KATA “misionaris” memang lama melekat erat dengan kisah heroik para pastor asing berjubah hitam zaman dulu. Begitu keluar dari lambung kapal yang membawa mereka dari daratan Eropa, para pastor jubah hitam ini dengan gagahnya lalu menjejakkan kakinya di “tanah misi” dan berteriak: “Kubaptis kalian atas nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus”.
Persis itulah yang bisa kita lihat dalam film The Mission arahan sutradara Roland Joffé tahun 1986 dengan bintang papan atas Robert de Niro dan Jeremy Irons yang memenangkan Palem Emas dan Academy Award untuk kategori Best Cinematography. Sebuah film tentang usaha para pastor Yesuit di sebuah permukiman penduduk asli di Amerika Latin yang berambisi membaptis semua orang menjadi katolik.
Itu cerita dulu di Amerika Latin sana. Di Indonesia pun, kisahnya nyaris sama ketika puluhan misionaris asing asal Jerman dan Belanda dari berbagai ordo dan kongregasi religius berbondong-bondong memasuki perairan Indonesia dan bersemangat mengenalkan iman kristiani kepada penduduk asli Indonesia. Tak bisa disangkal, pada era kolonialisme abad ke-15 semangat para misionaris asing itu sedikit bercampur dengan slogan imperialisme saat itu yang sejak lama digelorakan para awak kapal penjelajah yakni for God, Gold and Glory.
Menjadi awam masa kini
Semangat “3 G” masa lalu yang ikut lantang disuarakan para misionaris asing itu sudah barang tentu kurang relevan lagi untuk masa sekarang. Karenanya, pantaslah orang lalu bertanya: apa artinya menjadi “misionaris” pada masa sekarang. Dan apa artinya menjadi awam katolik di Indonesia pada kurun waktu abad ke-21 ini.
24-27 Mei lalu bertempat di Wisma Shalom, Bandung, baru saja rampung sebuah perhelatan rohani besar bertajuk Sidang Pleno VI Komisi Kerawam yang disponsori oleh Komisi Kerawam Konferensi Waligereja Indonesia. Tak kurang 125 peserta dari ke-37 keuskupan di seluruh Indonesia serempak datang mengikuti perhelatan rohani yang memang jauh dari gegap gempita pemberitaan media massa. Sejumlah perwakilan dari berbagai ormas katolik, perkumpulan dan asosiasi kaum profesional katolik ikut diundang menghadiri pertemuan yang dirancang Komisi Kerawam KWI sebagai “pertemuan pleno lima tahunan” ini.
Di antaranya WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia), ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia), Sudara (Sumber Daya Rasuli), Pemuda Katolik, FMKI (Forum Masyarakat Katolik), Yayasan Bhumiksara, dan sejumlah tokoh profesional katolik lainnya. Ikut hadir menyemangati pertemuan ini adalah Monsinyur Yustinus Hardjosusanto MSF –Uskup Keuskupan Tanjungselor di Kaltim– yang secara ex officio memang wajib hadir lantaran statusnya sebagai Ketua Komisi Kerawam KWI. Ikut tampil menjadi pembicara adalah Monsinyur Yohannes T. Pujasumarta Pr, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang yang di jajaran presidium KWI juga menjabat Ketua Komisi Hubungan Antaragama KWI.
Dua pekan sejak pertemuan nasional di forum Kerawam itu digelar, Sesawi.net berkesempatan mewancarai Sekretaris Komisi Kerawam KWI Romo Guido Suprapto Pr yang telah dibuat sibuk menyiapkan perhelatan besar Sidang Pleno VI Komisi Kerawam KWI di Bandung. Berikut ini adalah cuplikan wawancara dengan pastor diosesan dari Keuskupan Palembang yang hangat dan santun ini.
Sesawi.net: Apa sebenarnya acara Sidang Pleno VI Komisi Kerawam KWI itu?
Romo Guido Suprapto Pr: Ini adalah pertemuan kaum awam katolik nasional setiap lima tahun sekali. Bertindak sebagai penyelenggaranya adalah Komisi Kerawam KWI. Tujuan perhelatan nasional ini antara lain untuk memperteguh jalinan jejaring antarkomisi kerasulan awam dari berbagai keuskupan di seluruh Indonesia.
Persisnya bagaimana pertemuan ini dirancang untuk keperluan apa?
Kita bersama-sama diajak oleh Gereja untuk merefleksikan dan membagikan pengalaman beriman para peserta di forum ini untuk kemudian secara bersama-sama kembali merumuskan program aksi nyata untuk menjawab problem-problem aktual di masyarakat. Singkat kata, sebagai awam katolik kita mesti apa dan bagaimana menyikapi situasi riil yang ada di sekitar kita.
Apa yang bisa diharapkan dari hajatan selama 4 hari ini, sementara antarsemua anggotanya juga belum saling kenal?
Itu tak terlalu menjadi masalah. Yang penting adalah semua peserta datang dengan satu semangat sama yakni ingin berbagai pengalaman beriman. Beriman berarti menjawab panggilan bagaimana menjadi orang kristiani di sekitar kita yang riil ini.
Perubahan cepat telah terjadi di semua lini kehidupan sosial politik. Sebagai orang katolik yang harus mengimani kekatolikannya di dunia yang riil ini, kita mesti harus bagaimana. Pengalaman beriman sekaligus pertanyaan harus bagaimana itulah yang kami syeringkan dalam sesi-sesi pertemuan sepanjang pertemuan empat hari tersebut.
Gereja tentu berharap agar masing-masing bisa berperan membangun bentuk kerasulan awam yang tangguh dan mandiri di wilayah keuskupannya masing-masing.
Jadi, apa yang menjadi tujuan dari hajatan itu?
Singkat kata, Gereja mengajak semua pihak –dalam hal ini kaum awam—agar masing-masing bisa mempraktikkan hidup berimannya secara benar dan baik di masyarakat. Dalam bahasa kerennya, bagaimana kita bisa mempraktikkan the catholic way of life sesuai dengan status dan profesi kita masing-masing di masyarakat.
Mengapa KWI menaruh harapan begitu besar pada kaum awam? Bukankah sudah ada para klerus?
Kaum awam menduduki peran penting dalam misi pewartaan Kabar Gembira. Boleh dikata, kaum awam menjadi anggota Gereja di barisan terdepan yang mewartakan the catholic way of life itu di masyarakat. Itu artinya, kaum awam diharapkan menjadi pewarta akan pentingnya mengedepankan semangat perdamaian dan perjuangan akan keadilan sosial.
Apa artinya menjadi pewarta katolik di masyarakat riil di Indonesia?
Kita ini sudah sepakat –sesuai keingin para Pendiri Republik ini—bahwa kita bangsa Indonesia mengakui Pancasila dan UUD 11945 sebagai pilar-pilar utama kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Spiritualitas utama dari kedua pilar kebangsaan itu tak lain adalah penghargaan tinggi akan pluralisme. Nah, kita sebagai anak-anak bangsa dan terutama orang katolik pun diharapkan menjadi pewarta kabar gembira tentang semangat kebangsaan yang menghargai pluralisme tersebut.
Ketika Sesawi.net menghubungi Uskup Agung Semarang Monsinyur Pujasumarta Pr berkenaan dengan pentingnya melestarikan semangat kebangsaan sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945, Ketua Komisi Hubungan Antaragama KWI ini serta merta mengiyakan. Ikut tampil menjadi narasumber utama mengenai spiritualitas awam di Sidang Pleno VI Komisi Kerawam KWI di Bandung itu, Monsinyur Pujasumarta kembali menegaskan pentingnya orang-orang awam katolik menekuni panggilannya sebagai “rasul” yang berarti mewartakan kabar gembira demi semakin terciptanya bonnum commune atau kebaikan bersama di masyarakat.
Pentingnya mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar-pilar dasar kebangsaan kita, tegas Monsinyur Pujasumarta, menjadi sangat relevan di Indonesia ketika tahun-tahun terakhir ini bangsa kita didera oleh gejala merebaknya fundamentalisme agama yang seringkali “memanipulir” ajaran agama untuk kepentingan-kepentingan lain di luar ajaran agama itu sendiri. “Menyedihkan melihat kekerasan seringkali justru menjadi solusi sesaat untuk menyelesaikan berbagai perbedaan dan bukannya semangat cinta damai dan mengedepankan peradaban cinta kehidupan,” tuturnya.
Menghadapi tahun-tahun sulit seperti ini dimana radikalisme agama semakin menguat, tandas Monsinyur Puja, “tak ada pilihan lain yang lebih baik dan tepat selain mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar-pilar kebangsaan Indonesia sebagaimana digagas oleh para Pendiri Republik ini.”
Mathias Hariyadi
Photo credit: Royani Lim
Source: AsiaNews Italia