Jumat, 20 Desember 2024
Yes. 7:10-14.
Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6.
Luk. 1:26-38
IMAN sering kali terasa seperti misteri yang tak pernah habis untuk digali.
Di satu sisi, iman tampak begitu sulit dan rumit dan sangat sulit diurai serta dimengerti. Sering kali kita dihadapkan pada pergumulan antara logika dan rasa, antara pertanyaan dan jawaban yang sering kali tak kunjung datang.
Iman menuntut kita untuk melangkah ke wilayah yang tak terlihat, melampaui apa yang bisa diraba oleh akal manusia.
Namun di sisi lain, iman juga begitu sederhana. Ia adalah seperti seorang anak kecil yang dengan penuh percaya menggenggam tangan ayahnya untuk melintasi jalan.
Tidak perlu mengerti segalanya, cukup percaya bahwa tangan yang memegang kita itu kokoh dan penuh kasih.
Ayah tidak akan membiarkan anaknya celaka, bahkan dengan sepenuh jiwa raga akan melindungi dan menjaga, meski tidak pernah dikatakannya.
Iman sederhana ini adalah keyakinan bahwa Allah selalu tahu yang terbaik, bahkan ketika kita tidak tahu.
Ketika panggilan Allah terasa melampaui pemahaman kita, janganlah kita membuang akal budi. Akal adalah anugerah dari Allah yang juga harus digunakan untuk menggali kebenaran dan memahami kehendak-Nya.
Namun, akal budi saja tidak cukup. Di saat-saat seperti itu, kita dipanggil untuk melatih hati kita agar semakin peka dan percaya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”
Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.”
Pertanyaan Maria kepada malaikat, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”, adalah refleksi kejujuran hati manusia saat berhadapan dengan sesuatu yang tampaknya mustahil.
Maria tidak meragukan kuasa Allah, tetapi ia bertanya sebagai manusia yang mencari pengertian. Pertanyaan ini adalah pertanyaan iman, bukan ketidakpercayaan.
Jawaban malaikat Tuhan, mengungkapkan bahwa karya Allah tidak bergantung pada kemampuan manusia, melainkan pada kuasa-Nya sendiri.
Allah, Sang Pencipta, memiliki otoritas untuk melakukan apa saja, termasuk menggenapi janji-Nya melalui cara yang melampaui akal manusia.
Dalam hidup kita, sering kali kita juga bertanya, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi?” Ada banyak hal yang terasa mustahil.
Kisah Maria mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak meminta kita untuk memahami segalanya, tetapi untuk percaya.
Sebagaimana Maria mempercayakan hidupnya kepada Allah, kita pun dipanggil untuk menyerahkan segala kekhawatiran, ketakutan, dan ketidakpastian kepada-Nya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku menggunakan akal budiku untuk mempertanyakan jalan kehidupan ini di hadapan Tuhan?