UNTUK seorang maestro sekelas Sri Hadhy, melukis bisa terjadi dalam satu kali hentakan nafas: dari satu noktah kecil menjadi sebuah gambar representatif. Ia membuktikan kehebatannya melukis itu dalam hitungan menit saat berlangsung resepsi sederhana Pesta 25 Tahun Yayasan Bhumiksara di Unika Atmajaya Jakarta, Sabtu tanggal 4 Mei 2013 pekan lalu.
Lalu apa yang istimewa di peristiwa menggambar dalam hitungan menit seperti yang dilakukan sang maestro pelukis Sri Hadhy ini?
Sang maestro pelukis ini mengawali lukisannya dari sebuah nohtak kecil berbentuk ‘mirip’ salib. Dikatakan mirip, karena noktah kecil itu sebenarnya juga tak jelas betul berbentuk ‘salib’ apa tidak. Itu karena noktah-nohtak kecil yang putus-putus itu muncul dari goresan cat minyak di atas kanvas. Menjadi terputus-putus, barangkali saking tidak pedenya pelukis dadakan yang didaulat MC untuk mengawali coretan pertama.
Coretan Mgr. FX Hadisumarta OCarm
Siapa tokoh penting yang memberi coretan pertama di atas kanvas tersebut?
Beliau tak lain adalah Mgr. FX Hadisumarta OCarm, uskup emeritus yang sekian puluh tahun silam pernah menjadi Uskup Diosis Malang dan kemudian diutus Tahta Suci menjadi Uskup Manokwari-Sorong di Papua. Selama menjabat Uskup Diosis Malang inilah, Mgr. FX Hadisumarta pernah menjabat Ketua MAWI (sekarang KWI) selama dua kali periode yang kemudian digantikan oleh Kardinal Julius Darmaatmadja SJ. Tahun-tahun terakhir ini, setelah ‘pensiun’ menjadi Uskup Diosis Manokwari-Sorong, Mgr. FX Hadisumarta OCarm berkarya sebagai pastur paroki di Gereja Maria Bunda Karmel, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Meski sudah berusia lanjut, namun kualitas dan kemantapan suara Mgr. Hadi masih menggelagar di atas mimbar saat membacakan doa-doa ekaristi.
Kembali ke sang maestro pelukis.
Dari sebuah polesan kecil mirip-mirip ‘salib’ yang digoreskan oleh Mgr. FX Hadisumarta OCarm, mulailah Sri Hadhy beraksi mengeksplorasikan daya kreatifitasnya. Tanpa banyak ba-bi-bu, ia segera menggamit kuas dan memainkannya di atas kanvas. Dari goresan berbentuk mirip-mirip ‘salib’, Sri Hadhy lalu menyapunya dengan goresan lebih tebal lagi.
Noktah kecil goresan Mgr. Hadi dipertegas oleh sapuan goresan kuas di tangan sang maestro. Maka, dalam sekian detik sudah muncul gambar sebuah palka kapal. Selang 25 menit kemudian, polesan awal yang dimulai dari nohtak berbentuk mirip-mirip salib itu sudah bermetamorfosa menjadi sebuah lukisan indah berbahan dasar cat minyak.
Dengan segudang pengalamannya sebagai pelukis profesional papan atas, dalam hitungan menit sang maestro Sri Hady telah berhasil menyempurnakan coretan pertama Mgr. FX Hadisumarta OCarm. Nohtak berbentuk mirip-mirip salib itu akhirnya menjadi sebuah lukisan yang menggambarkan deretan kapal layar yang tengah berlabuh di sebuah dermaga pelabuhan.
Mengapa akhirnya berbentuk kapal layar?
Dengan tangkasnya, sang maestro lulusan ASRI Yogyakarta ini menjawab: “Kapal layar adalah ibarat perjalanan panjang Yayasan Bhumiksara yang kini berusia 25 tahun.”
Sang MC penyanyi legendaris Henny Purwonegoro bertanya lebih lanjut: “Lalu tanda apakah kedua noktah merah merona dan kuning di atas jejeran kapal tersebut?”
Oleh Sri Hadhy, kedua nohtak merah dan putih itu adalah simbol dari cahaya dunia yakni Matahari dan Bulan. “Ibarat perjalanan panjang yang sudah ditempuh oleh Gereja dan Yayasan Bhumiksara, maka Matahari dan Bulan menjadi cahaya penerang perjalanan mereka,” jelas bapak dua anak ini.
Melalui acara lelang spontanitas, lukisan bergambar jejeran kapal layar dari goresan pertama Mgr. FX Hadisumarta ini akhirnya laku ‘terjual’ dengan harga pas Rp 50 juta. Hadirin yang beruntung mendapatkan ‘hadiah’ goresan Mgr. Hadi dan dilengkapi dengan sapuan kuas Sri Hadhy ini adalah Yosep, pengusaha katolik dari Jakarta.
Perjalanan panjang
Lahir di Purwodadi, Jawa Tengah, tanggal 18 Desember 1943, Sri Hadhy menempuh perjalanan amat panjang hingga akhirnya layak disebut sebagai sang maestro pelukis. Selepas lulus dari ASRI Yogyakarta, Sri Hadhy bertolak ke Negeri Belanda melanjutkan studi di Vrije Academie voor Beeldunde Kunsten de Vrije Academie Psychopolis di Den Haag.
Pameran lukisan pertama kali digelarnya pada tahun 1963. Selanjutnya, ia banyak pergi melalang buana ke kawasan Asia Tenggara selama 3 tahun, namun akhirnya kembali lagi ‘pulang’ ke Belanda dan kemudian menetap di Den Haag mulai tahun 1972 hingga 1988. Semasa inilah, Sri Hadhy banyak menggelar pameran lukisan tunggal di beberapa negara di Eropa, Afrika dan hingga akhirnya berhasil menyeberang ke The New World yakni AS.
Meskipun akhirnya pulang mudik ke Indonesia dan kemudian menetap hingga sekarang ini Jl. Warung Buncit Raya, Sri Hadhy tiada henti tetap berpameran di panggung internasional. Karyanya banyak menjadi koleksi di Museum Nasional Jakarta, Risjwijk Museum di Belanda, John Paul II Foundation di Roma.
Di hadapan mendiang Beato Bapa Suci Paus Johannes Paulus II di Vatikan tanggal 26 Oktober 1995, Sri Hadhy berkesempatan mendapatkan audiensi dengan Bapa Suci. Sri Hadhy lalu menyerahkan lukisannya bergambar wajah Sri Paus dengan latar belakang Tanah Lot Bali.
Menikahi perempuan asal Surabaya bernama Godeliva Endang, Sri Hadhy telah dikaruniai dua anak (perempuan dan laki-laki) dan sejumlah cucu. Endang sendiri juga berprofesi sebagai pelukis dan dari tangan perempuan yang awet muda ini sudah lahir banyak lukisan bertema bunga.
Sri Hadhy adalah umat Paroki PasarMinggu Jakarta. Dari tangan Sri Hadhy inilah, sejumlah lukisannya sudah menjadi koleksi pribadi orang-orang penting dunia seperti mantan PM Singapura Lee Kuan Yew, mantan PM Jepang Yasuo Fukuda, mantan penguasa Mesir Hosni Mubarak, dan tentu saja John Paul II Foundation. (Bersambung)
Photo credit: Pelukis Sri Hadhy bersama Mgr. FX Hadisumarta OCarm, penyanyi legendaris Henny Purwonegoro, Michael Utama, Junardy, dan Yosep yang menjadi pemenang lelang lukisan kapal layar hasil goresan bersama Monsinyur-Sri Hadhy.
Tautan: