Selasa. Minggu Prapaskah III, Hari Biasa (U)
- Dan. 3:25.34-43
- Mzm. 25:4b-5b.6.7c.8-9
- Mat. 18:21-35
Lectio (Mat. 18:21-35)
Meditatio-Exegese
Tujuh puluh kali tujuh
Kebencian, kebekuan hati, penghinaan, celaan dan sakit hati sulit sekali diampuni. Setiap murid Yesus dituntut untuk bertindak lebih dari sekedar yang dituntut kebijaksanaan manusia, “Aku memaafkan, tetapi tidak melupakan.”
Yesus mengingatkan bahwa seluruh anggota komunitas harus mengedepankankan pengampunan dan rekonsiliasi. Mereka harus mau menerima dan mengampuni saudara-saudari yang berbuat dosa (Mat. 18:21-22).
Sebelumnya, Petrus bertanya pada Yesus apakah harus mengampuni hingga tujuh kali. Angka tujuh menyimbolkan kesempurnaan, selalu. Namun, Yesus menuntut lebih dari yang diminta Petrus.
Sabda-Nya, “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:22). Tujuh puluh kali tujuh kali! Selalu! Karena manusia tidak dapat membandingkan antara pengampunan yang dianugerahkan Allah dan pengampunan yang diberikannya kepada sesama manusia.
Yesus menggemakan belas kasih Allah yang tak berkesudahan, seperti diwartakan Nabi Yeremia (Rat. 3:22-23), “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu.”, Misericordiae Domini, quia non sumus consumpti, quia non defecerunt miserationes eius. Novae sunt omni mane.
Ungkapan tujuh puluh tujuh kali mengacu pada ucapan Lamekh, ketika berkata, “Aku telah membunuh seorang laki-laki karena ia melukai aku, membunuh seorang muda karena ia memukul aku sampai bengkak; sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat” (Kej. 4:23-24).
Yesus memutus lingkaran setan kebiadaban, the spiral of violence. Lingkaran setan ini telah masuki sejarah manusia sejak dosa Adam dan Hawa melalui pembunuhan Kain terhadap Habil dan balas dendam Lamekh.
Ketika lingkaran setan itu menguasai hidup manusia, segalanya berubah menjadi jahat dan memecah belah segala. Banjir bandang di masa Nuh, kisah Menara Babel menyisakan pertanyaan mengapa manusia mau berserakan, disekat-sekat dan saling membenci (bdk. Kej. 2-11:32).
Dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta
Tentang pengampunan, Yesus mengisahkan perumpamaan tentang perhitungan hutang piutang antara seorang raja dengan peminjam. Kepada raja dihadapkan seorang hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta. Hutang sepuluh ribu talenta emas setara dengan emas seberat 10.000 x 34 kg.
Kepada hambanya itu, sang raja menagih hutang. Tetapi, hamba itu memohon kelonggaran, ”Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.” Ia menyadari bila hasil kerjanya dan seluruh keluarga, kerabat dan keturunannya tak akan bisa melunasi hutang setara 340.000 kg emas.
Sang raja tergerak hatinya oleh belas kasihan. Ia mengampuni, karena ia mampu merasakan duka dan derita si hamba yang berhutang itu. Hatinya berbelas kasih dan menghapus semua hutangnya.
Allah pun bertindak demikian. Ia mengampuni, seperti Ia menghapus hutang seberat 340.000 kg emas. Maka, manusia selalu dalam posisi batin tidak mampu melunasi hutang kepada Allah (bdk. Mzm. 49:8-9).
Ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya
Bagian kedua perumpamaan mengisahkan hamba yang dihapus hutangnya senilai sepuluh ribu talenta. Ia, ternyata, tidak mengampuni hutang sebesar seratus dinar atau setara upah kerja selama seratus hari.
Hamba yang jahat itu, justru memenjarakan orang yang berhutang dengan nilai yang demikian kecil itu. Hutang sebesar gunung tak dapat dibandingkan dengan hutang yang hanya sebesar sebutir pasir.
Tolok ukur untuk mengampuni akan dikenakan pada masing-masing murid Yesus. SabdaNya, “Bapa-Ku yang di surga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Mat. 18:35).
Ia juga bersabda (Mat. 6:15), “Jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”, si autem non dimiseritis hominibus, nec Pater vester dimittet peccata vestra.
Komunitas iman yang bangun Jemaat Matius selalu menyediakan ruang untuk tumbuh kembangnya solidaritas dan persaudaraan. Komunitas ini berlawanan dengan komunitas yang dibangun Kekaisaran Romawi yang dibangun tanpa hati dan tanpa empati untuk mereka yang kecil, lemah, sakit dan miskin.
Orang-orang dari golongan ini mencari perlindungan, tempat mengungsi, tetapi ditolak. Mereka mencari di sinagoga, namun komunitas itu terlalu menuntut dan tidak menyediakan ruang kosong.
Mereka juga mencari perlindungan di komunitas Kristen. Tetapi komunitas-komunitas itu mengenakan hukum yang sama dengan komunitas sinagoga.
Di samping itu, di antara anggota komunitas Kristen abad pertama, telah muncul gejala perpecahan karena jemaat terbelah antara yang kaya dan yang miskin (Yak. 2:1-9). Walaupun komunitas Kristen itu sadar akan panggilan untuk membangun persaudaraan, mereka justru bertindak sebaliknya.
Santo Matius mengingatkan komunitas yang dibinanya, supaya menjadi komunitas yang memberi ruang untuk solidaritas. Masing-masing saling memberi dan menerima, persaudaraan dan doa.
Komunitas itu juga menjadi Kabar Sukacita bagi yang kecil, lemah, sakit dan miskin. Penginjil mengingatkan manusia, sulit sekali berkata, “Aku mengampuni”.
Ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya
Allah telah menunjukkan belas kasih pada manusia dengan cara menghapus seluruh dosa. Manusia, pada gilirannya, harusnya berbelas kasih dan mengampuni setiap orang. Kesediaan untuk mengampuni menjadi kewajiban suci.
Bila berharap Allah mengampuni dan menunjukkan belas kasih-Nya ketika manusia melakukan kesalahan dan melanggar perintah-Nya, ia harus rela hati menghancurkan amarah, dendam, atau perasaan tidak enak pada sesama.
Yesus mengajarkan untuk berdoa tiap hari agar diberi rahmat dan kekuatan untuk mengampuni sesama seperti cara Allah mengampuni. Sabda-Nya, ”Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat. 6:12.14-15).
Jika tidak menunjukkan belas kasih dan pengampunan kepada sesama manusia, bagaimana mengharapkan Allah mengampuni?
Rasul Yakobus menekankan bahwa (Yak. 2:13), ”Penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan”, iudicium enim sine misericordia illi qui non fecit misericordiam.
Katekese
Obat sehari-hari atas dosa kita. Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, 354-430 :
“Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Mari kita daraskan kalimat ini dengan khidmad, karena kalimat ini bermakna belas kasih.
Dosa yang menekan dan mengubur kita tak dapat di anggap sepele! Apa yang lebih kecil dari butiran air hujan? Namun butir-butir itu memenuhi sungai. Apa yang lebih kecil dari bulir gandum? Namun bulir-bulir itu memenuhi lumbung.
Kamu pasti memahami bahwa dosa-dosa ini sangat kecil, tetapi kamu tidak memperhatikan bahwa ternyata mereka berjumlah banyak. Percayalah, dalam setiap kejatuhan kita dalam dosa, Allah selalu menyediakan bagi kita obat yang diberikan tiap hari untuk mengatasinya.” (Sermon 205,1)
Oratio-Missio
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai. Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan.
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan.
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita. (doa Santo Fransiskus dari Asisi, 1181-1226)
- Apa yang perlu aku lakukan supaya aku mudah mengampuni sesamaku?
Sic et Pater meus caelestis faciet vobis, si non remiseritis unusquisque fratri suo de cordibus vestris – Matthaeum 18:35