PENGALAMAN manfaat sering-sering melakukan refleksi diri pekan lalu dibagikan oleh Prof. Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S(K), seorang neurolog dan juga Rektor Unika Atma Jaya Jakarta dan anggota Dewan Pengurus Bhumiksara. Ia membagikan pemikirannya dalam seminar webinar dalam rangka Dies Natalis ke-37 Yayasan Bhumiksara.
Tema bahasan yang dia paparkan adalah “Mind Spirituality”; sudah terlaksana hari Sabtu, 15 Maret 2025.
Selain memaparkan hubungan antara struktur otak, spiritualitas, dan kesehatan otak, Prof. Yuda Turana juga berbagi pengalaman pribadi mengenai refleksi diri.
Refleksi diri untuk pengambilan keputusan
Refleksi diri merupakan kesempatan untuk mengaktifkan frontal lobe (bagian depan otak besar) dalam proses pengambilan keputusan yang penting. Saat orang melakukan refleksi diri, otak frontal bekerja untuk mempertimbangkan berbagai aspek sebelum membuat keputusan.
Lebih dari sekadar pemikiran biasa, refleksi diri juga membuka kemungkinan adanya interaksi dengan gelombang elektromagnetik kosmik dan alam semesta, yang dapat memberikan pencerahan batin.
Dalam konteks spiritualitas, refleksi diri dapat diartikan sebagai “aktivitas mendengarkan Tuhan yang ingin berkata sesuatu kepada saya.”
Sebagai makhluk spiritual, manusia memiliki hati nurani. Berdasarkan berbagai studi, hati nurani bukanlah sesuatu yang secara fisik terletak di hati (liver), tetapi lebih berkaitan dengan aktivitas di otak frontal.

Refleksi memberikan pertimbangan dalam menentukan pilihan. Misalnya, ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan, refleksi diri membantu memahami alasan di balik keputusan tersebut. Pertimbangan ini bukan sekadar soal keuntungan semata, tetapi lebih pada makna dan manfaat bagi kehidupan yang lebih luas.
Dalam ranah spiritualitas:
- Refleksi diri merupakan proses pengolahan rohani untuk menjadikan hidup lebih bermakna bagi orang lain.
- Refleksi menghubungkan manusia dengan alam semesta karena manusia merupakan bagian dari kosmik yang diberikan napas kehidupan.
Spiritualitas dan aktivasi otak
Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas seperti meditasi yang bermakna dan doa dapat mengaktifkan otak, terutama bagian frontal. Spiritualitas yang mengutamakan makna yang lebih besar juga berkaitan erat dengan aktivitas otak frontal.

Refleksi di sekolah-sekolah Katolik
Saya mengapresiasi refleksi diri yang telah diterapkan di berbagai sekolah; terutama sekolah-sekolah Katolik yang mengajarkan pentingnya refleksi kepada anak-anak.
Refleksi diri di sekolah-sekolah ini sudah berjalan dengan baik (on the right track), tetapi tetap perlu ditingkatkan. Misalnya, refleksi bisa dilakukan setiap akhir sesi pelajaran, setelah suatu kegiatan, atau sebelum mengambil keputusan penting.
Saat ini, anak-anak muda terpapar banyak data. Namun, tanpa refleksi, data tersebut hanya akan berlalu tanpa makna. Oleh karena itu, guru perlu memperbanyak aktivitas refleksi melalui berbagai kegiatan. Dengan maksud dan tujuan agar anak-anak dapat mengolah informasi dan pengalaman secara lebih mendalam.
Aktivasi otak melalui refleksi
Saat orang melakukan refleksi diri, otak tidak dalam keadaan istirahat, melainkan justru teraktivasi. Oleh karena itu, setelah pelajaran berakhir, guru bisa mengajak siswa untuk merenungkan makna dari apa yang telah dipelajari.
Misalnya dengan pertanyaan:
- Apa makna pelajaran hari ini bagi diri sendiri?
- Bagaimana dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat?
Pembiasaan refleksi semacam ini dapat membantu membentuk pola pikir yang lebih bermakna.
Sebagai contoh, dalam doa pribadi saya, saya selalu menutupnya dengan ungkapan: “Semoga apa yang saya capai dapat bermanfaat bagi banyak orang.”
Refleksi seperti ini membantu kita untuk tidak terjebak dalam hal-hal yang hanya bersifat duniawi.

Refleksi di rumah bersama anak
Di rumah, anak-anak sering kali bertanya tentang hal-hal yang mereka lihat di YouTube atau media lainnya. Dari pengalaman ini, saya menyadari bahwa refleksi diri juga perlu diperkuat di sekolah dengan mendorong anak-anak untuk menghubungkan apa yang mereka lihat dengan makna yang lebih dalam.
Guru dapat memberikan tugas atau PR yang mendorong anak-anak untuk merefleksikan apa yang mereka alami di rumah.

Dalam keluarga saya, setiap malam kami melakukan refleksi diri dengan berbagi pengalaman menyenangkan yang terjadi sepanjang hari, kemudian menutupnya dengan doa.
Dalam doa, kami tidak hanya menyampaikan permasalahan pribadi. Tetapi juga saling mendoakan, termasuk menyampaikan “titipan-titipan” doa untuk orang lain. Sesederhana itu, tetapi sangat berarti.
Saya yakin praktik refleksi seperti ini juga sudah banyak diterapkan di sekolah-sekolah. Dengan refleksi, stres dapat berkurang, dan akhirnya otak frontal dapat lebih aktif sehingga kemampuan decision making kita menjadi lebih sehat dan matang.