KECUALI ASI, masa yang juga rentan dan memungkinkan anak menjadi kurban adalah masa MPASI. Banyak orangtua keliru memaknai MPASI.
Sebenarnya MPASI bertujuan untuk mengenalkan dan membiasakan anak makan dengan cara yang benar. Yakni mengunyah makanannya. MPASI sama sekali bukan untuk membuat perut anak kenyang. Sebab tindakan mengunyah akan mengaktifkan syaraf dan memproduksi enzim yang diperlukan untuk kesehatan tumbuh kembangnya jiwa raga anak.
Maka dalam masa MPASI itulah, anak belajar atau diajari makan dengan benar.
Belajar makan, maksudnya di samping minum ASI, anak mulai melatih lambungnya untuk menerima asupan makanan lain. Sementara itu, pemberian ASI tetap jalan terus. Artinya, ASI tidak untuk diganti dengan makanan.
![](https://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2023/09/jannis-brandt-mmsQUgMLqUo-unsplash.jpg)
Dalam waktu berlatih makan ini, sebaiknya tidak memberi anak makanan orang dewasa yang berasa karena aneka bumbu masaknya. Sebab, pencernaannya belum siap dan anak sangat perlu makanan sehat. Bagaimana pun, bumbu masak pembuat rasa enak itu besar kemungkinan kandungannya kurang memperhatikan nilai kesehatannya.
Godaan besarnya adalah mengganti ASI dengan makanan. Kadang ada orangtua yang merasa bahwa menyusui itu ribet. Orangtua yang demikian, kalau melihat anaknya mau makan apa saja dengan lahap, akan mudah tergoda. Mereka lantas memilih memberi makan anak; bahkan tidak peduli ketika anaknya tak mau minum ASI.
Keputusan demikian ini, kelihatannya demi cinta pada anak, tetapi sejatinya mengurbankan anak. Alih-alih menjadi orangtua yang berkurban demi anak, ini malah anak mesti berkurban demi orangtua.
Ikut campur
Godaan semacam itu menjadi makin besar dan makin sulit dihadapi apabila “pihak luar keluarga inti” ikut campur dalam membesarkan anak. Ada pelbagai pendapat dan saran yang berbeda membombardir orangtua anak.
Orangtua yang sibuk biasanya cenderung memilih meringankan diri dan menyenangkan orang sekitar daripada melakukan yang terbaik demi anaknya. Dalam situasi seperti itulah, anak rentan dikurbankan, walaupun kesannya mencintai anak. Jadilah anak jadi korban cinta; justru oleh orangtua tercintanya.
Konkretnya, yang penting si anak mau makan, maka anak diberi makan apa pun. Toh anak doyan makan. Kualitas makanan anak tidak diperhatikan. Kesiapan lambung anak dalam mencerna makanan tidak dipikirkan. Kebutuhan nutrisi anak tidak mendapat prioritas.
Karena yang dipentingkan asal anak makan banyak dan kenyang karenanya. Padahal kandungan ASI yang sudah lebih kaya menjawab kebutuhan tumbuh kembang anak tidak lagi diprioritaskan. MPASI yang mestinya melengkapi ASI, malah menjadi pengganti ASI.
![](https://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2020/10/Siaga-terus-merawat-bayi-ist-1024x1024.jpeg)
Bahwa prinsip anak mau banyak makan, akan berakibat serius pada lambung anak, tidak mendapat perhatian. Kesalahan semacam ini baru akan kelihatan waktu anak mulai belajar,nanti. Karena asupan yang kurang akan membuat kecerdasan anak juga tidak maksimal. Bahkan mungkin akan berakibat anak mengalami stunting.
Sesungguhnya, bahwa anak akan memakan apa saja dengan lahap tersebut adalah proses alami sesuai dengan masanya: anak belajar makan. Untuk itu, apa pun akan dimasukkan ke mulutnya. Bahkan mainan atau apa pun akan dimakannya. Karena anak perlu belajar untuk makan, sebelum nanti berhenti ASI.
![](https://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2024/05/Ilustrasi-Makanan-frozen-yang-kemudian-kita-panaskan-lagi-agar-siap-disantap.-Ist-1024x577.jpg)
Suka ngemil
Jikalau prinsip anak mau makan, terus dijalankankan biasanya eksesnya adalah memberi anak sufor atau memberi anak cemilan. Sufor sudah akan membuat perut selalu merasa kenyang. Cemilan akan membuang rasa lapar yang sehat. Jebakan cintanya: ngemil itu tidak mengenal pola waktu makan. Akibatnya, anak tidak pernah merasa sungguh lapar, dan bergairah untuk makan.
Tambah lagi, kebiasaan ngemil akan menyulitkan anak dalam belajar makan yang baik: duduk selama makan dan makan pada waktu tertentu. Makan dengan sendok garpu pun akan sulit diajarkan, karena sudah biasa makan dengan jari.
Belum lagi masalah nutrisi. Cemilan yang memperhatikan nutrisi itu tidak banyak. Cemilan biasanya jatuh pada mementingkan rasa enak, dan menciptakan sensasi ilutif dari tindakan makan itu.
Oleh karena itu, supaya anak tidak menjadi kurban, sebaiknya orangtua meninggalkan prinsip “anak perlu makan banyak”. Singkirkan prinsip yang terpenting “anak kenyang”. Sebab walaupun kelihatannya mencintai anak, tetapi sesungguhnya mengorbankan anak.
Cintailah anakmu, kalau perlu dengan pengurbanan diri, tetapi jangan mengorbankan anak demi dirimu.
Jika Anda berkenan dan ingin membagikan tulisan ini, monggo silakan. Terimakasih.
Jika Anda tergerak hati dan berkenan untuk menanggapi letupan jiwa ini atau syering pengalaman, terimakasih sebelumnya.