Kehidupan di kamp-kamp pengungsi memang keras, itulah perasaan saya ketika berada di kamp-kamp IDP di sepanjang jalan nasional nomor 10 yang menghubungkan Battambang dengan Pailin, enam belas tahun lalu. Selain karena beratnya beban untuk mempertahankan hidup, kerasnya kehidupan terasa juga dari situasi ‘perang’.
Situasi ‘perang’ itu begitu saya rasakan ketika saya mulai bekerja di situ sampai dengan bulan Agustus 1997 ketika tentara Khmer merah belum menyerah ke tangan pemerintah. Setiap hari dengan mudah dijumpai tank, truk tentara, mobil ambulans pengusung mayat, anak-anak usia tanggung yang dengan santainya menenteng senjata, nyanyian sendu di kuil-kuil peribadatan untuk menghantarkan tentara yang berpulang ke alam baka, dsb.
Sejak bulan Agustus 1997 suasana memang kurang begitu mencekam kendati sisa-sisa suasana perang masih terasa.
Ketika para pengungsi sedang mati-matian mempertahankan hidupnya, ketika para tentara mempertaruhkan nyawa dalam perang antar saudara itu (perang yang sia-sia), ketika para bhiksu tak henti-hentinya melantumkan kidung kematian, para petinggi negara ber-mercedez ria di Phnom Penh, saling berebut untuk segera mengambil ‘jatah’ bantuan luar negeri, saling mendahului untuk merebut tanah yang tidak beranjau, atau juga ramai-ramai menebang kayu untuk menggendutkan perut.
Pada saat yang bersamaan, terjadi transaksi jual beli senjata di perbatasan Thailand antara Khmer merah dengan orang-orang bisnis yang katanya mendapat backing dari oknum militer Thailand. Di bagian dunia lain, produsen-produsen senjata terus mensuplai senjata seakan tanpa memikirkan dampaknya.
Barter senjata dengan batu mulia dan terutama kayu itu harus dibayar mahal oleh para penduduk. Kayu-kayu di hutan Kamboja semakin habis. Dapatlah dipastikan bahwa setiap tahun di daerah-daerah tertentu di Kamboja utara, ketika para petani siap untuk memanen sawahnya, banjir datang melanda. Ketika para petani tidak bisa panen, para pengungsipun mengalami nasib yang sama.
Konflik politis, untuk menentukan mana yang terkuat, mana yang berkuasa, ternyata harus dibayar dengan banjir, tetes darah prajurit, air mata para pengungsi dan rusaknya mental masyarakat akibat perang yang terus menerus.
Saat ini sudah tidak ada lagi pengungsi di sepanjang jalan antara Battambang – Pailin. Para pengungsi yang pernah dipindahkan ke tempat relokasi baru di Rattanak Mondul 16 tahun lalu sudah mulai hidup relatif nyaman di tempat relokasi tersebut. Kehidupan baru setelah perang terbukti membuat kehidupan lebih baik.
Saya mengunjungi ke tempat relokasi pengungsi yang berjarak sekitar 20 km dari tempat pengungsian di Ratanak Mondul. Saya sangat senang ketika melihat bahwa lokasi relokasi itu sudah menjadi desa. Masyarakat sudah mampu makan tiga kali sehari, ada sekolah, dan balai kesehatan.
Situasi itu sangat berbeda ketika mereka masih menjadi pengungsi. Pesan dari peristiwa ini jelas: apapun alasannya perang selalu menyusahkan masyarakat.
Sampai sekarang, Jesuit Service Cambodia (JSC) masih melanjutkan pelayanan bagi para bekas pengungsi dengan cara berbeda.
JSC mendirikan balai kesehatan, pusat pendidikan bagi anak-anak muda, serta percontohan “pertanian dan peternakan.”
Photo Credit: Arsip Jesuit Service Cambodia Battambang