JANGAN membayangkan Kalimantan seperti Jawa. Dalam banyak hal, kami yang tinggal dan hidup di Kalimantan sampai saat ini masih sangat “berkekurangan”. Terutama bidang pembangunan infrastruktur penunjang hidup layak sebagai manusia.
Tapi yang namanya offroad pun di sini juga tidak seperti layaknya jalan kategori itu. Jauh lebih parah dan berantakan. Karena kalau musim kemarau datang, lautan debu tebal mengepul di udara begitu jalan itu kita lalui dengan motor. Sementara di musim hujan, jalanan itu dipenuhi kubangan “bubur” lumpur pekat yang siap “menelan” para pengemudi motor.
Khusus di wilayah pedalaman Botong, Kabupaten Ketapang, Kalbar -dari mana saya berasal- akses “jalan perusahaan” menuju permukiman penduduk kondisinya lebih “seru”. Di musim hujan, ruas-ruas jalan itu bisa dalam sekejap berubah menjadi “sungai” dadakan.
Para imam Jesuit dari Jawa yang kini bertugas pastoral di Paroki Botong sudah merasakan betapa “serunya” berkendara menuju Botong.
Kalau hanya 1-2 pekan ke Botong, tentu pengalaman dolan ke Botong boleh jadi menarik. Mengumbar energi advonturir. Tapi bagi masyarakat lokal di Botong dan sekitarnya, pengalaman ini sudah menjadi “drama kehidupan” sehari-hari. Karena memang tidak ada pilihan lain. Kecuali mau melewati jalur darat itu.
Atau, kalau mau juga bisa menyusuri aliran sungai menuju Botong. Tapi itu pun kalau permukaan air sungai meninggi karena terjadi banjir sehingga perahu motor bisa melintas.
Menuju masa depan yang lebih baik
Sebagai perempuan muda berdarah Tionghoa dari Botong, saya merasa bahagia sekali. Atas dua hal. Karena berhasil diterima sebagai mahasiswa Universitas Terbuka (UT). Untuk boleh mengikuti kuliah tatap muka di Tumbangtiti. Setiap dua pekan sekali.
Kisah bahagia lainnya adalah karena berkat bantuan para pastor Jesuit di Paroki Botong, saya mendapat kesempatan luar biasa. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Karena mendapat bantuan beasiswa pendidikan. Agar di kemudian hari, sebagai guru PAUD honorer saya bisa menaikkan derajad kehidupan saya sebagai pendidik. Dengan mendapatkan gelar S-1 bidang pendidikan PAUD.
Kini saya sudah masuk semester enam. Sebelumnya, kurun waktu semester 1-5, saya selalu dirundung kegelisahan. Bisa lanjut kuliah atau tidak. Faktor biaya menjadi masalah pokoknya.
Tapi untunglah, berkat jalinan kerjasama pastor-pastor Jesuit di Botong, saya berhasil mendapatkan bantuan beasiswa dari Yayasan Karsa Cipta Asa (YKCA). Melalui Program Pintu Depan.
Sesuai namanya, program ini didesain untuk membuka wawasan anak-anak muda pedalaman. Agar melalui studi di perguruan tinggi, tingkat pengetahuan dan keterampilan bisa meningkat. Demi bisa berkontribusi membangun kawasan pedalaman dari mana kami berasal.
Kisah “sedih”-nya
Saya ini perempuan. Harus kuat mental dan berani menempuh perjalanan panjang. Menyusuri “jalan-jalan perusahaan” yang panjang.
Menempuh perjalanan “horor” dari pedalaman Botong menuju Tumbangtiti. Dengan waktu tempuh perjalanan selama enam jam. Setiap dua pekan sekali, “drama hidup” di jalanan ini sudah saya tekuni selama 2,5 tahun.
Frustrasi dan ragu-ragu selalu menghantui saya. Maklum, selain harus kuliah jarak jauh, saya sehari-hari masih harus mengajar. Maka, ketika diberikan bantuan beasiswa YKCA, frustrasi dan keraguan itu dalam sekejap bisa hilang.
Untuk itu, saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada dua pastor Jesuit di Paroki Botong. Karena telah “menghubungkan” saya dengan YKCA sehingga mereka menyediakan dana amal kasih dari jaringan donaturnya untuk saya. Demi masa depan hidup saya sebagai guru sekolah PAUD di wilayah pedalaman Botong, Kabupaten Ketapang, Kalbar.
Ungkapan syukur dan terimakasih yang tulus juga saya tujukan kepada para donatur. Berkat bantuan amal kasihnya melalui YKCA, saya berangsur bisa meraih rasa percaya diri kembali.
Semoga budi baik bapak-ibu yang murah hati kepada kami bisa memacu kaum muda pedalaman di Kalbar untuk bersemangat mencari peluang untuk maju dan berkembang. Agar di kemudian hari, kami bisa membangun wilayah udik kami.
Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Baca juga: