[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”150″][/media-credit]
OSLO, 20 Agustus tahun 1993 adalah peristiwa sejarah. Delegasi dua bangsa yang selama puluhan tahun saling menyerang dan berusaha saling melenyapkan satu sama lain –Palestina dan Israel—pada tahun 1993 mau duduk bersama untuk mengukir sejarah babak baru: sepakat berdamai, menghentikan permusuhan, dan sepakat duduk berunding merumuskan berbagai masalah berikut solusinya. Hari itu juga disepakati sebuah naskah perjanjian perdamaian bertitel Oslo Accords atau resminya bernama Declaration of Principles on Interim Self-Government Arrangements (Declaration of Principles/DOP).
Saat itu, Oslo sungguh menjadi pusat perhatian dunia. Itulah momen penting, ketika beberapa bulan kemudian di Washington DC (AS) PM Israel Yitzhak Rabin bersama Ketua PLO Yasser Arafat saling bersalaman –tanda berdamai—mengapit Presiden AS Bill Clinton yang saat itu bertindak sebagai “saksi perdamaian”.
Oslo berdarah-darah
Jumat (22/7) tahun 2011, kembali Oslo menjadi pusat perhatian. Ibukota Norwegia ini menjadi fokus headline di banyak media massa –baik cetak, elektronik, dan online—ketika seorang pemuda fundamentalis kristen bernama Anders Behring Breivik (32) mendadak sontak membuat “berita besar”. Laporan berbagai kantor berita menyebutkan, dengan menyaru menjadi polisi –lengkap dengan seragam dan semua atributnya—Breivik secara membabi buta memberondong senapan otomatiknya ke arah kerumunan remaja yang tengah kemping musim panas di Pulau Utoya, Tyrifjorden, Buskerud, tak jauh dari Ibukota Norwegia.
92 remaja dilaporkan mati sia-sia dalam insiden penembakan massal ini. Seakan tak mau terpengaruh oleh histeria masyarakat internasional yang mengutuk tragedi berdarah ini, melalui pengacaranya Breivik berujar: “Saya bertanggungjawab atas insiden ini,” begitu laporan media setempat sebagaimana dilansir stasiun TV Norwegia NRK, Sabtu (23/7) 2001 malam.
PM Norwegia Jens Stoltenberg menangis menyaksikan negeri yang terkenal damai ini dalam sehari dikoyak oleh dua insiden berdarah. Itu pun dengan jumlah korban tewas yang sangat menyesakkan. “Norwegia yang selama ini bak pulau surgawi kini berubah menjadi neraka,” ungkapnya sedih menangisi kondisi terakhir negeri di Skandinavia berpenduduk 4,8 juta manusia ini.
Sebelumnya, sebuah bom berdaya ledak tinggi juga mengoyak keheningan di pusat kota Oslo, tak jauh dari Kantor PM Norwegia. Laporan CNN dan BBC menyebutkan sedikitnya delapan orang tewas dalam insiden pemboman di siang bolong ini.
Fundametalisme agama
Dimana-mana yang namanya fundamentalisme selalu berujung pada ekstemisme alias berbuat ekstrim –di luar tatanan sosial yang normal—untuk memuaskan semangat radikalnya. Dalam insiden penembakan massal di Pulau Antoya ini, “bintang utama” yang berjiwa fundamentalis itu adaalh Anders Behring Breivik.
Sungguh mengejutkan, ketika pengacara Anders Behring Breivik menyebut “pembantaian massal” di Pulau Utoya itu sebagai “tindakan keji namun perlu”—demikian kata dia mengutip pengakuan Breivik. “Yang bersangkutan tampaknya sudah merancang serangan dadakan ini sejak lama,” demikian Lippestad, sekali lagi mengutip omongan Breivik yang kini disekap polisi untuk proses interogasi.
Mengutip keterangan polisi Norwegia, serangan membabi buta di arena kemping dengan 700-an partisipan anak-anak muda Partai Buruh itu sudah diagendakan sejak tahun 2009. Bahkan dari hasil penggrebekan apartemen Breivik, polisi juga menemukan sejumlah barang bukti kuat yang semakin mengindikasikan Breivik seorang figur fundamentalisme kristen ultra kanan alias ekstremis.
Belum jelas motif utama Breivik melakukan serangan pembantain massal yang membuat marah masyarakat internasional ini. Para pemimpin dunia –tak terkecuali Presiden AS Barrack Obama pun—ikut mengirim kawat duka kepada Norwegia.
AS layak sedih, kalau harus mengingat trauma masa lalu, persisnya tanggal 19 April 1995. Hari itu, Timothy James McVeigh –juga seorang fundamentalis— mendadak sontak menjadi terkenal seantero AS dan dunia oleh aksi kejamnya mengoyak Oklahoma City dengan sebuah truk bermuatan bom hingga meledak kuat menewaskan 168 orang. Harap tahu saja, nasionalisme McVey tak perlu diragukan lagi . Sebelum menjadi “musuh nomor 1” di AS, McVey adalah seorang GI alias tentara AS.
Jepang juga menyimpan trauma besar akan fundamentalisme. Sebulan sebelum McVey mengoyak Oklahoma City, Tokyo dibuat gempar oleh serangan gas sarin yang mampu melumpuhkan sistem syarat manusia dalam hitungan jam. Penguasa Jepang mengecam kelompok ekstrem Aum Shinrikyho berada di balik serangan maut di jaringan kereta api bawah tanah di Tokyo ini. Meski hanya menelan korban tewas 13 jiwa dan melukai beberapa orang, namun tragedi bom sarin tetap merupakan trauma besar di Jepang.
Bagaimana di Indonesia? Jawabannya jelas. Sudah banyak kali terjadi hal-hal yang membuat trauma itu menjadi mimpi buruk berkepanjangan…
Mathias Hariyadi, penulis dan anggota Redaksi Sesawi.Net