Lectio Divina 17.09.2023 – Ampuni Saudaramu dengan Segenap Hatimu

0
338 views
Hamba yang tak berbelas kasih, by Sir John Everett Millais.

Minggu. Minggu Biasa XXIV (H)

  • Sir. 27:30-28:9
  • Mzm. 103:1-2.3-4.9-10.11-12
  • Rm. 14:7-9
  • Mat. 18:21-35

Lectio (Mat. 18:21-35)

Meditasi-Exegese

Ampunilah kesalahan kepada sesama orang, niscaya dosa-dosamupun akan dihapus juga

Umat Allah dituntun untuk hidup bahagia melalui perjanjian dengan Allah. Di samping kecakapan dan pengetahuan: pertukangan, perdagangan, arsitektur untuk hidup, umat dituntut untuk mengembangkan kualitas watak yang didasarkan pada takut dan pengenalan akan Allah (Ams. 1:5; Hos. 4:1,6).

Tiap pribadi harus mengasihi Allah, memeluk kebenaran, keadilan, dan kejujuran kejujuran. Mereka tidak mengutamakan ritus keagamaan/kurban, tetapi berbelas kasih, berbela rasa pada sesama dan menjadikan Allah sebagai prioritas pertama dan utama (Hos. 6:6).  

Tetapi, hikmat yang diteladankan para nabi dan bapa bangsa umat perjanjian sering mereka gantikan dengan hikmat asing dan palsu. Maka, Yesus Yin Sirakh bin Eleazar dari Yerusalem, lahir sekitar 170 sebelum Masehi, “meluap-luapkan kebijaksanaan dari dalam hatinya” (Sir. 50:27). 

Bin Sirakh mengajak dan menuntun mereka untuk kembali kepada-Nya. Sebagai guru ia mengundang muridnya, yang dipanggil “anakku” (Sir. 3:17; bdk. Am. 1:8; dll.) untuk menapaki jalan kebijaksanaan, via sapientiae, yang ditemukan dalam tradisi dan Kitab Suci umat Israel.

Jalan itu menuntut kerendahan hati dan budi untuk belajar dari Allah dan dari siapa pun yang bijaksana. Yesus pun menuntut para murid untuk rendah hati.

Sabda-Nya (Luk. 18:14), ”Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan”, Quia omnis, qui se exaltat, humiliabitur; et, qui se humiliat, exaltabitur.

Kerendahan hati yang disertai belas kasih dan murah hati pada mereka yang membutuhkan membawa pengampunan dosa dari Allah, seperti api yang menjadi lambang dosa dipadamkan oleh air, lambang belas kasih dan kemurahan hati (bdk. Sir. 3:29). 

Yesus bin Sirakh mengajarkan bahwa dendam dan amarah selalu menjadi kewenangan Allah. Manusia yang bertindak penuh dendam dan amarah pada sesama pasti diingat Alah. Setiap pribadi diundang untuk menjalin damai sejahtera, kerukunan.

Mereka harus menjauhkan perpecahan dan perselisihan yang berlawanan dengan kasih, karena dendam dan amarah adalah buah dari hati yang tak mampu mengampuni dan penuh gelegak marah.

Penulis suci mengajukan pertanyaan yang harus dijawab, “Bagaimana gerangan orang dapat memohon penyembuhan pada Tuhan, jika ia menyimpan amarah kepada sesama manusia?

Bolehkah ia berdoa karena dosa-dosanya, kalau tidak menaruh belas kasihan terhadap seorang manusia yang sama dengannya? Meskipun ia hanya daging belaka, namun ia menaruh dendam kesumat, siapa gerangan akan memulihkan dosa-dosanya?” (Sir. 28:3-5).

“Tidak” menjadi jawaban dua pertanyaan pertama. Sir. 28:2 meminta tiap pribadi berbelas kasih, “Ampunilah kesalahan kepada sesama orang, niscaya dosa-dosamupun akan dihapus juga, jika engkau berdoa.”, Dimitte proximo tuo nocenti te, et tunc deprecanti tibi peccata tua solventur.

Pengampunan atas dosa terhadap sesama hanya dapat dilakukan sampai yang bersalah mendapatkan pemulihan dari saudara/saudari komunitas iman (bdk. Kel. 23:4-5; Im. 19:17-18). Hal yang sama juga dilakukan saat jemaat memohon pengampunan,  doa dan damai sejahtera saat mengawali Misa.

Sikap batin yang suka bermusuhan harus dikikis habis sebelum ajal datang. Setelah ajal tak mungkinlah ia memperoleh pendamaian dengan sesama.

Putera Sirakh menasihati, “Ingatlah akan akhir hidup dan hentikanlah permusuhan, ingatlah akan kebusukan serta maut dan hendaklah setia kepada segala perintah.” (Sir. 28:6).

Tuhan Yesus rupanya mengacu pada Sir. 28:7 saat Ia meminta setiap murid harus mengasihi musuh. Sabda-Nya, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.

Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:43-45; bdk. Mat. 22:37-40).

Setiap murid Tuhan Yesus harus mampu menunjukkan hati Allah yang menunjukkan bahwa kasih-Nya lebih kuat dari dosa dan maut.

Gereja mengajar, “Pengampunan adalah syarat utama untuk perdamaian (bdk. 2Kor. 5:18-21) anak-anak Allah dengan Bapa-Nya dan di antara manusia satu sama lain.” (Katekismus Gereja Katolik, 2844).

Tujuh puluh kali tujuh

Kebencian, kebekuan hati, penghinaan, celaan dan sakit hati sulit sekali diampuni. Setiap murid Yesus dituntut untuk bertindak lebih dari sekedar yang dituntut kebijaksanaan manusia, “Aku memaafkan, tetapi tidak melupakan.”

Yesus mengingatkan bahwa seluruh anggota komunitas harus mengedepankankan pengampunan dan rekonsiliasi. Mereka harus mau menerima dan mengampuni saudara-saudari yang berbuat dosa (Mat. 18:21-22).

Sebelumnya, Petrus bertanya pada Yesus apakah harus mengampuni hingga tujuh kali. Angka tujuh menyimbolkan kesempurnaan, selalu. Namun, Yesus menuntut lebih dari yang diminta Petrus.

Sabda-Nya, “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:22). Tujuh puluh kali tujuh kali. Selalu.

Karena manusia tidak dapat membandingkan antara pengampunan yang dianugerahkan Allah dan yang diberikannya kepada sesama manusia, Yesus menggemakan pesan Nabi Yeremia,  “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Rat. 3:22-23).

Ungkapan tujuh puluh tujuh kali diucapkan Lamekh, “Aku telah membunuh seorang laki-laki karena ia melukai aku, membunuh seorang muda karena ia memukul aku sampai bengkak; sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat.” (Kej. 4:23-24).

Yesus ingin memutus lingkaran setan kekerasan, the spiral of violence, kata Dom Helder Camara, Uskup Agung Racife, Brazil. Lingkaran setan telah masuk dalam sejarah manusia sejak dosa Adam dan Hawa, karena pembunuhan Kain terhadap Habil dan karena balas dendam Lamekh.

Ketika lingkaran setan itu menguasa hidup manusia, segalanya berubah menjadi jahat dan memecah belah segala.

Banjir bandang melanda dan meluluh lantakkan bumi; kisah Menara Babel menyayat kalbu, karena manusia berserakan, disekat-sekat dan saling membenci (bdk. Kej. 2-11:32).

Dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta

Tentang pengampunan, Yesus mengisahkan perumpamaan tentang perhitungan hutang piutang antara seorang raja dengan peminjam. Kepada raja dihadapkan hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta.

Hutang sepuluh ribu talenta emas setara dengan emas seberat 164 ton. Kepada hambanya itu, sang raja menagih hutang. Tetapi, ia memohon kelonggaran, “Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan”.

Ia menyadari bila ia bakerja siang malam; menyuruh istri, anak, cucu dan seluruh kerabatnya, semua hasil kerja mereka belum mampu melunasi hutang: 164 ton emas. Maka tergerak hati sang raja oleh belas kasihan.

Ia mengampuni, karena ia mampu merasakan duka dan derita si hamba yang berhutang itu. Hatinya berbelas kasih dan menghapus semua hutangnya.

Allah pun bertindak demikian. Ia mengampuni, seperti Ia menghapus hutang 164 ton emas. Sebaliknya, manusia selalu dalam posisi batin tidak mampu melunasi hutang kepada Allah (bdk. Mzm. 49:8-9).

Ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya

Manusia, sulit sekali berkata, “Aku mengampuni”. Pada bagian kedua dikisahkan hamba yang berhutang  sepuluh ribu talenta dan dihapus tidak mengampuni orang yang berhutang padanya sebesar seratus dinar atau setara emas seberat 30 gram, tetapi malah memenjarakan orang kecil itu.  

Tolok ukur untuk mengampuni akan dikenakan pada masing-masing murid Yesus. Sabda-Nya,  “Bapa-Ku yang di surga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mat. 18:35); atau “Jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat. 6:15).

Komunitas iman yang dibina Santo Matius selalu menyediakan ruang untuk tumbuh kembangnya solidaritas dan persaudaraan.

Komunitas ini berlawanan dengan komunitas yang dibangun Kekaisaran Romawi.

Komunitas itu dibangun tanpa hati dan tanpa empati untuk mereka yang kecil, lemah, sakit dan miskin. Orang-orang dari golongan ini mencari perlindungan, tempat mengungsi, tetapi ditolak.

Mereka mencari di sinagoga. Namun komunitas itu terlalu menuntut dan tidak menyediakan ruang kosong. Mereka juga mencari perlindungan di komunitas Kristen, tetapi komunitas-komunitas itu menerapkan hukum yang sama dengan komunitas sinagoga.

Terlebih, di antara anggota komunitas Kristen abad pertama telah muncul gejala perpecahan. Jemaat terbelah antara yang kaya dan yang miskin (Yak. 2:1-9).

Walaupun komunitas Kristen itu sadar akan panggilan untuk membangun persaudaraan, mereka justru bertindak sebaliknya.

Santo Matius mengingatkan komunitas yang dibinanya untuk menjadi komunitas yang membuka ruang solidaritas – saling memberi dan menerima, persaudaraan dan doa. Komunitas itu juga menjadi Kabar Sukacita bagi yang kecil, lemah, sakit dan miskin. 

Ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya

Jika Allah telah menunjukkan belas kasih dengan cara menghapus dosa-dosa, tiap pribadi harus berbelas kasih dan mengampuni setiap orang yang bersalah pada masing-masing. Kesediaan untuk mengampuni yang bersalah menjadi kewajiban suci.

Jika tiap pribadi mengharapkan Allah mengampuni dan menunjukkan belas kasih-Nya ketika melakukan kesalahan dan melanggar perintah-Nya, ia harus rela hati menghancurkan amarah, dendam, atau perasaan tidak enak pada sesama.

Anggota komunitas iman  tiap hari memohon agar diberi rahmat dan kekuatan untuk mengampuni sesama seperti cara Allah, ”Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;

Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga; Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat. 6:12.14-15).

Jika tiap pribadi tidak menunjukkan belas kasih dan pengampunan, manusia, bagaimana ia mengharapkan Allah mengampuninya? Rasul Yakobus menekankan bahwa, ”Penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan.” (Yak. 2:13).

Katekese

Tunjukkan belas kasih pada yang bersalah padamu. Santo Yohanes Chryssostomus, 347-407:

“Walaupun kamu mungkin tanpa sengaja melukai hati musuhmu, jika kamu gagal menunjukkan sikap baikmu pada mereka dan membiarkan luka terus menganga dalam jiwa mereka, kamu tidak mematuhi perintah yang ditetapkan Kristus.

Bagaimana kamu dapat memohon pada Allah untuk memperlakukan kamu dengan penuh kasih, jika kamu sendiri tidak menunjukkan belas kasih pada orang yang bersalah kepadamu?”  (De compunctione, 1.5). 

Oratio-Missio

Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai. Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan.

Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan.

Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita. (Doa Santo Fransiskus dari Asisi, 1181-1226, terjemahan bebas).

  • Apa yang perlu aku lakukan ketika aku sukar mengampuni? 

Sic et Pater meus caelestis faciet vobis, si non remiseritis unusquisque fratri suo de cordibus vestris – Matthaeum 18:35

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here