Minggu, 5 Mei 2024
Kis. 10:25-26,34-35,44-48;
Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4;
1Yoh. 4:7-10;
Yoh. 15:9-17
BERBAGAI kisah tentang kasih yang mungkin pernah kita dengar selalu menimbulkan kesan mendalam tentang kehidupan ini.
Kasih antara orangtua kepada anak, yang diwarnai dengan sukacita dan pengurbanan, tawa dan airmata membuat kita bisa bersyukur pada Tuhan atas semua yang terjadi.
Kasih seorang suami kepada isteri dan sebaliknya sering kali menimbulkan keterharuan atas gelombang kasih dan cinta di tengah badai kehidupan yang mereka jalani.
Di dalam kasih yang dinyatakan selalu ada pengorbanan. Namun, dalam kenyataannya tidak sedikit pula kasih yang ditunjukkan ada alasan atau pamrih di baliknya, sehingga sering timbul pertanyaan kenapa begitu sulit sekali untuk menemukan kasih tanpa pamrih di dunia ini.
“Orang lebih suka mengasihi apa yang ada dipikirannya daripada kenyataan yang ada,” kata seorang sahabat.
“Sebaik apa pun yang aku lakukan banyak orang yang tidak bisa menerima kebaikanku, karena masa lalu yang telah ternoda. Stigma yang dikenakan pada diriku telah menutup semua usaha dan perjuanganku di mata mereka, hingga mereka tidak melihat kebaikan dan kebenaran yang telah aku lakukan.
Menghadapi situasi seperti itu, saya selalu berpikir bahwa sejarah hidup ini aku tulis ke depan bukan ke belakang, apa yang telah terjadi sudah menjadi bab masa lalu, hari ini dan waktu yang akan datang adalah babak baru bagiku,” paparnya.
Sungguh ironis berbagai kisah kasih di dunia ini pada akhirnya berujung dengan kisah sedih di mana setiap orang yang terlibat di dalamnya terlibat konflik berkepanjangan. Kenapa? Karena kasih manusia selalu menuntut dan ada pamrihnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, ”Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.”
Kasih tulus tanpa pamrih ditampilkan oleh Tuhan Yesus untuk itu kita dipanggil untuk tinggal dalam kasih-Nya itu. Tinggal dalam kasih Kristus merupakan sebuah sikap batin yang diharapkan berakar dalam hidup kita sepanjang waktu. Hal ini meminta kita untuk memberi ruang dalam diri kita agar kasih Kristus bertumbuh dalam diri kita.
Tuhan memberikan perintah baru untuk saling mengasihi karena Ia telah terlebih dahulu mengasihi kita. Tuhan tidak hanya memberi komando untuk saling mengasihi, tetapi Ia sudah terlebih dahulu sangat mengasihi kita dengan menyerahkan nyawa-Nya sendiri di atas kayu salib. Ia sendiri telah memberi contoh dan teladan.
Cinta kasih yang benar ini mengarahkan kita kepada pertobatan batin dan mengajak kita untuk meneladani-Nya saat kita melakukan perintah-Nya dengan tinggal di dalam kasih-Nya.
Menjalankan tugas dan karya pelayanan kita setiap hari adalah bentuk kita tinggal dalam kasih-Nya. Melayani Allah terwujud dalam bekerja memenuhi apa yang menjadi kehendak-Nya.
Itulah isi dari perintah-Nya. Dan pekerjaan yang kita lakukan dalam melayani Allah kita lakukan dalam keadaan hati penuh syukur dan sukacita. Mengapa?
Karena kasih Bapa untuk Putra-Nya telah mendasari pelaksanaan kasih kita kepada sesama dan sekaligus pernyataan konkret dari tanda persahabatan Yesus dengan kita, hingga kita tidak lagi dipanggil sebagai hamba namun sahabat.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku sudah menjalankan kasih dengan menghidupi kehendak Tuhan?