Minggu. Hari Minggu Biasa XXXI (H)
- Mal. 1:14b-2:2b,8-10
- Mzm. 131:1,2,3
- 1Tes. 2:7b-9,13
- Mat. 23:1-12
Lectio (Mat. 23:1-12)
Meditatio-Exegese
Jika kamu tidak…, Aku akan…
Allah selalu ingin memelihara hubungan mesra dengan umat-Nya, tetapi uluran belas kasih-Nya selalu ditolak. Tetapi, umat menuduh Ia tidak mengasihi mereka. Mereka bertanya, (Mal. 1:2), “Dengan cara bagaimanakah Engkau mengasihi kami?”, In quo dilexisti nos?
Umat lupa bahwa Allah tak henti mengasihi dan membawa mereka pulang dari pembuangan Babel, sehingga bisa hidup merdeka dan membangun kembali Bait-Nya. Mereka juga lupa bila Allah lebih mengasihi Yakub, leluhur mereka, dari pada Esau, leluhur orang Edom, yang dibiarkan roboh (Mal. 1:2-5).
Nabi Maleakhi, sang utusan (Mal. 3:1), yang berkarya setelah pembuangan Babel, 538 sebelum Masehi, mengingatkan umat untuk tetap berpegang pada Perjanjian Sinai. Pembangkangan umat nyata dalam perilaku melecehkan Allah dalam peribadatan yang dipersembahkan untuk-Nya (Mal. 1:6-14).
Kaum Lewi dan para imam berperilaku lacur dan menipu Allah. Mereka mempersembahkan roti yang tidak layak. Hewan kurban pun tidak layak, seperti kambing bermata buta, timpang dan sakit (Mal. 1:6-14).
Para pemimpin umat, para imam, ahli Kitab, tidak pernah lagi menghormati Allah. Mereka tak hanya mengajar umat untuk melawan perintah-Nya (Mal. 2:8), tetapi juga bertindak tidak adil pada sesama, pilih bulu (Mal 2:9; bdk. Ul. 10:17; Rm. 2:11).
Seorang imam selalu menjadi utusan-Nya bagi umat perjanjian. Ia mengangkat pelayan-Nya yang tertahbis sebagai utusan-Nya, mal’ak. Maka, pada umat ia seharusnya mengajarkan tentang kebijaksanaan dan keadilan-Nya, sabda dan hukum-Nya yang suci.
Dalam Perjanjian Lama, imam berdiri di hadapan umat sebagai pribadi yang ditebus. Tetapi, dalam Perjanjian Baru, pelayanan suci seorang imam lebih agung, karena ia berdiri di hadapan umat sebagai citra Yesus Kristus, in persona Christi.
Sebaliknya, “Jika kamu tidak mendengarkan, dan jika kamu tidak memberi perhatian untuk menghormati nama-Ku, firman TUHAN semesta alam, maka Aku akan mengirimkan kutuk ke antaramu dan akan membuat berkat-berkatmu menjadi kutuk, dan Aku telah membuatnya menjadi kutuk, sebab kamu ini tidak memperhatikan.” (Mal. 2:2).
Ketidak setiaan pada Allah hanya mengantar pada kehinaan, pengkhianatan dan kenajisan.
Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa
Kursi Musa, μωσεως καθεδρας, moseos kathedras, mengacu pada kewenangan kaum Farisi dan ahli Kitab mengajar dan memerintah umat di komunitas Yahudi setempat yang berpusat di sinagoga. Kuasa mengajar di Bait Allah dipegang oleh imam agung.
Flavius Josephus, abad ke-1 Masehi, menulis bahwa pengaruh kaum Farisi begitu luas dan besar hingga mampu mengubah praktek peribadatan/liturgi di Kenisah. Mereka mengakhiri tugas imam kepala untuk mendaraskan Sepuluh Perintah Allah selama peribadatan, karena pembacaan itu mengesankan bahwa perintah itu lebih penting dari perintah-perintah lain dari Hukum Musa.
Lalu, mereka mengubah pengaturan hari dalam pekan untuk perayaan Pesta Buah Sulung dan Pentakosta, agar pesta itu tidak jatuh pada hari pertama dalam pekan, yakni hari pertama dalam pekan (bdk. Antiquities of the Jews, 13.8.4).
Maka, pesta-pesta itu tidak lagi dirayakan bersamaan dengan Perayaan Kebangkitan Yesus Kristus dan kedatangan Roh Kudus pada umat Perjanjian Baru. Waktu perayaan kedua hari raya itu telah ditentukan dan bukan merupakan hari raya yang perayaanya berubah-ubah (Im. 23:5-44).
Yesus tidak pernah mengingkari kekuasaan dan wewenang para ahli Kitab, kaum Farisi, imam dan Mahkamah Agama Yahudi. Kel. 18 menyingkapkan pemikiran Yitro, mertua Musa, agar ia sendiri mewakili seluruh bangsa untuk berdiri di hadapan Allah dan mengajar umat ketetapan-ketapan Allah untuk dilaksanakan.
Tugasnya untuk mengadili dan mengajar umat juga dilakukan para pemimpin umat yang mereksa kelompok-kelompok kecil: seribu, seratus, lima puluh dan sepuluh orang. Tiap pemimpin harus cakap, takut akan Allah, dapat dipercaya, dan benci kepada pengejaran suap.
Turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu
Namun, mengapa Yesus mengecam para ahli Kitab dan orang Farisi, para pemimpin umat Yahudi, di hadapan para murid-Nya? Ia hendak mengingatkan ke dua belah pihak, pemimpin agama pada waktu itu dan para murid-Nya, akan godaan untuk mencari kesombongan, kehormatan, nama baik, popularitas dan hak istimewa lain yang mengikuti.
Yesus tidak mengecam ajaran yang mereka sampaikan. Tetapi, Ia mengecam perilaku menyimpang yang dilakukan oleh mereka yang menduduki kursi Musa.
Disingkapkan tiga bagian keprihatinan Yesus. Pada bagian pertama, disajikan Yesus menunjukkan mentalitas yang seharusnya dikembangkan terus menerus dalam hidup jemaat. Ia mengingatkan jemaat dan para murid-Nya untuk membedakan antara Hukum yang dibacakan dan diajarkan di sinagoga dengan penafsiran Hukum dalam hidup sehari-hari yang jalani para ahli Kitab.
Guru dari Nazareth berbelas kasih pada orang banyak, karena diperlakukan dengan tidak semestinya. Mereka seperti (bdk. Mat 9:36) “domba yang tidak bergembala.” oves non habentes pastorem.
Beberapa tahun kemudian, seorang Farisi yang membenci Yesus, tetapi berbalik membela-Nya dengan gigih, Paulus menusuk jantung kemunafikan yang ditunjukkan-Nya.
Katanya, “Jadi, bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri? Engkau yang mengajar: “Jangan mencuri,” mengapa engkau sendiri mencuri? Engkau yang berkata: “Jangan berzinah,” mengapa engkau sendiri berzinah?
Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri merampok rumah berhala? Engkau bermegah atas Hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu? Seperti ada tertulis, “Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain” (Rm. 2:21-24).
Tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang
Tiap anggota jemaat Perjanjian Lama biasanya mengenakan tali sembahyang, filakteri, (Flavius Josephus, Antiquities of the Jews, IV. 8. 13). Tali itu tak hanya mengingatkan bahwa mereka terikat pada perjanjian dengan Yahwe di Sinai dan harus selalu berpaling pada-Nya.
Tetapi juga berisi gulungan seruan atau shema yang memuat pokok iman monoteis (Ul. 6:4), “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!”, Audi, Israel: Dominus Deus noster Dominus unus est.
Ketentuan ini mengajak orang sadar akan kehadiran Yahwe. Sayang, ternyata, dibelokkan menjadi alat untuk menunjukkan kesombongan dalam peribadatan dan pergaulan dengan sesama manusia.
Sebaliknya, Yesus bersabda, “Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang.
Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” (Mat. 6:5-6).
Janganlah kamu disebut Rabi
Yesus datang untuk mengajarkan kebenaran. Ia sendiri adalah Sang Kebenaran (Yoh. 14:6). Sebagai guru atau rabi, Yesus tidak dapat ditandingi siapa pun.
Santo Yohanes Paulus II mengajar, “Seluruh hidup Kristus merupakan pengajaran yang terus menerus, tanpa henti keheningan-Nya, mukjizat-Nya, gerak tubuh-Nya, doa-Nya, kasih-Nya pada manusia, perhatian-Nya pada yang kecil dan miskin, kerelaan-Nya untuk menerima secara total saat dikorbankan di salib demi penebusan pada dunia, dan kebangkitan-Nya merupakan wujud nyata sabda-Nya dan pemenuhan pewahyuan-Nya.
Maka bagi kita, orang Kristiani, salib merupakan citra Kristus, Sang Guru, yang paling indah dan populer. Pertimbangan ini sesuai dengan tradisi besar Gereja dan mengokohkan seluruh usaha kita untuk mempersembahkan pada Kristus, Sang Guru yang menyingkapkan Allah pada manusia dan manusia pada diri-Nya.
Sang Guru menyelamatkan, menguduskan dan membimbing, yang hidup, bersabda, membangkitkan, menggerakkan, memulihkan, mengadili, mengampuni, dan menyertai kita dari hari ke hari sepanjang jalan sejarah. Sang Guru selalu datang dan akan datang dalam kemuliaan.” (Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae, 9).
Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan
Di tengah kerakusan akan penghormatan, yang sering diperkuat dengan melanggengkan kuasa dalam hidup keagamaan dan kemasyarakatan, Yesus menekankan kerendahan hati. Santo Paulus menulis (Flp. 2:8), “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”, humiliavit semet ipsum factus oboediens usque ad mortem mortem autem crucis.
Meneladan Tuhan, setiap murid-Nya harus merendahkan diri. Mereka yang merendahkan diri akan ditinggikan, karena Allah. Santo Yakobus menyingkapkan bahwa Allah menentang kecongkakan, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak 4:6).
Ketika orang tidak merendahkan hatinya, ia akan direndahkan. Kerendahan hati memutus kesombongan yang menuntun manusia jatuh dalam dosa.
Sabda-Nya (Mat. 23:12), “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”, Qui autem se exaltaverit, humiliabitur; et, qui se humiliaverit, exaltabitur.
Origenes (185-254 AD), guru dan sarjana Kitab Suci dari Alexandria, Mesir, mengingatkan bahwa mereka yang mengajar dan memimpin harus ingat bahwa diri mereka sendiri adalah ‘murid’ dan ‘pelayan’ yang duduk di kaki Sang Guru dan Tuan, Yesus Kristus.
Tulisnya: “Kalian memiliki satu Guru, dan kelian semua adalah saudara bagi satu dengan yang lain… Siapa saja yang melayani dengan sabda ilahi tidak boleh membanggakan diri untuk disebut sebagai guru. Karena ketika ia mengajar, ia sadar bahwa Kristus yang hidup dalam dirinya sedang melakukan pengajaran.
Ia hanya dapat menyebut dirinya sendiri sebagai pelayan sesuai dengan perintah Kristus, yang bersabda, “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.”
Maka, setiap murid Yesus menghayati (Mat. 23:11), “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.”, Qui maior est vestrum, erit minister vester.
Katekese
Allah adalah Bapa dan Guru kita. Santo Hieronimus, 347-420:
“Tak seorang pun layak disebut guru atau bapa kecuali Allah Bapa dan Tuhan kita, Yesus Kristus. Hanya Dialah Bapa kita, karena segala sesuatu berasal dari-Nya. Hanya dialah Sang Guru, karena melalui-Nya segala sesuatu diciptakan dan melalui-Nya segala sesuatu diperdamaikan dengan Allah.
Tetapi orang mungkin bertanya, “Apakah berlawanan dengan ajaran ini ketika sang rasul menyebut dirinya guru bangsa-bangsa bukan Yahudi? Atau ketika, seperti dalam pembicaraan uang umum ditemukan di pertapaan-pertapaan di Mesir dan Palestina, para rahib saling memanggil bapa atau romo?”
Ingatlah perbedaan ini. Bedakan: menjadi bapa atau guru karena kodrat dan, di lain pihak, menjadi demikian karena kemurahan hati. Karena ketika kita memanggil bapa pada seorang laki-laki karena menghormati usianya, maka kita mungkin gagal menghormati Pencipta hidup kita sendiri.
Orang yang dengan tepat disebut sebagai guru hanya dari persatuannya dengan Sang Guru sejati. Saya ulang: iman kita akan satu Allah dan satu Anak Allah tidak menghalangi yang lain dipahami sebagai anak-anak Allah karena diangkat-Nya. Hal yang sama seperti tidak menjadikan istilah bapa dan guru tidak bermakna atau menghalangi orang untuk disebut sebagai bapa.” (Commentary On Matthew).
Oratio-Missio
Tuhan, Engkau telah menjadi Hamba untuk membebaskan aku dari perbudakan kesombongan dan sikap mementingkan diri sendiri. Ajarilah aku untuk menjadi rendah hati dan mengasihi sesama dengan murah hati. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk menghancurkan kesulitanku menjadi rendah hati?
Qui maior est vestrum, erit minister vester – Matthaeum 23:11