CATATAN ini, atau lebih tepatnya, perasaan yang ingin saya tuliskan ini mulai terbayangkan di sela-sela lantunan macapat -sebuah jenis puisi tradisional Jawa– dalam suasana tuguran Kamis Putih di Gereja St. Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul, hari Kamis 28 Maret 2024.
Beberapa jam sebelum itu, saat mengikuti perayaan ekaristi Kamis Putih, sejenak terlintas pertanyaan di benak saya, “Kenapa disebut Kamis Putih? Kenapa misal bukan Kamis Ungu, seperti warna kain yang menyelubungi salib dan beberapa patung di dalam gereja?”
Biasanya, kalau ada pertanyaan yang mengganjal seperti itu, naluri saya akan mendorong untuk di lain waktu mencari tahu lebih lanjut, misalnya dengan menggali informasi di internet atau pun bertanya ke orang lain. Ternyata, kebiasaan itu tidak saya lakukan kali ini.
Tuguran dan Macapat
Tak jadi mencari jawaban atas pertanyaan, fokus saya beranjak pada kegiatan lain di gereja, yakni tuguran. Dalam tradisi Gereja Katolik, tuguran Kamis Putih adalah sebuah simbol ikut berjaga dan menemani Yesus yang sedang berdoa di Taman Getsemani.
Seperti pada tahun sebelumnya, kebetulan pula malam tadi saya berkesempatan mendengarkan kelompok macapat di paroki kami yang juga secara khusus terlibat dalam acara tuguran. Kelompok ini semuanya laki-laki dan terdiri dari beberapa orang yang sudah cukup lanjut umurnya. Sebuah bukti kecintaan untuk melestarikan (nguri-uri) budaya Jawa.
Dengan menggunakan busana adat, kelompok macapat ini menyanyikan lantunan puisi khas dalam bahasa Jawa. Dalam kondisi larut malam dan hening di dalam gereja, suara kelompok macapat ini memberikan nuansa yang unik, karena di antara umat yang hadir terdapat juga beberapa orang suster Kongregasi PRR dan mahasiswa yang berasal dari luar Jawa.
Nderek Gusti Yesus
Ketika duduk di dalam gereja, saat menoleh ke arah jam tangan saya, jarum jam menunjukkan pukul 23.50 WIB. Saya ingat persis bahwa tepat ketika itu pula terdengar jelas penggalan kata “Ndherek Gusti Yesus” dari rangkaian nyanyian puisi kelompok macapat.
Sejenak saya merenung, “Ndherek Gusti Yesus” bagi saya bisa diartikan ikut atau manut Tuhan Yesus.
Lantas saya berpikir, “Jangan-jangan ini petunjuk dari beberapa pertanyaan dalam hati saya, saat mengikuti perayaan ekaristi Kamis Putih tadi?”, bahwa ada saatnya kita bertanya dan mencari jawaban, tapi ada saatnya pula kita berpasrah dan tak perlu bertanya.
Tinggal ikuti dan manut saja pada apa yang Tuhan rancangkan.
Seperti yang dituliskan dalam Injil Yohanes tentang kisah Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Ada saatnya kita bertanya seperti Petrus, “Tuhan Engkau hendak membasuh kakiku?”, tapi ada saatnya pula bagi kita untuk cukup dengan diam, ikut, dan manut pada Tuhan, seperti yang dilakukan oleh para murid lainnya ketika dibasuh kakinya oleh Yesus.
Maka setelah perayaan Kamis Putih, mari kita mempersiapkan hati dengan “Ndherek Gusti Yesus” untuk mengenang sengsara dan wafat-Nya dalam ibadat Jumat Agung.