DALAM hidup manusia, demikian kata Gandalf, yang terpenting adalah bagaimana hatimu bisa mengalahkan amarah, murka –pokoknya semua nafsu jahat—untuk kemudian memberi peluang bagi roh kebaikan memimpin. Itu nasehat singkat Gandalf kepada ksatria muda bernama Bilbo Baggins alias The Hobbit (Martin Freeman) ketika menerima pedang berkilau biru yang katanya merupakan warisan dari peri.
“Yang mulia dalam kehidupan bukan bagaimana kamu bisa menggunakan pedang istimewa ini untuk membunuh lawanmu. Bukan itu, melainkan bagaimana dengan pedang ini kamu bisa menghentikan keinginanmu untuk membunuh,” kata Gandalf kepada The Hobbit sesaat setelah memberikan pedang berkilau biru ini.
Tak ayal, memang sebilah pedang berkilau biru inilah yang akhirnya menyelamatkan rombongan para ksatria kurcaci pimpinan Dwarf Thor dalam upayanya mencari lokasi Kerajaan Erebor warisan moyangnya. Petunjuk ke arah sana hanyalah sebuah peta warisan keluarga. Itu pun masih menyisakan banyak misteri, karena beberapa kata kunci yang menjadi penentu lokasi dimana Kerajaan Erebor itu berada hilang.
Tapi untunglah novelis JRR Tolkien berhasil menciptakan tokoh sentral sekaliber Gandalf yang di film The Hobbit ini dikisahkan sebagai ‘dewa pelindung’ yang senantiasa menaungi para ksatria kurcaci ini menemukan lokasi Kerajaan Erebor. Sudah barang tentu, kehebatan film ini bukan saja karena penulis skenarionya berhasil memberi roh pada beberapa tokoh rekaan. Lebih dari itu, karya Peter Jackson memberi peran sentral pada Gandalf yang dengan bantuan para sekutunya berhasil melindungi kawanan pendekar kurcaci ini dari serangan aneka macam musuh haus darah.
Lalu dimana hebatnya film ini?
Saya cenderung mengatakan, The Hobbit: An Expected Adventure sungguh merupakan sebuah film yang menghibur lebih karena tata sinematografi yang fantastik. Lihat saja bagaimana director of photography berhasil memotret adegan demi adegan dengan latar belakang panorama alam yang sedemikian eksotis. Juga, kehebatan para insinyur di belakang layar yang berhasil menciptakan aneka profil cyborg haus darah dan aneka jenis binatang yang super trengginas, lucu, dan menawan.
Tak bisa dibayangkan serunya menikmati Tukang Sihir eksentrik yang dengan kereta saljunya berhasil mengecoh lari sekawanan serigala ganas haus darah. Pun pula, tokoh rekaan manusia raksasa yang suka makan sate daging manusia. Dan tentu saja, raksasa jumbo segede gunung yang saling berantem entah karena alasan apa.
Lalu, sekawanan garuda gede yang berterbangan menyisir angkasa untuk menyelamatkan sekawanan kurcaci dan The Hobbit yang nyaris menjadi santapan ganas para serigala haus darah. Ini jelas kerja para insinyur yang hebat dan bersambung dengan teknik pengambilan gambar yang menawan.
Baik dan buruk
Manusia adalah dua sisi pada satu mata uang. Ada yang baik dan ada pula yang buruk atau jahat. Dalam diri kita masing-masing, dua kutub roh itu juga eksis. Kadang, kita bisa baik namun sekali waktu bisa juga menjadi sangat jahat. Misteri kehidupan manusia itulah yang ingin ditorehkan Gandalf kepada The Hobbit, ketika perannya untuk menjadi ksatria para kurcaci mengharuskan dia tampil ke permukaan.
Padahal, semula The Hobbit hanyalah manusia biasa. Bahkan, di kalangan para kurcaci –terutama Raja Dwarf Thor—Bilbo Gabbins tak lebih terhormat daripada seorang pencuri yang culas dan banyak akal. Itulah sebabnya, di hampir sepanjang film berdurasi nyaris 3 jam ini, pertarungan batin antara kerendahan hati dan kesombongan diri pada Dwarf Thor mencapai puncaknya ketika dia rela mengakui kehebatan Bilbo Gabbins di balik sikap dan perilakunya yang serba culun, peragu, dan susah ditebak maunya apa.
Adalah Gandalf yang luar biasa sakti mandraguna yang membuat Bilbo Gabbins menemukan panggilan hidupnya yang baru: sebagai ksatria di antara para kurcaci. Ia mengemban amanat mulia: jangan semena-mena menghunus pedang berkilau biru itu kalau keadaan tidak sangat memaksa. Kata ‘memaksa’ jelas bukan hanya berarti jiwanya terancam, melainkan justru ketika ia harus menyisihkan nafsu membunuh dan membiarkan pedang istimewa itu memimpin hidupnya.
Petualangan menemukan Kerajaan Erebor akhirnya kesampaian di ujung ufuk cakrawala. Dan ketika rombongan para ksatria kurcaci itu sampai di tempat, sangatlah pintar Peter Jackson lalu menguncinya dengan sebuah adegan singkat yakni panorama alam dengan cahaya kilat yang menyilaukan. Itu belum cukup menyentak, sehingga sedetik kemudian muncullah di layar kalimat “The End” dan benarlah film berdurasi hampir tiga jam ini memang sudah cuthel alias selesai dengan sambutan nafas panjang lega.
Di ujung sana, trilogi film The Lord of the Rings sudah menanti dan bahkan sudah eksis sebelum cikal bakal film sukses itu lahir dari tangan sutradara Peter Jackson.