Ulasan Injil Minggu Biasa XXXI, Perintah Paling Utama (2)

0
962 views

PERINTAH UTAMA
Semalam ada ngobrol bersama dengan Mark, Matt, dan Luc. Berikut ini beberapa potong pembicaraan kami di sela-sela hangatnya jahe wangi.

GUS: Kalian ini menyampaikan peristiwa yang sama tapi menaruh dalam konteks yang berbeda-beda. Bikin bingung pembaca. Mark kau bilang kayak di atas tadi. Tapi, dalam Kitab Ulangan kan tak ada “segenap akalbudimu” seperti dalam tulisanmu? Apa Yesus menambahkan?

MARK [mulai tak tenang]: Versi Ul 6:5 yang sampai padaku memuat empat unsur “segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatanmu”. Sebenarnya, “segenap akalbudi” itu untuk menjelaskan arti “segenap hati”. Bagi orang Yahudi, hati itu tempat bernalar, bukan tempat perasaan.

GUS: “Segenap kekuatan” yang ada dalam teks Perjanjian Lama itu tidak ada dalam versinya Matt.

MATT: Ehm, sudah jelas jadi tak perlu kusertakan.

LUC: Menyela sebentar, kalau aku, kusampaikan seperti Mark. He, Matt, kalau pakai sumber Perjanjian Lama mestinya cermatan dikit, gitu kan?

MATT: Nyang bener aje! Tentang Perjanjian Lama kau tahu apa sih! Dalam versimu (Luk 10:25-28) kedua perintah itu kautaruh dalam mulut ahli Taurat yang menanyai Yesus, bukan dalam kata-kata Yesus seperti kami laporkan. Sapa yang bikin-bikin begitu?

MARK [buru-buru menyela sebelum Luc sempat menukas Matt]: Sudah, sudah, yang itu asalnya juga dari tulisanku. Memang Yesus mengutip kedua perintah tadi (Mrk 12:29-31). Tapi seperti kuceritakan, ahli Taurat tadi kemudian mengulang yang dikatakan Yesus (Mrk 12:32-33). Ini yang diolah Luc, ya kan? Jadi kalian berdua benar.

LUC [nyruput lalu mendesis]: Peristiwa tanya jawab itu kupakai mengantar kisah orang Samaria. Dia yang biasanya dianggap tak masuk hitungan itu toh bisa betul-betul menjadi sesama bagi orang Yahudi yang sedang mengalami musibah di perjalanan.

MARK: Bagiku, dan tentunya bagi Matt juga, tanya jawab itu menunjukkan bahwa Yesus tak kalah piawainya dengan ahli Taurat dalam menafsirkan Perjanjian Lama. [Matt manggut-manggut.]

GUS : Gimana?

MARK: Yesus menegaskan bahwa tak ada perintah yang lebih utama dari keduanya tadi.

MATT: Sebentar, yang itu kutajamkan begini: “Pada kedua perintah inilah bergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para Nabi” (Matt 22:40)

GUS  [meletakkan cangkir]: Jadi, kalian berdua, Mark dan Matt, bermaksud menonjolkan pandangan Yesus bahwa kedua perintah memang menjadi dasar dan menjiwai semua hukum Taurat dan kitab para Nabi.

MARK  [tampak puas, juga Matt]: Benar. Yesus tidak mengabaikan hukum-hukum lain.

MATT [meraih poci jahe]: Justru Yesus menunjukkan makna kumpulan hukum itu. Ini kurang ditekankan Mark, apalagi Luc.

LUC: Tapi kalian kan tidak memberi contoh bagaimana mengasihi Tuhan sepenuh-penuhnya dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Orang sekarang lebih mudah menangkap bila diberi cerita. Pendekatan naratif. Itulah sebabnya kutampilkan perumpamaan orang Samaria itu.

MARK: Manis, eh wedang jahenya, tapi ceritanya juga! Kisah orang Samaria itu tentang perintah kedua. Lalu perintah pertama?

LUC: Seluruh kisah Yesus menuju tujuan perjalanannya di Yerusalem (Luk 9:51-19:28) itu penjelasan naratif tentang mengasihi Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Kan nanti di kayu salib Yesus menyerahkan nyawanya kepada Bapanya yang dikasihinya sepenuh-penuhnya.

MARK: Sudahlah, jangan kita bikin eksegese tentang tulisan kita sendiri, serahkan saja kepada para ahli tafsir.

GUS: Ah! Tentang “kasihilah sesama seperti dirimu sendiri” kiranya ada yang masih perlu diulas. Kalian kan bermaksud mengatakan, kasihilah sesama yang punya pengalaman sama seperti dirimu sendiri, betul begitu?

Kita ini pada dasarnya mengalami pahit getirnya kehidupan seperti orang lain. Maka nanti kalau sudah merasa lebih beruntung, jangan lupa orang yang sedang ada dalam kesusahan, gitu kan? Jadi tafsirnya bukan mengasihi sesama seperti halnya kita mengasihi diri kita sendiri.

MATT: Betul! Itu juga yang kumaksud dalam Mat 19:19 dan 22:39. Paul juga, lihat Rom 13:9, Gal 5:14, juga Opa Jim dalam Yak 2:8.

LUC [setelah mengisi cangkir lagi]: Kalau mau bilang mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, mestinya kata “mengasihi” diulang. Aku ingat kalimat seperti itu dalam tulisan Oom Hans (Yoh 15:12), “Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti aku (=Yesus) mengasihi kamu.”

GUS: Kalau bisa kurumuskan kembali, mengasihi Tuhan hendaknya dijalankan dengan kesadaran penuh (= segenap “hati”/”akalbudi”) yang keluar dari keyakinan (= segenap “jiwa”) dan tekad utuh (= segenap “kekuatan”). Jadi bukan hanya setengah-setengah, mendua, atau ikut-ikutan, tapi dengan pengertian. Lalu mengasihi sesama itu kan karena sesama itu seperti kita-kita ini juga dalam suka duka kehidupan ini. Kalian tentunya tidak keberatan kan?

 bersambung

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here