Hiduplah orisinil, bukan fotokopi
Tentang jatidiri pribadi yang diharapkan dari kaum muda, demikian kata Kardinal Suharyo, Paus Fransiskus pernah mengutip pernyataan almarhum Beato Carlo Acutis: “Setiap orang dilahirkan sebagai asli. Tetapi banyak orang meninggal sebagai fotokopi.”
Itu merupakan ungkapan rumusan iman khas kaum muda milenial zaman sekarang. Selanjutnya, demikian kata Paus Fransiskus: “Yang begini ini jangan sampai terjadi pada kalian, kaum muda zaman sekarang.”
Kaum muda saat ini, kata Kardinal Suharyo, mestinya mau “berguru” dan meneladani gaya hidup serta spiritualitas Beato Carlo Acutis. Maksud Paus demikian.
Ada begitu banyak orang yang akhirnya tidak berhasil dan menjadi pribadi-pribadi yang kokoh, mampu menjadi dirinya sendiri, dan berwatak kuat. Akibatnya, orang-orang macam ini nantinya akan dengan mudah diombang-ambingkan oleh arus zaman.
Tetapi seperti keyakinan Beato Carlo Acutis: Marilah kita menjadi pribadi-pribadi yang utuh dan orisinil.
Kisah inspiratif dari Rabindranath Tagore dari India
Mari, kata Kardinal Suharyo dalam homilinya, kita mau mengambil inspirasi baru dari kisah hidup tokoh sastrawan dan filosof besar bernama Rabindranath Tagore (1861-1941) dari India.
Sejak menjalani masa kecilnya, Rabindranath sudah punya kelemahan fisik: daya penglihatannya lemah. Akibatnya, semua hal yang dia lihat di balik kelopak matanya selalu tersaji buram, tidak jelas, dan kabur.
Karena miskin, keluarganya tidak mampu membelikan kacamata. Kesadaran akan panorama “dunia yang lain” bagi dia itu bisa mengemuka, ketika sekali waktu ia boleh meminjam dan memakai kacamata milik teman sekolah. Ternyata, dunia di depan matanya itu jadi tampak jelas, lebih indah, lebih terang, dan tidak buram lagi.
Ketika ia pakai kacamata temannya, maka persepsi diri dan dunia seketika langsung berubah. Ternyata “dunia ini tidak kabur seperti yang selama ini saya lihat. Dengan pakai kacamata ini, dunia terlihat lebih jelas dan terang.”
Karya pendidikan itu seperti berikan kacamata
Karya pendidikan itu, kata Kardinal, tak ubahanya seperti memberikan “kacamata” kepada segenap peserta didik. Seperti kisah hidup Rabindranath Tagore di mana ia mampu melihat “dunia” lebih jelas dan terang, maka karya pendidikan hendaknya mampu memberikan “kacamata” – sebuah perspektif nilai kehidupan kepada segenap peserta didik.
“Belajar dari kisah Rabindranath Tagore, semoga lembaga pendidikan Sekolah Sancta Ursula bisa memberi perspektif hidup bagi para murid yang bersekolah di sini.
- Agar dengan ‘kacamata’ itu, para alumni sekolah ini mampu melihat dunia nyata dengan lebih terang dan jernih.
- Agar di kemudian hari, masing-masing alumnus sekolah ini bisa memilih jalan hidup bermasyarakat yang tidak asal maunya iingin gampang dan menyenangkan saja.
Tetapi justru leebih dari itu semua. Karena, mereka itu dengan sangat sadar dan juga didasari kemauan yang kuat – berani mengambil keputusan-keputusan hidup mengenai apa yang baik, tepat, dan benar,” tandas Kardinal Suharyo mengakhiri homilinya yang lumayan panjang. (Berlanjut)
Baca juga: 165 Tahun Sekolah Sancta Ursula Jakarta, Ciri Khas Pendidikan Binaan Para Suster Ursulin (3)