“Jika Tuan Mau”

0
31 views
Ilustrasi (Ist)

Puncta 28.06.24
PW. St. Ireneus, Uskup dan Martir
Matius 8:1-4

SEORANG pengemis buta duduk meminta-minta di pinggir jalan dekat Gereja. Di depannya ada kertas karton dengan tulisan, “Aku buta, tolonglah aku.”

Dan di samping tulisan ada kardus untuk menampung uang belaskasihan mereka yang lewat. Hanya ada beberapa receh koin dan lembaran seribuan.

Lalu seorang pemuda lewat, membaca tulisan itu. Ia mengambil kertas dan menuliskan suatu kalimat di lembar belakangnya. Ia lalu meninggalkan pengemis yang ”thingak-thinguk” tak memahami apa yang dilakukan pemuda tadi.

Tidak lama kardus itu sudah banyak berisi sumbangan dari mereka yang lewat. Ketika jam pulang kerja, pemuda tadi lewat di tempat pengemis duduk minta-minta.

Ia jongkok dan menyapa si pengemis. Bapak tua itu mengenali kehadirannya. Ia bertanya kepada si pemuda, “Apa yang kamu lakukan tadi. Kamu tulis apa di kertas kartonku tadi?”

“Saya menulis apa yang bapak tulis, hanya mengubah sedikit saja. Saya menulis: Hari ini adalah hari yang sangat indah, hanya saja aku tidak melihatnya.”

Setelah selesai pengajaran-Nya, Yesus turun bukit dan langsung ditemui oleh seorang yang sakit kusta. Tidak seperti orang-orang lain yang berteriak minta tolong, “Yesus, kasihanilah aku.”

Tetapi si kusta ini menyembah dan berkata, “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”

Kata-katanya santun dan tidak memaksa Tuhan. “Jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” Mendengar kalimatnya itu, Yesus langsung mengulurkan tangan dan menolong orang kusta itu sehingga sembuh.

Isi yang sama bisa diungkapkan dengan cara yang berbeda. Sebagaimana pengemis tadi, ia menuliskan keadaannya yang buta dan minta tolong kepada orang-orang yang lewat. Namun tidak banyak reaksi dari mereka.

Namun setelah kalimat itu diubah, banyak orang yang mengulurkan tangan membantu. Isi kalimatnya tetap sama. Tetapi orang lebih terketuk untuk berbagi karena ada orang yang tidak mampu melihat keindahan dunia di sekitarnya.

Orang kusta tadi memberitakan tawaran simpatik kepada Yesus, “Jika Tuan mau.” Ia tidak memaksakan kehendaknya. Ia menyadari siapa dirinya.

Sapaan yang simpatik ini justru meluluhkan hati Tuhan. “Aku mau, jadilah engkau tahir.”

Bagaimanakah sapaan, doa-doa kita kepada Tuhan? Apakah kita sering memaksakan kehendak atau menyerahkan diri pada-Nya?

Bagaimana kita memerintah orang, apakah dengan keras bentak-bentak, atau dengan tenang dan lembut meminta tolong kepada mereka?

Lebih baik sakit gigi,
Daripada harus alami sakit hati.
Selalu gunakanlah hati,
Untuk membangun sebuah relasi.

Cawas, menyapa dengan hati
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here