PHNOM PENH adalah Ibukota Kamboja, sedangkan Battambang merupakan kota nomor dua terbesar di Kamboja. Jarak antara dua kota itu sekitar 300 km. Kendati dua kota itu kota besar tetapi jalan yang menghubungkan keduanya dapat dikatakan tidak sesuai dengan julukan keduanya pada enam belas tahun yang lalu. Kurang lebih seperempat jalan nasional yang menghubungkan kota itu memang sudah beraspal tetapi sisanya masih jalan tanah bopeng-bopeng. Truk-truk besar yang hilir mudik dari Thailand ke Phnom Penh itulah yang membuat jalan bopeng dan berlubang.
Saat ini, keadaan memang sudah jauh berubah. Jalan yang menghubungkan dua kota itu sudah bagus dan beraspal mulus. Dua kota itu juga sudah banyak berubah. Di Battambang, misalnya, pada tahun 1996-1997 saya tidak menemukan bangunan lebih dari tiga lantai.
Sekarang ini sudah ada bangunan lebih dari 6 lantai. Ada hotel bintang lima di kota itu saat ini. Dulu transportasi umum dilayani oleh mini truk bak terbuka dan sedan tua. Tidak ada bis. Sekarang sudah banyak bis umum lalu lalang yang menghubungkan kedua kota tersebut.
Enam belas tahun lalu, dibutuhkan waktu seharian, antara 10-12 jam, untuk menempuh perjalanan dari Phnom Penh ke Battambang. Biasanya saya berangkat dari Phnom Penh sekitar pukul 06.00 dan baru masuk kota Battambang pada sore hari. Jalan yang sudah halus pada waktu itu hanya dari Phnom Penh ke Kompong Chnang, sekitar 70 Km. Selebihnya, yakni antara Kompong Chnang, Pursat, Battambang, adalah jalan tanah. Saat kemarau tiba, debu beterbangan dimana-mana. Saat musim hujan, jalan berlumpur dan sulit ditembus. Selain itu, ada banyak pos-pos pemeriksaan dan jembatan rusak.
Diperas $100
Tidak semua jembatan rusak karena memang rusak tetapi sengaja dirusak. Hampir di setiap jembatan yang dilalui terdapat pos penjagaan. Ada jembatan yang dirusak dengan maksud untuk menciptakan “bisnis” baru.
Dengan dirusak, muncul “jasa” membantu kendaraan yang melintas. Penyedia “jasa” itu akan meminta upah.
Pos-pos penjagaan di sepanjang jalan tidak semuanya resmi. Banyak yang tidak resmi. Saya pernah mengalami bagaimana diperas di pos penjagaan enam belas tahun silam. Saat itu saya naik angkutan umum, yakni sebuah sedan tua, yang dipaksakan mengangkut 7 orang termasuk sopir. Sampai di Propinsi Pursat mereka memeriksa penumpang satu per satu. Ketika melihat saya, mereka sudah mulai curiga bahwa saya bukan orang Kamboja dengan melihat potongan rambut.
Pada saat itu kebanyakan potongan rambut laki-laki Kamboja agak ke atas di bagian belakang. Mereka mengira saya orang Vietnam, yang – konon – merupakan salah satu “musuh” orang Kamboja.
Mereka lalu mengajukan suatu pertanyaan dan saya menjawab dalam bahasa Khmer. Dari jawaban bahasa Khmer saya, jelas bahwa logat saya bukanlah logat Kamboja. Mereka segera meminta paspor dan dokumen yang lain. Saya tunjukkan semuanya namun mereka tetap minta uang dengan berbagai alasan.
Mereka minta $100, tapi tidak saya beri.
Oleh karena waktu itu saya adalah satu-satunya orang asing, dan tampaknya tidak ada yang berani “membela” saya, apa boleh buat saya mulai bernegosiasi. Apalagi saya mulai dikerubungi oleh para tentara yang membawa senjata. Mulailah muncul rasa takut. Setelah negosiasi yang alot, akhirnya saya membayar $10 kepada mereka. Negosiasi yang tidak terlalu buruk.
Sejak saat itu saya kapok berangkat sendiri pakai angkutan umum. Saya berusaha mencari “tumpangan” mobil lembaga internasional atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mempunyai tanda khusus, yang bebas dari pemeriksaan para petugas dari pos-pos penjagaan. Jika terpaksa naik angkutan umum, saya berusaha mencari teman yang “berani”.
Pilihan terakhir adalah naik pesawat “Cambodia Airlines” yang tidak setiap hari terbang dengan biaya $45 untuk sekali terbang. Saat ini maskapai ini sudah tidak beroperasi di seluruh Kamboja, dan tidak ada lagi rute pesawat Phnom Penh – Battambang.
Saat saya ke Kamboja tahun lalu, hal-hal seperti di atas sudah tidak ada lagi. Banyak angkutan umum, baik bis maupun mobil travel, lalu lalang Phnom Penh–Battambang – Phnom Penh. Jalan beraspal mulus. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 4-5 jam. Dan yang lebih penting lagi, kita merasa aman dan nyaman karena tidak ada lagi pos-pos penjagaan dan pemerasan.
Juga tidak ada lagi jembatan yang sengaja dirusak untuk “bisnis. (Bersambung)
Photo credit: Perjalanan darat dari Phnom Penh ke Battambang (Mispan Indarjo)
Artikel terkait:
- 40 Tahun Vakum, Umat Katolik Taom Siem Reap-Kamboja Hanya 29 Jiwa (2)
- Kamboja Masih Cinta Sama Raja Sihanouk
- Gereja Paroki Siem Reap, Kamboja, Satu Romo untuk 500 Umat Katolik (1)
- Romo Gregorius Priyadi SJ: 12 Tahun Menjadi Misionaris di Kamboja (1)
- Kamboja: Sekarang dan 16 Tahun Yang Lalu serta Kenangan akan Alm.Richie Fernando SJ (5)