Rabu, 18 Desember 2024
Yer. 23:5-8.
Mzm. 72:2,12-13,18-19.
Mat. 1:18-24
KITA hidup di zaman yang serba cepat, di mana banyak hal dinilai berdasarkan kepentingan pribadi, pencapaian instan, dan keuntungan materi.
Nilai-nilai seperti ketulusan dan kesetiaan sering kali dianggap usang atau tidak relevan lagi.
Dunia modern mengajarkan kita untuk meninggalkan apa yang tidak lagi nyaman atau menguntungkan, sehingga kesetiaan seringkali dianggap sebagai beban, bukan kebajikan. Ketulusan dianggap kebodohan.
Ketulusan hati membutuhkan keberanian untuk memberi tanpa pamrih, mencintai tanpa syarat, dan bertindak dengan niat yang murni.
Ketulusan sering kali tergerus oleh keinginan untuk terlihat baik di mata dunia. Ada dorongan dalam diri yang kadang menggoda untuk mencari pengakuan dan penghargaan dari orang lain,
Begitu juga dengan semangat kesetiaan. Menjadi setia bukan sekadar bertahan dalam sebuah hubungan atau komitmen, melainkan sebuah dedikasi untuk tetap teguh pada janji, prinsip, atau tanggungjawab kita, bahkan saat keadaan menjadi sulit.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.”
Kisah Yusuf, suami Maria, adalah teladan luar biasa tentang ketulusan hati dan ketaatan kepada kehendak Allah.
Ketulusan hati Yusuf itu ditampilkan dengan gamblang ketika ia mengetahui keadaan Maria, ia tidak bertindak dengan kemarahan atau penghakiman.
Sebaliknya, ia memilih untuk menjaga nama baik Maria dengan berencana menceraikannya secara diam-diam.
Pilihan ini menunjukkan kasih dan belas kasih Yusuf, bahkan dalam situasi yang tampaknya merugikan dirinya. Ia tidak ingin mencemarkan nama Maria di muka umum, meskipun pada saat itu ia belum memahami rencana Allah yang lebih besar.
Di tengah pergumulan batinnya, Allah tidak membiarkan Yusuf berjalan sendirian. Dalam mimpinya, malaikat Tuhan berbicara kepadanya dan mengungkapkan rencana ilahi bahwa anak dalam kandungan Maria adalah dari Roh Kudus.
Pesan ini mengubah hati Yusuf dan memperkuatnya untuk menerima Maria sebagai isterinya, meskipun itu berarti menghadapi risiko penolakan secara sosial.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku bersikap tulus dan taat di tengah segala kesulitan hidup ini?