Mat 23:1-12
SUATU ketika di Bait Allah, Yesus menyoroti tajam-tajam sikap tercela para Ahli Taurat dan kaum Farisi (Mat 23:1-12, Injil Minggu Biasa XXXI tahun A). Mereka membebani orang dengan ajaran-ajaran, tetapi tanpa bersedia menjalaninya sendiri. Mereka suka dipandang sebagai orang saleh, ingin diberi tempat kehormatan di tempat ibadat, mengharapkan sanjungan di hadapan umum.
Tingkah mereka ini malah menjadi karikatur kesalehan beragama.
Membongkar borok kehidupan agama?
Teks hari ini mudah dan kerap dipakai untuk melancarkan kritik terhadap para pemimpin masyarakat; khususnya mereka yang bergerak di bidang hidup agama. Tetapi apakah Injil pertama-tama bertujuan membuka borok-borok kaum agamaist seperti itu?
Seandainya hanya itu, akan lebih menarik bila juga kita datangkan seorang karyawan pastoran atau pembantu biara untuk curhat tiga menit di mimbar sebagai selingan dalam khotbah. Ia bakal jadi narasumber otentik tentang bagaimana orang melihat kehidupan di pastoran.
Atau bila keadaan mengizinkan, tayangkan sekaligus video (dengan muka para pembicara dikelabukan demi anonimitas) mengenai keluhan-keluhan seorang isteri atau seorang suami atau anak terhadap tuntutan yang terasa terlalu besar untuk menjalankan hidup berumahtangga ideal menurut ajaran Gereja.
Peragaan seperti itu akan lebih seru. Tapi itukah warta Injil hari ini?
Rasa-rasanya bukan. Pewarta sabda tidak diminta menitip-nitipkan kritik ke dalam Injil dan memuatinya dengan nasihat dan seruan moralistis, atau memakainya sebagai pijakan bercurhat.
Di Bait Allah pada hari-hari terakhir
Ketika Yesus masuk di Yerusalem setelah disambut meriah di Betfage, seluruh kota jadi gempar (Mat 21:10). Pada hari itu juga, Ia datang di Bait Allah dan menyadarkan orang bahwa rumah doa itu kini telah jadi sarang “penyamun” (21:12-13).
Di situ juga Ia menyembuhkan orang-orang buta dan orang-orang timpang. Imam-imam kepala dan Ahli Taurat tak senang melihat kepopuleran Yesus di wilayah mereka. Malamnya Yesus ke luar kota dan menginap di Betania yang terletak di sebelah timur Yerusalem (21:18). Keesokan harinya ia kembali ke Yerusalem dan masuk lagi ke Bait Allah (21:23).
Di situ terjadi serangkai pembicaraan dengan para pemimpin Yahudi yang mempermasalahkan kesahihan kuasa Yesus. Dalam kesempatan inilah, Ia mengajar dengan perumpamaan mengenai para penggarap kebun anggur yang mau merebut hasil serta tanah sang majikan (21:33-45) dan perumpamaan para undangan ke perjamuan nikah dan pakaian pesta (22:1-14).
Di situ juga diberikan pemecahan masalah membayar pajak kepada kaisar (22:15-22), jawaban bagi penolakan orang Saduki terhadap kebangkitan (22:23-33), dan pengajaran mengenai hukum yang terutama (22:34-40) dan penjelasan mengenai hubungan antara Yesus dan Daud (22:41-46).
Peristiwa yang disampaikan Injil hari ini terjadi di Bait Allah juga. Pengajaran ini disusul dengan tujuh kecaman keras terhadap sikap para Ahli Taurat dan orang Farisi termasuk para pemimpin (23:13-36) dan keluhan terhadap kota Yerusalem (23:34-35). Setelah itu Yesus keluar dari Bait Allah dan Injil Matius mulai menceritakan pengajaran Yesus mengenai akhir zaman (24:1-25:46).
Ini semua terjadi dua hari sebelum akhirnya Ia ditangkap untuk disalibkan dua hari menjelang Paskah orang Yahudi (26:2).
Konteks di atas dapat membantu menjelaskan pengajaran Yesus. Ia ditampilkan Matius sebagai orang yang berkuasa mengajar hal-hal mengenai Allah – di rumah-Nya sendiri. Bukan lagi para Ahli Taurat dan orang Farisi. Wibawa mereka sudah pudar karena mereka tak menjalankan yang mereka ajarkan sendiri.
Akan tetapi kuasa yang kini dimiliki Yesus membawa risiko. Mereka yang tak senang kepadanya membuat rencana untuk menjatuhkannya. Yesus menerimanya sebagai bagian dari tugasnya (26:1-5).
Ia juga menyadari bahwa risiko ini akibat dari keteguhannya dalam mengasihi Allah dengan seutuh-utuhnya dan mengasihi sesama yang sama-sama manusia. Ia menghayati yang diajarkannya.
Di situlah integritasnya.
Duduk di kursi musa?
Dalam terjemahan Indonesia dikatakan bahwa Ahli Taurat dan orang Farisi “telah menduduki kursi Musa”. Sayang, kata “menduduki” dapat memberi kesan “menghuni dengan tanpa hak, merebut” yang tidak dimaksud di sini. Lebih cocok bila dikatakan “duduk di kursi Musa”.
Dalam tradisi Yahudi, memang para Ahli Taurat dan kaum Farisi diakui memiliki wewenang mengajarkan dan menafsirkan Taurat dengan wibawa seperti yang dimiliki Musa sendiri. Pengaruh mereka mulai besar pada abad ke-5 seb. Masehi, yakni setelah orang Yahudi kembali dari pengasingan di Babilonia.
Pada zaman itu dibutuhkan pegangan untuk membangun kembali kehidupan bangsa dan agama.
Dapat dimengerti bila sisi “hukum” ajaran agama lebih ditonjolkan. Tiap kali masyarakat Yahudi terdesak oleh kuasa politik dari luar, maka ciri-ciri legalistis kepercayaan mereka makin menjadi menonjol. Keadaan seperti ini sering dijumpai di pelbagai masyarakat, juga pada zaman kita sekarang. Tentu saja ada ekses.
Dan inilah yang dibicarakan dalam petikan hari ini. Pengajaran dan kesaksian hidup pribadi sering tidak sejalan. Boleh dikatakan ketimpangan itu berpusat pada diabaikannya hidup beragama yang semestinya bergantung pada dua perintah yang terbesar yang dibicarakan dalam bagian sebelumnya (Mat 22:34-40; Injil Minggu Biasa XXX tahun A).
Pembaca Injil Matius dulu dan sekarang
Injil Matius tumbuh di kalangan orang-orang Yahudi yang menjadi pengikut para rasul. Orang-orang itu memiliki latar pendidikan Taurat yang kuat dan memang berusaha hidup menurut ajaran agama dengan sebaik-baiknya. Memang ada yang jadi bersikap legalistis. Ini terjadi juga di antara mereka yang sudah bergabung dengan para pengikut Yesus.
Injil hari ini sebenarnya berbicara mengenai orang-orang seperti ini, walaupun penyampaiannya berlatarbelakang kecaman Yesus terhadap para Ahli Taurat dan kaum Farisi. Namun, tidak semua pemimpin dan Ahli Taurat atau kaum Farisi tercela hidupnya.
Ada orang-orang seperti Yusuf Arimatea dan Nikodemus; ada juga Saulus, orang Farisi yang fanatik tetapi yang kemudian menjadi rasul Paulus.
Pembaca dari zaman dulu melihat masa lampau mereka sendiri secara kritis. Dengan halus mereka hendak menyampaikan kepada rekan-rekan mereka agar tidak lagi mengikuti cara lama itu. Mereka mau menyadari sisi mana dari cara hidup mereka tidak bisa lagi memberi inspirasi dan tidak bisa menjawab tantangan zaman.
Mereka mau menimba kebijaksanaan dari ingatan para guru mereka yang masih mengenal Yesus ketika mengajar di Yerusalem dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh di sana.
Inilah yang ditampilkan Matius.
Tentunya pembaca dari zaman sekarang tidak hanya berminat pada keadaan dulu-dulu saja. Kita ingin memakai Injil sebagai inspirasi hidup di zaman ini. Sebenarnya kuncinya juga terdapat di dalam Injil Matius sendiri.
Secara sederhana begini.
Seluruh pengajaran Yesus menjelang akhir hidupnya dalam Mat 23 ditampilkan Matius sebagai gema atau padanan pengajarannya ketika ia mulai tampil, yakni ketika ia mengajar “orang banyak dan murid-muridnya” di sebuah bukit (Mat 5:1 dan 5:17-7:29).
Baik diperiksa bagaimana bagian yang memuat tujuh kecaman terhadap pemimpin, ahli Taurat dan orang Farisi (Mat 22:13-36, kelanjutan bacaan hari ini) berpadanan dengan Sabda Bahagia (Mat 5:3-12).
Mereka yang dicela itu dikatakan telah menutup pintu-pintu Kerajaan Surga (22:13), bdk. orang miskin dan orang yang dianiaya yang dalam Sabda Bahagia dikatakan bakal memiliki Kerajaan Surga (5:3 dan 10);
- mereka disebutkan calon penghuni neraka (22:15), bdk. pembawa damai yang akan disebut anak-anak Allah (5:9);
- mereka disebut buta (22:16-22), bdk. orang yang bersih hatinya yang akan melihat Allah (5:8);
- mereka mengabaikan belas kasihan (22:23-24), bdk. orang yang berbelaskasihan yang akan mendapat belas kasihan (5:7);
- mereka rakus tak pernah kenyang (22:25-26), bdk. orang lapar dan haus yang akan dipuaskan (5:6);
- batin mereka membusuk seperti mayat yang dikubur (22:27-28), bdk. orang berduka cita yang akan dihibur (5:4);
- kelakuan jahat mereka akan menjadi hukuman mereka sendiri (22:29-35), bdk. orang lemah lembut yang akan memiliki bumi (5:5).
Ada gambaran mengenai keadaan yang bakal terjadi bila pengajaran di bukit dan Sabda Bahagia tidak dihayati. Mereka yang merasa wajib menegakkan hukum agama malah akan menindas kehidupan agama sendiri.
Ini kendala hidup beragama yang tidak sampai pada inti sikap beragama sendiri. Malah bisa memburuk dan memborok.
Injil Matius hendak membawa pembaca kembali ke inti kehidupan orang yang percaya, yakni ke pokok pewartaan Yesus sendiri: mengajak orang menyongsong masa depan di dalam Kerajaan Surga agar menemukan kembali manusia yang utuh.
Dan sekali lagi, di situ kemerdekaan manusia serta kebijaksanaan menghayatinya menjadi pusat perhatian.
Salam hangat,
A. Gianto