Diskusi Praksis ke-5 Sejarah Lisan dan Dunia Kerja: Menyingkap Diskriminasi Kemanusiaan di Indonesia

0
14 views
Forum Praksis ke-5 menghadirkan Dr. Diego Creta dari Universitas Napoli l'Oriente menjadi narsum dalam perbincangan dan diskusi di Jakarta, 15 Januari 2025. (Praksis).

DALAM Forum PRAKSIS Seri ke-5 dengan narasumber Dr. Guido Creta dipaparkan bahwa sesungguhnya sejarah lisan bukan hanya merupakan sarana dokumentasi masa lalu.

Sejarah lisan juga mampu menjadi “jembatan” yang menghubungkan pengalaman korban diskriminasi masa lalu dengan pengakuan, pemulihan, dan keadilan sosial yang berkelanjutan.

Forum Praksis seri ke-5

Hari Kamis, 16 Januari 2025, PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) menyelenggaranan Forum Praksis seri ke-5 dengan tema “Sejarah Lisan dan Dunia Kerja: Menyingkap Diskriminasi Kemanusiaan di Indonesia.”

Forum tersebut digelar dikompleks Kolese Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat. Narasumbernya adalah Dr. Guido Creta, seorang sejarawan dari Universitas Napoli L’Oriente, Italia.

Hadir dalam forum tersebut sejumlah akademisi, peneliti, aktivis, dan para pemerhati masalah hak-hak asasi manusia, keadilan sosial, dan rekonsiliasi sosial. Hadir pula Prof Mudji Sutrisno SJ, Dr. James J. Spillane SJ, mantan dosennya Creta yakni Dr. Antonia Soriente, serta novelis Ayu Utami.

Penghasilan tetap

Mengawali paparannya, Creta menyampaikan gagasan tentang bagaimana sejarah lisan dapat digunakan sebagai sarana untuk mendokumentasikan pengalaman korban diskriminasi masa lalu.

Menurut dia, sejarah lisan mampu merekam pengalaman yang sering kali tidak tercatat dalam dokumen resmi.

Sejarah lisan, lanjutnya, mampu membantu memberikan pengakuan dan validasi atas pengalaman korban sebagai langkah awal menuju pemulihan sosial.

Sebagai studi kasus, ia menyampaikan hasil penelitiannya tentang diskriminasi struktural yang berlangsung pasca Tragedi 1965 di Indonesia.

Dalam wawancara dengan para penyintas Tragedi 1965, Creta menemukan banyaknya orang yang pasca-1965 terdiskriminasi, sehingga sulit mendapat lapangan pekerjaan.

“Karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan, mereka ini juga tidak memiliki sumber penghidupan yang semestinya,” tutur Creta.

Adanya berbagai kesulitan itu, kata dia, para penyintas Tragedi 1965 tidak bisa memiliki penghasilan tetap, menyekolahkan anak, atau meminjam uang di bank untuk usaha.

Bertolak dari pengalaman penelitiannya tentang para penyintas tersebut, Creta menyampaikan bahwa sejarah lisan tidak hanya berfungsi sebagai alat dokumentasi peristiwa masa lalu, tetapi juga memiliki peran sebagai jembatan untuk membangun solidaritas lintas generasi dan komunitas.

Menurut hasil penelitiannya, sejarah lisan dapat menjadi sarana penting untuk merekatkan hubungan antar-kelompok sosial dan memperkuat kesadaran kolektif.

Sekaligus sejarah lisan juga dapat mendorong pengakuan atas pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi.

Bertolak dari penelitian tersebut, ia mengatakan bahwa narasi korban merupakan elemen kunci untuk membangun pemahaman yang lebih empatik tentang penderitaan dan ketidakadilan yang mereka alami, sehingga membuka jalan bagi rekonsiliasi dan pemulihan sosial.

Dr. Diego Creta dari Universitas Napoli l’Oriente, Italia, tampil menjadi narsum dalam perbincangan dan diskusi Forum Praksis seri ke-5 di Jakarta, 16 Januari 2025. (Praksis)

Kongkret

Creta kemudian menyodorkan sejumlah tantangan metodologis yang dihadapi dalam melakukan proyek sejarah lisan. Ia memberi contoh tentang dibutuhkannya pendekatan penuh empati dalam menggali cerita korban.

Selain itu, ia juga memberi contoh tentang perlunya menjaga keseimbangan antara akurasi data dan penghormatan terhadap privasi subjek penelitian.

Dituntut pula, menurut dia, adanya kemampuan untuk mengatasi hambatan teknis dan sosial yang dihadapi korban; terutama generasi tua.

Selanjutnya Creta juga menyoroti masalah bagaimana hasil penelitian berbasis sejarah lisan dapat digunakan sebagai bahan advokasi untuk mendorong kebijakan publik yang inklusif dan berkeadilan.

Caranya, menurut dia, adalah dengan menggalakkan kolaborasi antara akademisi, pembuat kebijakan, dan organisasi masyarakat sipil dalam upaya menerjemahkan narasi korban menjadi titik tolak bagi dilalukannya langkah-langkah konkret.

Para peserta diskusi Forum Praksis seri ke-5 tengah mendengarkan paparan narasumber yakni Dr. Diego Creta, ahli sejarah dari Universitas Napoli l’Oriente, Italia. (Praksis)

Bekerjasama

Pada bagian akhir paparannya Creta menyampaikan lima rekomendasi strategis untuk mewujudkan gagasan-gagasan tersebut.

Pertama, perlunya kesadaran bahwa proyek sejarah lisan bukan hanya merupakan bentuk simpati atau empati pasif terhadap korban. Dibutuhkan keterlibatan aktif melalui gerakan advokasi yang konkret dan berkelanjutan.

Gerakan ini, kata dia, harus secara langsung menyentuh aspek kehidupan para korban, termasuk akses terhadap keadilan, pemulihan hak-hak mereka, dan perbaikan kondisi sosial-ekonomi.

Kedua, pentingnya peningkatan kapasitas para peneliti melalui pelatihan intensif yang dirancang untuk mempertajam metodologi berbagai pendekatan dalam penelitian sejarah lisan.

Pelatihan ini, kata Creta, dapat mencakup teknik wawancara, pengelolaan data naratif, serta pendekatan interdisipliner yang mampu menggali dimensi-dimensi yang sering terabaikan dalam narasi korban.

Ketiga, hasil-hasil penelitian sejarah lisan harus diintegrasikan ke dalam advokasi kebijakan publik secara sistematis.

Proses ini memerlukan kolaborasi erat antara peneliti, pengambil kebijakan, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa temuan penelitian dapat memengaruhi perumusan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Keempat, dibutuhkannya pengembangan platform digital guna melestarikan narasi korban. Platform digital tidak hanya akan berfungsi sebagai upaya digitalisasi arsip, melainkan juga sebagai media pendidikan dan penyadaran publik.

Hasil digitalisasi tersebut harus dapat diakses oleh berbagai kalangan, khususnya generasi muda. Dengan demikian, cerita-cerita korban dapat terus hidup dan menjadi bahan refleksi kolektif, sekaligus mencegah pengulangan tragedi dan diskriminasi serupa di masa depan.

Juga perlu diperkuatnya kolaborasi lintas disiplin ilmu. Tujuannya adalah untuk memperluas perspektif dalam memahami dan menyelesaikan isu-isu yang kompleks. Creta mendorong keterlibatan para akademisi, praktisi hukum, seniman, jurnalis, dan aktivis dalam satu ekosistem kerja agar saling berkerjasama.

Dengan pendekatan ini, menurut pendapatnya, berbagai sektor akan mampu menyumbangkan keahlian masing-masing untuk menghasilkan dampak yang lebih besar.

Sebagian peserta diskusi Forum Praksis seri ke-5 di kompleks Kolese Kanisius Jakarta, 16 Januari 2025. (Praksis)

Sebagaian peserta Forum Praksis seri ke-5

Pada akhir acara para peserta berharap bahwa sejarah lisan dapat terus menjadi sarana advokasi yang menjembatani pengalaman korban dengan proses pengambilan keputusan.

Diharapkan bahwa dengan demikian masyarakat akan menjadi lebih dekat menuju keadilan sosial yang berkelanjutan. Selanjutnya diharapkan pula bahwa  hasil forum ini dapat menjadi fondasi bagi langkah nyata dalam menciptakan dunia kerja yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Dr. Antonia Soriente dan novelis Ayu Utami (kedua dan ketiga dari kiri) turut hadir dalam Forum Praksis seri ke-5 di Kolese Kanisius Jakarta, Jumat 16 Januari 2025. (Praksis)
Materi siaran pers Praksis usai gelar forum diskusi praksi seri ke-5 di Jakarta, 16 Januari 2025. (Praksis)

Tentang Praksis

PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) adalah lembaga riset dan advokasi berbadan hukum milik Serikat Jesus Provinsi Indonesia yang diresmikan pada akhir 2024 dan berbasis di Jakarta.

PRAKSIS bergerak di bidang penelitian tentang demokrasi, hak-hak asasi manusia, keadilan sosial dan rekonsiliasi sosial.

Dalam dimensi advokasinya, PRAKSIS mendampingi dan melayani para korban ketidakadilan serta mereka yang tersisihkan secara sosial, ekonomi dan politik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here