Rabu, 26 Februari 2025
Sir. 4:11-19
Mzm. 119:165,168,171,172,174,175
Mrk. 9:38-40.
JIKA tujuan kita adalah pada kebaikan bersama, mestinya perbedaan kelompok tak akan pernah menjadi soal. Setiap orang perlu diterima apa pun kelompoknya jika ia melakukan kebaikan.
Dalam perjalanan sejarah, manusia sering kali membatasi kasih itu dalam batasan tertentu; hanya bagi kelompok tertentu, bagi mereka yang serupa, atau bagi yang sepaham.
Seringkali ada kecenderungan manusia untuk membangun identitas berdasarkan perbedaan.
Kita merasa lebih nyaman dalam kelompok yang memiliki kesamaan, dan tanpa sadar, kita mulai mencurigai atau bahkan menolak mereka yang berbeda.
Kesombongan pribadi sering kali berkembang menjadi kesombongan kelompok, merasa bahwa hanya kelompok sendirilah yang memiliki kebenaran, hanya komunitas sendirilah yang berhak atas kasih dan kebaikan.
Padahal, jika tujuan kita adalah kebaikan bersama, maka perbedaan seharusnya tidak menjadi penghalang.
Kebaikan tidak mengenal batas-batas kelompok. Seorang yang berbuat baik, siapa pun dia, layak dihargai dan diterima.
Sebaliknya, saat kita membatasi kasih berdasarkan identitas, kita justru menjauh dari esensi kasih Allah yang sejati.
“Beberapa waktu yang lalu saya pulang ke kampung, untuk sebuah acara keluarga,” kata seorang sahabat.
“Saya merasa sangat heran karena kampung sebelah terasa perkembangannya begitu pesat, jalan-jalan bagus dan masih banyak proyek desa lainnya. Sedangkan di kampung tempat saya, keadaan jauh berbeda.
Itu karena lurah kampung sebelah term sukses bupati sekarang ini. Sedangkan lurah kita dulu mendukung calon bupati yang kalah.
Hajat hidup orang banyak pun seringkali dipermainkan berdasarkan syawat ego, pembangunan yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat pun bisa dibelokan untuk kepentingan dan maksud diri sendiri,” ujar sahabatku itu.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, Tetapi kata Yesus: “Jangan kamu cegah dia. Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.”
Sering kali, kita terjebak dalam pola pikir eksklusif, menganggap hanya kelompok atau komunitas kita yang benar, sementara yang lain harus diragukan atau bahkan ditolak.
Kita membangun tembok yang membatasi kasih Allah hanya kepada mereka yang “sejalan” dengan kita. Namun, Yesus justru menunjukkan bahwa kasih dan kebaikan tidak dibatasi oleh kelompok.
Siapa pun yang melakukan kebaikan sejati, siapa pun yang berbuat dalam kasih dan kebenaran, sesungguhnya berjalan di jalan yang sama dengan-Nya.
Kita dipanggil bukan untuk menciptakan perpecahan, tetapi untuk merangkul semua orang yang memiliki hati yang tulus untuk kebaikan.
Kasih bukanlah soal siapa yang lebih berhak atau lebih tinggi, tetapi bagaimana kita saling menolong, saling menguatkan, dan saling mengasihi.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku masih sulit menerima kebaikan dari mereka yang berbeda denganku?