Sabtu, 27 April 2024
Kis. 13:44-52;
Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4;
Yoh. 14:7-14
SOAL “percaya” menjadi mahal. Setidaknya untuk saat ini. Belum lagi untuk bisa dipercaya.
Percaya bukan perkara mudah. Bahkan sering kita mendengar: “Orang jauh lebih percaya dengan tindakan yang sudah dilakukan, daripada kata-kata yang dikeluarkan”.
Tanpa ada kepercayaan, hidup akan terisi dengan kecurigaan dan kebohongan. Pada hakikatnya, manusia adaah makhluk sosial. Kita tak bisa hidup tanda adanya orang lain. Di saat kita diberi kepercayaan oleh orang lain, kita pun harus percaya pada mereka.
Kepercayaan harus dilandasi kejujuran. Ketika seseorang itu jujur, ia akan bisa dipercaya dan menjaga kepercayaan dari orang lain. Meski begitu, membangun kepercayaan satu sama lain tak semudah yang dibicarakan dengan kata-kata.
“Bertahan dalam sikap baik, jujur dan bertanggungjawab itu tidak mudah,” kata seorang bapak.
“Saya tidak pernah menyangka kepercayaan yang saya persembahankan untuk pasangan saya dikhianati. Jarak dan minimnya kebersamaan telah menjadi pemicu hingga pasangan saya jatuh dalam hubungan yang tidak semestinya dengan orang lain.
Saya tidak bisa menerima perilaku tidak setianya. Kepercayaan yang telah ternoda, membuat perasaan dihantui kebohongan dan kecurigaan. Semoga ada jalan baik bagi kami untuk memperbaharui komitmen kami dalam membangun keluarga,” ujarnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.”
Salah satu kunci untuk menumbuhkan sebuah kepercayaan di dalam kehidupan ini adalah keteladan. Keteladan itu sendiri adalah kesaksian hidup yang diwujudkan dalam bentuk tindakan.
Maka dari itu, Yesus meminta kepada kita untuk melihat pekerjaan-pekerjaan yang dibuat oleh Yesus. Bukan pertama-tama sebagai bukti kebenaran bahwa yang dikatakan Yesus berasal dari Bapa, tetapi lebih dari itu, undangan pribadi untuk ikut terlibat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dikehendaki oleh Bapa.
Di titik inilah kita musah gamang karena tidak mampu membedakan fakta obyektif tindakan Yesus, dengan opini pribadi kita bahwa Yesus bisa menunjukkan Bapa secara kasat mata.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku percaya bahwa Yesus adalah Almasih dengan melihat tanda kehadiran-Nya di dalam kehidupan ini?