Selasa, 5 November 2024
Flp 2:5-11.
Mzm 22:26b-27.28-30a.31-32. Luk 14:15-24.
TIDAK semua dari kita memahami karunia-karunia yang telah Tuhan berikan dalam hidup kita.
Karunia adalah pemberian Allah yang penuh kasih, berupa talenta, kemampuan, hati yang peka, atau mungkin kebijaksanaan yang membuat kita berbeda dan bisa menjadi berkat bagi orang lain.
Namun, kenyataannya banyak dari kita yang menjalani hidup tanpa sepenuhnya menyadari anugerah ini, bahkan hingga akhir hidup kita.
Mengikuti perjamuan Tuhan adalah sebuah karunia yang paling agung. Karena kita menjadi orang yang diperhitungkan Tuhan untuk mengalami kemesraan relasi dengan Tuhan.
Namun sangat disayangkan karena banyak di antara kita lebih memilih mengurusi kepentingan diri sendiri hingga melalaikan perjamuan yang telah disiapkan oleh Tuhan.
Sering kali, kita terlalu sibuk dengan hal-hal luar, dengan kekhawatiran dan tuntutan dunia, sehingga melewatkan waktu untuk benar-benar menyelami diri dan menjalin relasi yang akrab dengan Tuhan.
“Saya merasa tidak nyaman meninggalkan toko, hingga setiap kali diajak untuk kegiatan menggereja selalu saya tolak,” kata seorang bapak
“Ada beberapa karyawan tetapi saya kurang percaya pada mereka, maka seringkali saya terpaksa menutup toko jika tidak ada isteriku yang menggantikan aku di toko.
Kondisi inilah yang membuatku sering kali tidak bisa ikut perjamuan Tuhan. Saya ingin tetapi saya tidak merasa berat jika harus menutup toko untuk kegiatan itu.
Namun semua itu berubah, saat anakku sakit dan aku harus mengurus anakku di rumah sakit. Toko saya tinggalkan dan saya pasrahkan pada karyawan dengan kontrol langsung dariku, semuanya bisa berjalan baik.
Saya lalu berpikir, haruskah anakku sakit terlebih dahulu untuk menyakinkan diriku bahwa meninggalkan toko untuk mengikuti undangan Tuhan itu sangat memungkinkan,” ujarnya
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Maka kembalilah hamba itu dan menyampaikan semuanya itu kepada tuannya. Lalu murkalah tuan rumah itu dan berkata kepada hambanya: Pergilah dengan segera ke segala jalan dan lorong kota dan bawalah ke mari orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh.”
Ketika tamu-tamu yang pertama menolak undangan itu, hamba tersebut kembali dan melaporkan kepada tuannya.
Reaksi sang tuan rumah adalah murka, bukan hanya karena undangan yang ia siapkan dengan baik ditolak, tetapi juga karena tamu-tamu itu menolak anugerah yang ia tawarkan dengan alasan yang dangkal.
Maka, dalam kemurkaannya, tuan rumah memerintahkan hambanya untuk mengundang orang-orang miskin, cacat, buta, dan lumpuh, orang-orang yang dipandang rendah atau diabaikan oleh masyarakat pada masa itu.
Tuhan justru memilih mereka yang dianggap rendah oleh dunia untuk menikmati perjamuan-Nya.
Ini menunjukkan bahwa kasih Tuhan melampaui status sosial, latar belakang, atau kondisi fisik kita. Siapa pun yang terbuka hatinya dan mau menerima undangan-Nya diundang untuk menikmati kasih dan keselamatan Tuhan.
Terkadang kita, seperti tamu pertama dalam perumpamaan, juga menunda-nunda atau bahkan mengabaikan undangan Tuhan karena terlalu sibuk dengan urusan duniawi.
Kita lupa bahwa keselamatan, persekutuan, dan kasih Tuhan adalah anugerah terbesar yang ditawarkan kepada kita.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku sudah menjadikan relasi dengan Tuhan sebagai prioritas dalam hidupku?