SAAT pertama kali anak kami menyampaikan niatnya untuk menjadi imam, kami terdiam sejenak. Di satu sisi, hati kami dipenuhi rasa syukur atas panggilan hidup mulia yang ia pilih.
Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran. Apa arti keputusan ini bagi keluarga kami? Bagaimana kami, sebagai orangtuanya, dapat mendukungnya tanpa menjadi beban?
Terlebih lagi, ia adalah anak tunggal kami.
Tanggungjawab mulia
Menjadi orangtua dari seorang anak yang dipersiapkan untuk hidup selibat (imam, bruder, suster) merupakan tanggungjawab besar dan mulia. Peran orangtua sangat krusial dalam membentuk karakter, kepribadian, dan iman anak agar ia dapat menjalani panggilan hidupnya dengan penuh kesadaran dan ketulusan.
Seseorang yang dipanggil untuk mengabdikan hidupnya sepenuhnya kepada Tuhan dan umat memerlukan kesadaran spiritual yang mendalam, kedewasaan emosional, serta kesiapan untuk melayani tanpa menikah. Oleh karena itu, orangtua perlu memahami makna panggilan ini agar dapat mendukung anak dengan cara yang tepat.
Kesadaran ini penting agar peran imam tidak sekadar menjadi kebanggaan keluarga. Tetapi dipahami sebagai panggilan suci yang membutuhkan kesiapan dan ketulusan dari dalam hati anak.
Dasar refleksi diri
Refleksi ini menjadi titik awal perjalanan kami sebagai orangtua seorang calon imam. Bagaikan dua sisi mata uang, ini adalah anugerah sekaligus tantangan. Kami bangga melihat anak kami menjalani panggilan Tuhan, tetapi kami juga harus menyesuaikan peran kami sebagai pendukungnya.
Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman, wawasan, dan strategi dalam menjalani hidup yang mendukung panggilan anak; tanpa mengorbankan kesejahteraan kami sendiri.
Sebagai orangtua, wajar jika kami bermimpi melihat anak mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang. Namun, ketika anak memilih untuk hidup selibat, keberhasilan itu diukur dengan cara yang berbeda: dedikasi kepada Tuhan dan pelayanan kepada umat.
Hal ini membawa makna emosional dan spiritual yang mendalam. Kami merasa terpanggil untuk mendukung misi hidupnya. Menjadi orangtua calon imam berarti memahami bahwa anak kami bukan hanya milik keluarga. Tetapi juga milik Gereja dan umat yang ia layani. Oleh karena itu, penting bagi kami untuk menghormati ruang dan waktu yang ia butuhkan untuk pelayanannya.
Saya menyadari bahwa panggilan hidup anak adalah anugerah dari Tuhan. Peran kami sebagai orangtua adalah mendukungnya. Bukan membebaninya dengan harapan atau tuntutan yang tidak sesuai dengan misinya. Dengan doa dan dukungan tanpa syarat, kami berusaha menjadi kekuatan di belakang panggilannya.
Tantangan dalam mengelola harapan
Sebagai orangtua dari anak tunggal yang dipersiapkan menjadi calon imam, kami sering kali menghadapi tantangan dalam mengelola harapan. Tekanan bisa muncul dari dalam keluarga maupun lingkungan sosial yang mengharapkan anak menjadi “sempurna” secara rohani.
Namun, penting bagi kami untuk tidak memaksakan kehendak atau membebani anak dengan ekspektasi yang terlalu tinggi. Panggilan ini harus benar-benar berasal dari hati nurani anak; bukan sekadar memenuhi harapan keluarga.

Di pertengahan tahun lalu, saya memasuki masa purna tugas. Banyak orang mengatakan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menikmati hidup secara sederhana namun penuh makna. Saya belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada pencapaian masa lalu atau harapan masa depan. Tetapi fokus pada kebahagiaan yang hadir dalam momen-momen kecil setiap hari.
Setelah pensiun, saya berkomitmen untuk lebih sering mengikuti ekaristi harian, berpartisipasi dalam kegiatan rohani, dan meluangkan waktu untuk membaca renungan spiritual. Ini tidak hanya memperkuat hubungan kami dengan Tuhan, tetapi juga membantu kami lebih memahami peran anak kami di dalam Gereja.
Selain itu, saya juga berusaha untuk selalu bersyukur atas apa yang saya miliki; termasuk kesehatan, keluarga, dan komunitas. Pikiran positif sangat membantu dalam menghadapi tantangan dengan lebih tenang dan penuh harapan.
Salah satu cara agar tetap aktif adalah dengan terlibat dalam tim pelayanan Dewan Paroki bidang kemasyarakatan, menjadi koordinator paduan suara kategorial, serta berbagi pengalaman hidup dengan generasi muda yang akan menerima Sakramen Krisma.
Keterlibatan ini memberikan rasa tujuan yang kuat. Kendati sudah pensiun, bukan berarti berhenti belajar. Saya memanfaatkan waktu yang ada untuk mengejar hobi yang tertunda. Seperti berkebun dan menulis, serta mengikuti diskusi tentang psikologi dan humaniora melalui media sosial.
Selain itu, saya juga berusaha meninggalkan warisan; baik dalam bentuk nilai-nilai maupun kontribusi nyata. Seperti menulis kisah perjalanan hidup agar dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang. Saya juga berusaha peduli terhadap mereka yang membutuhkan bantuan sebagai bentuk aksi karitatif.
Saya sungguh menyadari bahwa bertambahnya usia berarti menurunnya fungsi fisiologis dan psikologis. Oleh karena itu, saya berusaha menjaga kesehatan fisik dengan rutin berjalan pagi, mengkonsumsi makanan sehat, serta melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

Menjaga keseimbangan antara aktivitas dan istirahat juga menjadi prioritas.
Selain itu, kami meluangkan waktu untuk berbicara dengan teman-teman dan anggota keluarga, yang membantu kami tetap merasa terhubung. Dengan tubuh dan jiwa yang sehat, saya berharap dapat menjalani hari-hari pensiun dengan energi dan semangat.
Dalam aspek logistik dan relasional, kami berusaha mengelola kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Seperti merencanakan keuangan, mengatur jadwal kegiatan, dan menjaga kebersihan rumah.
Kami juga menjalin hubungan erat dengan teman-teman, orangtua calon klerus, anggota keluarga lainnya, dan komunitas Gereja. Hal ini memberikan kami rasa percaya diri, kemandirian, serta menjadi sumber inspirasi dan dukungan emosional serta spiritual yang sangat berarti.

Keluarga beri pengaruh mendalam
Sepanjang perjalanan ini, kami telah mengalami kebahagiaan, tantangan, dan pelajaran berharga. Kami belajar bahwa menjalani hidup yang seimbang dan bermakna adalah kunci untuk mendukung anak kami dalam pelayanannya. Kebahagiaan dan efektivitas anak kami dalam misinya sering kali dipengaruhi oleh kesejahteraan kami sendiri.
Terakhir, meskipun orangtua telah mempersiapkan anak untuk menjadi imam, penting untuk menghargai setiap pilihan hidupnya. Jika suatu saat anak merasa bahwa panggilan ini bukan untuknya, orangtua perlu menghormati keputusannya dengan penuh kasih.
Menghargai kebebasan anak dalam menentukan jalan hidupnya adalah bentuk cinta yang tulus dan mendalam.
Menjadi orangtua dari anak tunggal calon imam adalah perjalanan yang membutuhkan kesabaran, ketulusan, dan iman yang mendalam. Dengan menanamkan nilai-nilai Kristiani, mendukung pendidikan rohani, dan menjaga komunikasi yang terbuka, orangtua dapat menjadi pendamping yang bijaksana dalam membimbing anak menuju panggilan hidup yang mulia.
Dukungan yang penuh kasih akan membantu anak menjalani panggilannya dengan sukacita dan tanggungjawab yang penuh.