Rabu 14 Agustus 2024.
Peringatan Santo Maximilianus Maria Kolbe
Yeh. 9:1-7; 10:18-22;
Mzm. 113:1-2.3-4.5-6;
Mat. 18:15-20
PERJALANAN hidup manusia memang tak akan lepas dari konflik, bahkan masalah atau rintangan yang sering menghalangi langkah. Oleh karena itu, kita pasti punya berbagai cara untuk melewatinya hingga bisa bertahan sampai hari ini.
Dalam setiap konflik yang kita hadapi, marilah kita berbicara dengan kasih dan keterbukaan, melibatkan sesama jika perlu, dan mencari kehadiran Kristus dalam doa dan persekutuan.
“Saya tidak harus larut dalam kebencian dan sikap anti, namun berusaha lunak dan mencoba menawarkan perdamaian,” kata seorang ibu.
“Suamiku memang salah, dan saya bisa bertindak lebih keras padanya. Namun saya tidak memilih jalan itu, karena masalah tidak akan selesai dengan amarah dan keinginan membalas dendam.
Meski saya terluka, namun saya berusaha menangani masalah itu dengan kasih. Saya mengampuni suamiku yang telah tidak setia. Kasih itu membebaskan dan membawa perdamaian di dalam hatiku juga dalam keluargaku,” ujar ibu itu.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.”
Yesus mengajarkan kita untuk menyelesaikan konflik dengan berbicara langsung kepada saudara kita yang berbuat salah. Santo Maximilianus Maria Kolbe, yang dikenal karena cintanya yang mendalam kepada Tuhan dan sesama, menunjukkan teladan yang nyata tentang bagaimana kasih yang tulus dapat mengatasi perbedaan dan konflik.
Dalam kehidupannya, Kolbe tidak hanya berbicara tentang kasih, tetapi juga mengamalkannya dengan tindakan nyata, baik dalam pelayanan pastoralnya maupun dalam pengorbanannya di kamp konsentrasi Auschwitz.
Santo Maximilianus menghidupi prinsip ini dengan komitmennya terhadap kebenaran dan keadilan. Di tengah penderitaan dan tekanan yang ekstrem, ia memilih untuk melawan ketidakadilan dan menegakkan nilai-nilai Kristen.
Pengorbanannya, yang paling dikenal adalah ketika ia menawarkan hidupnya untuk menyelamatkan seorang sesama di kamp konsentrasi, adalah contoh nyata dari pengorbanan yang didorong oleh kasih.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku menghidupi ajaran kasih dalam setiap langkah hidupku khususnya saat dalam konflik kehidupan yang aku hadapi?