
INI kisah saya. Katakanlah perjalanan “Menabur Kasih, Menuai Rahmat” dalam sebuah perjalanan misi di Halmahera
Perjalanan panggilan saya sebagai calon imam Keuskupan Agung Semarang membawa saya pada pengalaman berharga dalam misi di Tanah Halmahera. Bersama rekan-rekan dari Jejak Langkah Misioner (JLM), saya mendapat kesempatan untuk mengemban tugas pengutusan di bagian timur Indonesia, tepatnya di Halmahera, Maluku Utara, dari 20 Desember 2024 hingga 6 Januari 2025.
Berbagai persiapan telah dilakukan guna menjalankan misi ini.

Proses tersebut bukan sekadar membekali saya dengan pemahaman mengenai wilayah tujuan, tetapi juga membentuk kesadaran bahwa misi tidak hanya tentang mewartakan Kristus di luar daerah, melainkan bermula dari pengalaman iman pribadi dan perjumpaan dengan Tuhan.
Bermisi berarti membawa kisah dan pengalaman tentang Kristus yang saya imani.
Pada awalnya, Halmahera adalah tempat yang sama sekali asing bagi saya. Saya tidak mengenal budaya, bahasa, maupun dinamika sosial masyarakatnya. Namun, kasih Tuhan nyata terasa melalui umat Halmahera yang menyambut saya dengan tangan terbuka.
Sikap ramah dan keterbukaan mereka memudahkan saya untuk beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu ungkapan yang sangat menguatkan saya selama di sana adalah “Jou Si Barakati“, sapaan dalam bahasa Wayoli yang berarti “Tuhan memberkati.”
Kalimat ini bukan sekadar ucapan, melainkan sebuah doa yang benar-benar saya rasakan dalam perjumpaan dan kebersamaan dengan umat Halmahera.
Tradisi Kunjung di Halmahera
Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi saya selama di Halmahera adalah kuatnya kebersamaan di antara umat. Salah satu tradisi yang sangat menghangatkan hati adalah Tradisi Kunjung.
Menjelang Natal dan Tahun Baru, masyarakat Halmahera meluangkan waktu untuk mengunjungi keluarga, tetangga, dan sahabat mereka. Kebersamaan ini bukan hanya sekadar ajang pertemuan, tetapi juga dipenuhi dengan cerita, tawa, serta pesta yang mempererat relasi antar anggota masyarakat.

Selain itu, saya juga menemukan keunikan dalam tradisi penciuman Kanak-kanak Yesus. Selama kurang lebih dua tahun terakhir, umat Katolik di Halmahera mengelilingkan patung Kanak-kanak Yesus ke setiap rumah di lingkungan mereka.
Setiap rumah yang dikunjungi menjadi tempat berkumpulnya umat untuk berdoa bersama, berbagi sapaan kasih, serta mendoakan keluarga yang menerima kunjungan tersebut.
Tradisi ini bukan sekadar perayaan rohani, melainkan juga simbol nyata kasih yang mempererat kebersamaan, membangun relasi yang mungkin terabaikan karena kesibukan, serta memohon rahmat Tuhan bagi setiap keluarga.

Banyak pengalaman berharga
Dalam perjalanan misi ini, saya mengalami banyak hal yang semakin meneguhkan panggilan saya. Salah satu ungkapan yang sangat membekas di hati saya adalah: “Wah, Bapa Frater ini sungguh mau bersama kami. Bapa Frater bukan hanya pelayan altar, tetapi juga pelayan manusia.”

Ucapan ini mengingatkan saya pada jejak misi Romo van Lith SJ di Jawa, yang belajar budaya masyarakat setempat agar lebih dekat dengan mereka.
Dengan semangat yang sama, saya pun belajar bahasa mereka untuk memahami dan mengenal mereka lebih dalam. Dari sekian banyak kekhasan budaya yang saya temui, satu hal yang tetap sama di setiap tempat adalah budaya kasih. Di mana pun berada, kasih selalu menjadi bahasa universal yang menyatukan umat manusia.
Saya merasakan begitu banyak kasih Tuhan melalui perjumpaan dengan umat Halmahera, bukan dalam hal besar, tetapi dalam hal-hal sederhana: sapaan hangat, komunikasi yang tulus, tawa yang mengalir tanpa sekat, serta kebersamaan dalam setiap interaksi.
Hal ini menjadi bukti nyata bahwa kasih Tuhan hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Rahmat dalam setiap perjalanan
Perjalanan bermisi di Halmahera bukan hanya sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah ziarah hati – sebuah perjalanan yang membawa saya menemukan rahmat dalam cara yang tak terduga. Kadang, realitas berjalan di luar rencana yang telah saya susun dengan rapi.
Saya harus melangkah sendiri, terpisah dari rekan-rekan Jejak Langkah Misioner lainnya. Kesendirian itu pada awalnya terasa berat, menghadirkan ketakutan dan kekosongan dalam diri. Rencana yang saya buat seolah-olah menjadi sia-sia.
Namun, justru dalam ruang kosong itulah Tuhan mengisi hati saya dengan rahmat yang melimpah. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Korintus 12:9)
Melaksanakan misi di tempat baru tanpa adanya bangunan ibadat adalah tantangan tersendiri. Bersama umat Stasi Ibu Rukun (Lingkungan Baru), kami mengadakan ibadat di sebuah rumah sederhana. Namun, justru dalam kesederhanaan itu saya menemukan kehadiran-Nya begitu nyata.
Awalnya, saya merasa kesepian, tetapi perlahan-lahan kebahagiaan datang dalam bentuk sederhana: dalam tawa, dalam doa yang dipanjatkan bersama, dalam tangan-tangan yang saling menggenggam penuh kasih.
Tuhan mengajarkan bahwa Dia tak pernah meninggalkan saya. Hanya saja, sering kali saya terlalu terpaku pada kehilangan hingga lupa merasakan penyertaan-Nya.

Jika saja saya memilih meratap dalam kesepian, mungkin saya akan melewatkan begitu banyak rahmat-Nya. Namun, dengan membuka hati, saya belajar bahwa setiap rencana yang hancur sering kali digantikan dengan kisah yang lebih indah dari yang saya bayangkan.
Tuhan tidak pernah membiarkan seseorang berjalan sendirian – Dia selalu hadir dalam wajah-wajah yang saya temui, dalam uluran tangan yang menguatkan, dan dalam kebersamaan yang meluruhkan kesendirian.
Namun, seperti semua perjalanan yang penuh makna, perpisahan pun harus datang. Saatnya tiba untuk meninggalkan tempat di mana saya telah menerima begitu banyak kasih. Berat rasanya, tetapi saya belajar bahwa mencintai berarti juga harus siap melepaskan. Bukan untuk melupakan, tetapi untuk menghidupi makna dari setiap pertemuan.
Perpisahan bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari pemahaman yang lebih dalam tentang kasih Tuhan. Saya menyadari bahwa panggilan bermisi bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang menerima—menerima pelajaran tentang ketulusan, kesederhanaan, dan kebersamaan.
Kini, langkah saya harus terus berjalan. Namun, cinta yang telah saya terima tidak akan pernah pudar. Ia akan tetap hidup dalam kenangan, dalam doa, dan dalam setiap langkah baru yang akan saya tempuh. Sebab, pada akhirnya, perjalanan misi tidak pernah benar-benar usai.
Hidup itu sendiri adalah sebuah misi—misi untuk mencintai, memberi, menerima, dan percaya bahwa dalam setiap perjalanan, Tuhan selalu menyertai.
Tuhan, Engkau sungguh baik padaku yang lemah dan berdosa ini. Aku sadar masih sering menyakiti-Mu baik dalam perkataan maupun tindakanku. Namun, Engkau tetap setia mencintaiku dan mengampuniku.
Kiranya, ya Tuhan, melalui kisah kasih yang Engkau berikan padaku, aku semakin tersadar untuk lebih mendekatkan diri kepada-Mu. Sebab, aku ingin mencintai-Mu dengan sepenuh hati dalam segala kemanusiaanku ini. Terimakasih, Tuhan.