Cinta itu Komitmen bukan Sekedar Perasaan

0
10 views
Ilustrasi: Cincin nikah.

Jumat, 28 Februari 2025

Sir. 6:5-17
Mzm. 119:12,16,18,27,34,35
Mrk. 10:1-12

HAMPIR semua pasangan suami isteri mengawali pernikahan dengan cinta yang penuh gairah dan perasaan menggebu-gebu.

Seiring berjalannya waktu, kita bisa lihat bahwa perasaan itu bisa berubah, naik turun, dan terkadang melemah.

Jika cinta dalam pernikahan hanya bergantung pada perasaan, maka hubungan itu akan rapuh dan mudah goyah saat badai kehidupan datang menerpa.

Cinta dalam perkawinan mestinya bukanlah sekadar perasaan yang datang dan pergi, melainkan sebuah komitmen yang dipegang erat oleh kedua belah pihak.

Komitmen untuk tetap setia, saling menghormati, dan bersama-sama menghadapi segala tantangan hidup.

“Saya akan berjuang demi cinta dan kasih kami dalam rumah tangga ini,” kata seorang ibu sambil menahan tangis.

“Perilaku suamiku memang keterlaluan dan sangat tidak bertanggung jawab, namun saya dengan sadar mengampuni dia.

Saya menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Kami berdua memiliki kekurangan dan kelemahan.

Setiap hari kami berjuang untuk menghidupi janji pernikahan kami. Suamiku dan saya telah dipersatukan bukan untuk mencari kesempurnaan dalam diri kami masing-masing tetapi untuk saling melengkapi.

Dalam banyak hal kekuranganku ditutupi oleh kelebihan suamiku demikian juga dengan kelemahan suamiku aku pasang badan untuk menguatkannya.

Melalui jatuh bangun, kami menemukan keindahan dari pernikahan kami: bukan tentang menuntut, melainkan memberi; bukan tentang mencari kesempurnaan, tetapi menerima satu sama lain dengan segala kelebihan dan kekurangan.

Kalau saat ini suamiku terpuruk, saatnya saya mengulurkan tangan untuk bangkit bersama,” syering ibu itu.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.

Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Dalam Janji Pernikahan, pasangan tidak berikrar untuk mencintai hanya saat bahagia, tetapi juga dalam kesulitan, dalam sakit maupun sehat, hingga akhir hayat.

Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap individu memiliki kekurangan dan kelemahan. Perkawinan yang bertahan bukanlah perkawinan yang tanpa masalah, tetapi perkawinan yang kedua pasangan berkomitmen untuk menyelesaikan setiap masalah bersama.

Itulah makna sejati dari cinta: bukan hanya perasaan sesaat, tetapi keputusan untuk tetap berjalan beriringan dalam meski kadang harus menghadapi badai dan topan dalam kehidupan ini.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku setia dengan janji pernikahanku?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here