[media-credit id=3 align=”alignleft” width=”150″][/media-credit]PADA stadium III ini, masalah perkawinan sudah semakin berat dan kompleks, tetapi masih ada harapan perbaikan. Secara umum, ciri kualitatifnya adalah bahwa sumber konfliknya sudah menyentuh esensi perkawinan. Contoh yang paling banyak terjadi adalah adanya WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain).
Dengan kata lain, ada indikasi perselingkuhan. Kekerasan yang dilakukan pada pasangan dan/atau anak bisa juga dijadikan contoh sumber konflik dalam stadium III ini.
Disini, harapan perbaikan masih ada, tetapi relatif kecil. Secara kuantitatif, konfliknya jadi semakin sering dan butuh waktu lama (sekali) untuk diselesaikan.
Kemudian, secara subyektif penderitaan (psikis dan/atau fisik) pihak yang menjadi korban atau dirugikan bisa dikatakan berat sekali, hampir tak tertanggungkan. Tak jarang, penderitaan itu muncul dalam gejala psikis seperti misalnya suka marah, stress, melamun, menangis dan juga dalam gejala fisik susah tidur, badan menjadi kurus, dlsb.
Ranah hukum
Bisa dikatakan, masalah pada stadium III ini sudah tidak normal dan mulai masuk dalam wilayah hukum. Sebelum berbicara tentang tindakan hukum, perlu diperhatikan bahwa harapan untuk penyelesaian dalam stadium ini masih ada dan perlu dipelihara.
Untuk ini, bantuan dari profesional seperti misalnya psikolog atau konsultan perkawinan mulai diperlukan. Kesabaran tetap diperlukan,
tetapi kalau toh dirasa perlu, kedua belah pihak mengambil waktu khusus dan saling mengambil jarak dengan pisah rumah. Maksud dari pisah rumah (atau pisah ranjang) itu adalah untuk menenangkan hati dan pikiran supaya bisa mencerna dan mengkomunikasikan masalah dengan lebih baik.
Jalan serta maksud inilah yang diberi kemungkinan oleh Gereja Katolik seperti tercantum dalam kanon 1153 Kitab Hukum Kanonik (KHK 1983):
Kanon 1153 § 1 berbunyi: “Jika salah satu pihak menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lainnya atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, kalau berbahaya jika ditunda”.
Sedangkan Kanon 1153 § 2 menyebut: “Dalam semua kasus itu, bila alasan perpisahan sudah tidak ada lagi, hidup bersama harus dipulihkan, kecuali bila ditentukan lain oleh otoritas gerejawi.”
Kanon 1152, terutama § 3 juga menyebutkan kemungkinan di atas setelah dilakukan pembicaraan.
Kanon 1152 § 3 mengatakan: “Jika pihak yang tak bersalah dari kemauannya sendiri memutus kehidupan bersama perkawinan, hendaknya ia dalam waktu enam bulan mengajukan alasan perpisahan itu kepada otoritas gerejawi yang berwenang; otoritas gerejawi itu hendaknya menyelidiki segala sesuatunya dan mempertimbangkan apakah pihak yang tak bersalah itu dapat diajak untuk mengampuni kesalahan serta tidak memperpanjang perpisahan untuk seterusnya.”
Dua probabilitas
Meski harapannya adalah perbaikan hubungan dan pengampunan, Gereja tidak menutup mata pada mereka yang terlalu sulit untuk mengampuni. Karena itu, ada dua kemungkinan setelah pisah ranjang.
Kemungkinan pertama adalah kembali hidup bersama. Kedua, pisah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, dan tidak ada mengambil tindakan yuridis, kecuali surat dari atau sepengetahuan otoritas gerejawi. Dalam hal ini, otoritas gerejawi yang dimaksud cukuplah pastor paroki.
Pada stadium ini, yang tetap penting diperhatikan adalah memelihari api harapan yang masih ada, meski itu kecil sekali. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan oleh suami-isteri yang berpisah adalah penghidupan dan pendidikan anak-anak. (Bersambung)
DR. Andang Listya Binawan SJ, pastor Yesuit ahli hukum gereja alumnus The Catholic University of America dan Katholieke Universiteit di Leuven, Belgia; dosen Hukum Gereja di STF Driyarkara Jakarta dan pemerhati ekologi khususnya sistem pengelolaan sampah.