Sabtu, 7 September 2024
1Kor 4:6b-15;
Mzm 145:17-18.19-20.21;
Luk 6:1-5.
DI media sosial, kritik dan komentar negatif sering kali disebarluaskan tanpa pertimbangan mendalam. Ini menciptakan lingkungan di mana penilaian cepat terhadap perilaku dan pilihan orang lain menjadi norma.
Efeknya, bisa menimbulkan ketidaknyamanan, stres, dan bahkan konflik. Apalagi jika penilaian itu berkaitan dengan hidup beriman dan praktik keagamaan seseorang.
Ketika fokus terlalu banyak pada penilaian perilaku orang lain, ada risiko kehilangan empati. Sesama dilihat dari ketidakasetujuan kita hingga apa pun yang mereka lakukan selalu tidak tepat.
Orang sering kali lupa bahwa setiap individu memiliki latar belakang dan konteks yang berbeda. Sehingga orang menilai tanpa memahami sepenuhnya situasi orang lain. Penilaian itu bukannya memperbaiki sesama tetapi dapat memperburuk ketidakpahaman dan ketidakpedulian pada sesama.
“Saya bersyukur punya orang tua yang jujur dan taat pada aturan,” kata seorang ibu.
“Di masa bapak menjabat sebagai salah satu direksi di kantor bea cukai, bapak bisa mendapatkan banyak hal berkaitan dengan kemewahan dan harta kekayaan. Namun bapak tidak melakukan itu.
Dia bekerja dengan jujur dan tidak tergoda untuk berbuat curang atau menyalahgunakan wewenang, meskipun tidak ada yang memantau, bapak selalu menunjukkan kesetiaan kepada prinsip-prinsip Tuhan tentang kejujuran.
Dia melawan arus dari tradisi lembaga yang seringkali dicap sebagai lembaga sarang para koruptor menjadi lembaga yang bersih,” ujarnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Tetapi beberapa orang Farisi berkata: Mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada Hari Sabat?”
Orang Farisi menganggap bahwa pemetikan bulir gandum oleh murid-murid Yesus adalah pelanggaran Hukum Sabat. Mereka mengabaikan esensi dari hukum tersebut dan hanya fokus pada pelanggaran eksternal.
Hal ini mengajarkan kita bahwa seringkali kita bisa terjebak dalam rutinitas religius yang sempit dan melupakan makna sebenarnya dari hukum atau prinsip Tuhan.
Yesus menunjukkan bahwa kebutuhan manusia yang mendesak, seperti lapar, adalah prioritas. Kasih dan belas kasihan harus mengatasi aturan-aturan formal yang bisa menjadi beban daripada berkat.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mengikuti aturan secara eksternal, dan memahami serta menghidupi esensi dari ajaran Tuhan?