Nusantara 2.0: Merefleksikan Tata Kelola Indonesia dari Prinsip Subsidiaritas

0
22 views
Ilustrasi -Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan 981 kepala daerah seluruh Indonesia oleh Presiden RI Prabowo Subianto, 20 Februari 2025. (Kantor Komunikasi Kepresidenan via IDN Times)

Pengantar

Sebagai praktisi teknologi yang telah mengalami sistem tata kelola di Indonesia dan Australia, penulis menggunakan perspektif lintas disiplin untuk merefleksikan tantangan fundamental dalam struktur pemerintahan Indonesia kontemporer.

Pendahuluan: Gelombang Perubahan 2024-2025

Peristiwa “Democracy Emergency” Agustus 2024 dan gelombang demonstrasi #IndonesiaGelap Februari 2025 telah membuka mata kita pada sesuatu yang lebih mendasar dari sekadar ketidakpuasan temporer.

Viralnya tagar #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu di awal 2025 menandai pergeseran fundamental dalam cara masyarakat; terutama generasi muda, memandang tata kelola negara.

Ini adalah refleksi dari ketidaksesuaian mendalam antara struktur pemerintahan kita dengan realitas dan kebutuhan Indonesia kontemporer.

Bagaimana seharusnya kita memahami fenomena #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu sebagai kritik temporer atau sinyal akan kebutuhan perubahan yang lebih fundamental?

Manifestasi kegagalan sistem

Kita perlu mengakui sebuah realitas yang sering kali luput dari diskusi publik: paradigma Negara Kesatuan dengan satu komando pusat yang sangat vital dalam perjuangan kemerdekaan, mungkin tidak lagi optimal untuk Indonesia kontemporer.

Konteks historis pembentukan NKRI sebagai respons terhadap kolonialisme berbeda secara fundamental dengan tantangan pembangunan kapabilitas bangsa di era modern. Ini perlu secara signifikan kita lihat kembali dari kacamata modern post-kolonialisme, di mana jarak bukan lagi sebuah batasan dan informasi dapat diperoleh hanya lewat sentuhan jari tangan.

Sejauh mana struktur tata kelola kita saat ini yang banyak masih merupakan warisan dari masa perjuangan kemerdekaan yang sesuai dengan tantangan abad ke-21?

Sebagai contoh, perhatikan bagaimana program Makan Bergizi Gratis, meski dirancang dengan intensi baik, menghadapi penolakan di berbagai daerah karena ketidaksesuaian dengan kebutuhan lokal.

Di Papua, misalnya, masyarakat justru memprioritaskan pendidikan gratis. Ini bukan sekadar masalah implementasi, melainkan cerminan dari ketidakmampuan sistem terpusat untuk memahami dan merespons keragaman kebutuhan daerah.

Ilustrasi: Suasana pesta adat Bakar Batu bersama masyarakat asli Papua di Wamena. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)

Mengapa ini bisa terjadi?

Ingat bahwa, perbedaan fundamental antara 1945 dan 2025 terletak pada realitas teknologi yang mengubah secara radikal bagaimana masyarakat beroperasi. Di era founding fathers, keterbatasan komunikasi dan transportasi membuat sistem sentralistik masih masuk akal – Jakarta memang harus menjadi pusat koordinasi, karena tidak ada cara lain untuk mengelola negara kepulauan terbesar di dunia.

Namun hari ini, ketika petani di pelosok Papua bisa melakukan video call dengan pembeli di Eropa, ketika startup di Aceh bisa melayani pelanggan global, ketika artificial intelligence bisa membantu optimasi layanan publik sesuai konteks lokal – apakah masih masuk akal mempertahankan model “menunggu arahan pusat”?

Teknologi bukan sekadar alat bantu administrasi. Tapi game changer yang mengubah asumsi-asumsi dasar tentang bagaimana organisasi dan masyarakat bisa dan harus dikelola.

Ilustrasi: Dwitunggal Soekarno-Hatta

Sebagai contoh: blockchain bisa menjamin transparansi tanpa sentralisasi. Contoh lain: machine learning bisa membantu penyesuaian program pemerintah sesuai kebutuhan yang aktual setiap daerah.

Selanjutnya: cloud computing memungkinkan kolaborasi dan koordinasi tanpa hierarki kaku.

Namun semua potensi ini terhambat oleh struktur birokrasi yang dirancang untuk era pra-internet. Generasi yang tumbuh dengan teknologi sebagai perpanjangan natural dari kemampuan mereka dipaksa bekerja dalam sistem yang bahkan tidak bisa membayangkan keberadaan smartphone.

Sadarkah kita dengan itu?

Subsidiaritas: Prinsip universal untuk Indonesia

Fenomena ini merefleksikan sebuah prinsip universal yang telah lama dikenal dalam pemikiran sosial-politik, khususnya prinsip subsidiaritas yang menjadi fondasi Uni Eropa dan terinspirasi dari ajaran sosial Katolik.

Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan dan tanggungjawab seharusnya ditempatkan pada level terendah atau tersempit yang memungkinkan. Dalam konteks Indonesia, ini berarti mengakui bahwa banyak keputusan bisa dan seharusnya dibuat di tingkat yang paling dekat dengan masyarakat yang terdampak.

Pengalaman Uni Eropa dengan prinsip subsidiaritas-nya bisa menjadi pembelajaran berharga. Tanpa harus mengadopsi sistem federal, EU berhasil menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan pengambilan keputusan di level paling tepat sambil mempertahankan koordinasi di tingkat supra-nasional.

  • Bagaimana prinsip serupa bisa diadaptasi dalam konteks NKRI?
  • Bagaimana prinsip subsidiaritas bisa diterapkan dalam konteks NKRI tanpa mengorbankan persatuan nasional?
  • Pelajaran apa yang bisa kita ambil juga dari pengalaman negara-negara lain dalam mengelola keragaman sambil mempertahankan kesatuan?

Paradoks Birokrasi Indonesia

Fenomena “menunggu arahan dari pusat” yang kini meluas di berbagai level pemerintahan menghadirkan sebuah ironi yang menarik. Di satu sisi, struktur ini bertentangan dengan semangat gotong royong dan musyawarah yang telah mengakar dalam tradisi kita. Di sisi lain, ia semakin tidak kompatibel dengan cara pikir dan kerja generasi baru Indonesia.

Ilustrasi – Beberapa lintas generasi sesuai kurun waktu kelahiran. (Ist)

Kita sedang menyaksikan transformasi generasional yang signifikan. Generasi Z, yang merupakan “baby boomer” sesungguhnya dari Indonesia, membawa cara pandang yang sangat berbeda tentang bagaimana sebuah sistem seharusnya bekerja.

Mereka tumbuh dalam dunia digital yang responsif dan adaptif, di mana hierarki kaku bukan lagi norma. Di belakang mereka, Generasi Alpha bahkan lebih radikal lagi – lahir dengan AI di genggaman, mereka mengharapkan sistem yang bisa memberikan respons real-time dan personal.

Sementara itu, Generasi Milenial yang kini mulai mengisi posisi-posisi strategis di berbagai sektor menemukan diri mereka dalam posisi yang unik. Sebagai jembatan antara cara kerja tradisional dan tuntutan modern, mereka melihat langsung bagaimana rigiditas sistem menghambat inovasi dan membuat Indonesia tertinggal dalam kompetisi global.

Generasi beda zaman dari Baby Boomers sampai Generasi Z dan Generasi Alpha. (Ist)

Ketika kita memproyeksikan situasi ini ke masa depan, tantangannya menjadi semakin jelas. Bayangkan mengelola sebuah perusahaan berskala nasional tanpa delegasi yang memadai – sebuah situasi yang pasti akan menciptakan bottleneck dan inefisiensi. Namun inilah yang terjadi dalam skala yang jauh lebih besar dan kompleks dalam pengelolaan negara.

  • Dapatkah kita sungguh-sungguh berharap Jakarta – dan secara efektif sebentar lagi: IKN – mampu memahami dan merespons secara tepat kebutuhan spesifik dari Aceh hingga Papua?
  • Bagaimana kita bisa mendamaikan kebutuhan akan koordinasi nasional dengan tuntutan akan respons yang cepat dan lokal? Apa yang bisa kita pelajari dari cara kerja generasi digital native untuk merancang sistem tata kelola yang lebih efektif?

Warisan pemikiran dan visi bersama

Para pendiri bangsa, dari berbagai latar belakang ideologi dan partai, sesungguhnya telah memikirkan keseimbangan antara kesatuan dan keragaman ini. Soekarno dengan konsep NKRI-nya, Mohammad Natsir dengan gagasan federal-nya, dan bahkan Tan Malaka dengan republik soviet-nya – semua mencari formula terbaik untuk mengelola keragaman Indonesia.

Hari ini, ketika tantangan yang dihadapi semakin kompleks, kita perlu melanjutkan pencarian tersebut dengan konteks kekinian. Bagaimana kita bisa mengambil yang terbaik – secara fundamental dan intisari – dari berbagai pemikiran pendiri bangsa untuk konteks kekinian, dengan membayangkan jika seandainya mereka hidup di masa sekarang ini?

Berbagai kekuatan politik nasional, dari Golkar dengan tradisi pembangunannya, PDIP dengan nasionalismenya, Gerindra dengan visi Indonesia Raya-nya, hingga partai-partai Islam dengan pemahaman mereka tentang ummat, sesungguhnya memiliki kepentingan bersama dalam mencari format tata kelola yang lebih efektif.

Bagaimana kita bisa mengambil yang terbaik dari setiap perspektif ini untuk membangun sistem yang lebih responsif dan efisien?

Menuju Indonesia 2045

Di ambang Indonesia Emas 2045, kita perlu mempertanyakan apakah warisan struktur kolonial – centralized command and control – masih relevan untuk menghadapi tantangan abad 21.

Bagaimana kita bisa mentransformasi aparatur negara dari instrumen kontrol menjadi fasilitator pembangunan kapabilitas daerah?

Visi Indonesia 2045 harus mempertimbangkan bahwa pada saat itu, Gen Z akan berada di puncak karier mereka, Gen Alpha akan menjadi tulang punggung ekonomi, dan generasi berikutnya akan mulai memasuki dunia kerja.

Sistem tata kelola yang kita rancang hari ini harus mampu mengakomodasi cara kerja generasi-generasi ini, sekaligus mempertahankan nilai-nilai fundamental yang mempersatukan Indonesia.

Ilustrasi: Prosesi sumpah jabatan dan pelantikan 981 kepala daerah baru seluruh Indonesia yang sepanjang tahun 2025-2030 akan menjalankan fungsi sebagai gubernur-wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota. (Kantor Komunikasi Kepresidenan RI)

Sistem tata kelola seperti apa yang akan efektif untuk Indonesia di era AI dan teknologi quantum?

  • Bagaimana memastikan bahwa perubahan struktural yang kita lakukan hari ini akan bertahan menghadapi tantangan masa depan?
  • Apa peran teknologi dalam memungkinkan model tata kelola yang lebih responsif dan adaptif?

Di tengah berbagai perbedaan ideologi dan kepentingan politik, pencarian akan model tata kelola yang lebih baik ini bisa menjadi titik temu yang mempersatukan. Refleksi ini menjadi semakin mendesak seiring berkembangnya kesadaran generasi muda akan potensi daerah mereka.

Apakah kita akan terus mempertahankan status quo? Atau berani membayangkan model baru yang lebih sesuai dengan realitas dan tantangan kontemporer?

Seperti dikatakan Sutan Sjahrir, “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan.”

Dalam konteks tata kelola Indonesia kontemporer, pertaruhan itu adalah keberanian untuk memikirkan ulang struktur pemerintahan kita. Bukan untuk melemahkan, tetapi justru untuk memperkuat kesatuan dalam keberagaman Indonesia.

Karena pada akhirnya, Indonesia yang kuat hanya bisa dibangun di atas fondasi sistem yang menghargai dan memberdayakan keunikan yang ada.

Refleksi ini menjadi semakin mendesak seiring berkembangnya kesadaran generasi muda akan potensi mereka; baik secara lokal setempat maupun generasional.

Apakah kita akan terus mempertahankan status quo? Atau berani membayangkan model baru yang lebih sesuai dengan realitas dan tantangan kontemporer?

Terima kasih.

PS: Penulis adalah konsultan teknologi dan peneliti independen dengan fokus pada artificial intelligence, software engineering, dan cybersecurity. Dengan pengalaman sebagai pengelola teknologi di beberapa perusahaan di Indonesia dan Australia, ia menggunakan perspektif teknologi dan organisasi modern untuk menganalisis tantangan struktural dalam tata kelola negara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here