dari aneka kebijakan pemerintah, khususnya di bidang pendidikan. Semakin kuat mereka berasumsi bahwa Gereja yang semula berwajah manis, yaitu era ‘ misionaris awal’ ; kini gambaran  wajah manis itu semakin pudar.  Sementara itu, Gereja berwajah Amerika semakin kuat berdiri seraya mengikis aspek-aspek kultur Indian hingga ke akar-akarnya. (Bersambung)

Photo credit: Suster Charles Palm dari Ordo Benediktin dengan berbusana kasual mengiringi anak-anak menyanyi. Suster ini sudah berkarya di Reservasi Crow Creek sejak tahun 1984 (Romo Vincent Suparman SCJ)

Artikel terkait: Melayani Umat Indian di Reservasi Lower Brule, South Dakota, AS (2)

Tautan:  http://www.sacredheartusa.org/news-events/much-new-much-the-same-in-province-birthplace/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here