Selasa. Pesta Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus (P)
- Yes. 66:10-14c
- Mzm.131:1.2.3
- Mat.18:1-5
Lectio
1 Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Surga?” 2 Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka
3 lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.
4 Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Surga. 5 Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.”
Meditatio-Exegese
Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem
Saat Koresh, raja Persia mengalahkan Babel pada 539 sebelum Masehi, suku Yehuda dan Benyamin telah hidup sebagai buangan di negeri itu selama berpuluh tahun. Satu tahun kemudian, sang raja mengizinkan tiap suku bangsa kembali ke tanah masing-masing.
Nabi Yesaya tak hanya menubuatkan bahwa Allah menganugerahkan keselamatan (Yes. 66:12), tetapi juga Ia mengumumkan pengadilan pada mereka yang mendua hati.
Mereka hendak membuat hati Allah bersukacita dengan kurban bakaran, tetapi mereka “melakukan yang jahat di mata-Ku dan lebih menyukai apa yang tidak Kukehendaki.” (Yes. 66:4). Ia juga menghukum para musuh-Nya, “Dengar, Tuhan melakukan pembalasan kepada musuh-musuh-Nya.” (Yes. 66:5-6).
Mengawali madah sukacita tentang nubuat keselamatan bagi umat yang dibuang, nabi mengajukan pertanyaan retoris tentang kota ekatologis, di zaman akhir, yang melahirkan seluruh umat dengan cara yang mengagumkan (Yes. 66:7-9).
Sion yang baru dilahirkan tanpa rasa sakit. Dialah Gereja, yang didirikan Yesus Kristus pada zaman akhir (Ibr. 1:2). Gereja-Nya menaungi manusia dari segala suku, bangsa dan bahasa di bawah kolong langit (bdk. Kis. 2:5-11). Gereja juga mengimani nubuat ini menjadi lambang Ibu Maria, yang melahirkan Yesus tanpa kehilangangan keperawanannya (bdk. Why. 12:5).
Pada bagian akhir (Yes. 66:10-14), nabi mengajak Sion dan seluruh manusia untuk bersukacita, karena Allah bertindak seperti seorang ibu. Ia merawat setiap pribadi dengan penuh kasih: menyusui, menggendong, membelai, merawat serta menyelamatkan.
Maka, sang nabi selalu mengajak (Yes. 66:10), “Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya.”, Laetamini cum Ierusalem et exsultate in ea, omnes, qui diligitis eam.
Gereja mengajar, “Kalau bahasa iman menamakan Allah itu “Bapa”, maka ia menunjukkan terutama kepada dua aspek: bahwa Allah adalah awal mula segala sesuatu dan otoritas yang mulia dan sekaligus kebaikan dan kepedulian yang penuh kasih akan semua anak-Nya.
Kebaikan Allah sebagai orangtua ini dapat dinyatakan juga dalam gambar keibuan (bdk. Yes. 66:13; Mzm. 131:2), yang lebih menekankan imanensi Allah, hubungan mesra antara Allah dan ciptaan-Nya. Dengan demikian bahasa iman menimba dari pengalaman manusia dengan orangtuanya, yang baginya boleh dikatakan wakil-wakil Allah yang pertama.
Tetapi sebagaimana pengalaman menunjukkan, orangtua manusiawi itu dapat juga membuat kesalahan dan dengan demikian menodai citra kebapaan dan keibuan. Karena itu perlu diperingatkan bahwa Allah melampaui perbedaan jenis kelamin pada manusia.
Ia bukan pria, bukan juga wanita; Ia adalah Allah. Ia juga melampaui kebapaan dan keibuan manusiawi, walaupun Ia adalah awal dan ukurannya. Tidak ada seorang bapa seperti Allah (bdk. Ef. 3:14; Yes. 49:15).”, (Katekismus Gereja Katolik, 239).
Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Surga?
Yesus menolak keinginan para rasul dan para pemimpin komunitas iman di masa depan untuk menjadi yang pertama dan pemimpin yang menguasai kawanan. Ia mengingatkan para pemimpin komunitas iman untuk berjuang keras mengalahkan kecenderungan manusiawi untuk mencari nama dan sombong. Ia mengundang mereka untuk menjadi rendah hati.
Kemudian Ia mewajiban para pemimpin komunitas iman untuk bersikap dan bertindak tepat bagi mereka yang kecil. Bila mereka menjadi bantu sandungan, para pemimpin itu menghadapi penghukuman yang berat (Mat. 18:5-9).
Selanjutnya, disingkapkan kesaksian malaikat di hadapan pengadilan surga (Mat. 18:10). Yesus mengingatkan siapa pun yang mendorong mereka yang kecil untuk berbuat dosa, pasti, menghadapi konsekuensi berat.
Allah sangat memperhatikan yang lemah dan kecil. Ia menghukum yang merugikan mereka.
Para rasul ternyata harus menanggung derita karena kecenderungan: mereka ingin menduduki jabatan tinggi bila Yesus datang menegakkan Kerajaan-Nya (bdk. Mrk. 10:40; Kis. 1:6). Keinginan itu muncul dalam perjalanan pulang ke Kapernaum (bdk. Mrk. 9:33; Luk. 9:46).
Mereka memang malu untuk mengungkapkan terus terang pada Yesus (Mrk. 9:33). Namun, Yesus rupanya mampu membaca pikiran hati mereka.
Sesampai di rumah, di Kapernaum, Yesus mengumpulkan mereka. Pasti, beberapa orang menggabungkan diri untuk mendengarkan pengajaran-Nya.
Saat Ia duduk di tengan-tengah mereka, Ia pasti menjelaskan tentang mentalitas yang berbahaya bagi komunitas iman yang dibangun-Nya. Dalam komunitas itu, para murid-Nya tidak diijinkan berebut tahta, kekuasaan, jabatan atau pengaruh.
Yesus pasti mengalami pahitnya dicengkeram oleh penguasa, baik penguasa lokal yang menjadi bawahan penguasa asing atau penjajah dari manca negara. Mereka memerintah dengan tangan besi (Mat. 20:25). Sebaliknya, dalam komunitas iman yang dibangun Yesus mentalitas itu harus diganti baru.
Orang menjadi benar-benar bermakna dan besar di hadapan Allah dan komunitas iman ketika ia mampu menjadikan dirinya kecil dan tidak bermakna. Ia harus menjadi pelayan bagi yang lain, menjalankan tugas yang panggulnya demi kebaikan sesama. Ia tidak mencari keuntungan atau kemuliaan dirinya sendiri.
Saat Yesus mengajar dan duduk di tengah-tengah pendengar-Nya, para murid dan orang banyak, Ia meminta seorang anak kecil untuk duduk bersama-Nya. Menempatkan anak di tengah-tengah berarti menjadikan dia pusat perhatian.
Kepada mereka, Ia mengingatkan (Mat. 18:3), “Jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”, Nisi conversi fueritis et efiiciamini sicut parvuli, non intrabitis in regnum caelorum.
Jika kamu tidak bertobat selalu bergema sepanjang waktu. Pada para murid-Nya, Yesus meminta untuk menanggalkan kesombongan dan mengembangkan sikap batin rendah hati. Yesus tidak menghendaki sikap kekanak-kanakan, suka merajuk, manja, dan meminta perhatian berlebih. Ia menghendaki sikap batin yang bergantung pada Allah, sama seperti anak-anak yang bergantung pada orang tua atau yang lebih dewasa.
Ketergantungan itu membebaskan dari kecenderungan untuk “kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah.” (1Ptr. 2:1). Santo Paulus menganjurkan pada jemaat di Korintus, “Jadilah anak-anak dalam kejahatan, tetapi orang dewasa dalam pemikiranmu.” (1Kor. 14:20).
Alam pikir anak diwarnai suka cita dan kegembiraan, tetapi lebih sering anak-anak dicekoki dengan amarah, iri hati dan kebohongan. Dan orang dewasa dituntut untuk mengalahkan kejahatan.
Santo Petrus mengajak seluruh murid Tuhan, seperti bayi yang tergantung dari air susu yang murni, untuk mengecap kebaikan Allah, agar tumbuh dan memperoleh keselamatan, “Jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan, jika kamu benar-benar telah mengecap kebaikan Tuhan.” (1Ptr. 2:2-3).
Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Ungkapan ‘menyambut’ bermakna melakukan seluruh bentuk tindakan amal kasih, seperti ramah menerima peziarah, menyantuni yang miskin, menyembuhkan yang sakit. Ungkapan itu juga bermakna menjauhkan yang kecil, anggota baru jemaat dan siapa pun yang percaya pada-Nya, dari ancaman penyesatan (Mat. 18:6).
Maka, Santo Matius menyimpulkan (Mat. 18:5), “Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.”, Et, qui susceperit unum parvulum talem in nomine meo, me suscipit.
Menerima yang kecil berarti tak hanya menerima Yesus, yang mengidentifikasi Diri-Nya sebagai yang kecil dan hina (bdk. Mat. 25:40), tetapi juga menerima Dia, yang mengutus Yesus (Mrk. 9:36).
Saat Ia menjelma menjadi manusia, Anak Allah menjadi seorang bayi yang dilahirkan untuk manusia, “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita.” (Yes. 9:6). Maka, semakin rendah hati dan semakin membuka tangan dan hati lebar-lebar untuk menyambut Yesus, semakin membuncah suka cita dalam Kerajaan-Nya.
Santa Teresia dari Lisieux mengajarkan Jalan Kecil, cara sederhana untuk mengikuti Yesus. Untuk terus mengasihi Yesus dengan cara sederhana, beliau menulis, “Di saat gersang, ketika saya tak mampu berdoa, tak mampu melakukan kebajikan, saya mencari kesempatan, walau kecil, hanya sepele, untuk menyenangkan hati Yesus.
Misalnya, senyum, kata yang manis ketika jiwa cenderung diam dan mulai lelah. Jika saya tak menemukan kesempatan, setidaknya saya memberitahu-Nya lagi dan lagi bahwa saya mengasihi-Nya.
Hal ini tidak sukar dan tindakan ini terus membuat hatiku berkobar-kobar. Walaupun nyala api kasih nampak padam, saya terus menaruh jerami di tungku, karena saya yakin api itu akan terus berkobar.” (XVI letter to her sister Celine).
Katekese
Yang penting dalam hidup para murid Tuhan: rendah hati. Santo Augustinus dari Hippo, 354-430:
“Bila kamu bertanya padaku, apa yang paling penting dalam agama dan ajaran Tuhan Yesus Kristus, aku menjawab: pertama, rendah hati; kedua, rendah hati, dan ketiga, rendah hati.” (Letters, 118).
Oratio-Missio
Tuhan, bukalah mata hatiku agar aku mampu melihat kehadiranMu. Cairkanlah hatiku yang beku, agar aku menyambutMu dengan pantas. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk selalu menyambut Dia, yang terkecil dari yang paling kecil?
Et, qui susceperit unum parvulum talem in nomine meo, me suscipi – Matthaeum 18:5