[media-credit name=”Kolsani” align=”aligncenter” width=”600″][/media-credit]
SETIAP kali berlangsung acara tahbisan imam (pastur) dimana pun berada, maka homili Uskup penahbis menjadi penting karena di situ Gereja –melalui Uskup sebagai pejabat tertinggi Gereja di diosisnya—berbicara mengutus para imam baru menjadi pewarta Tuhan. Hari Rabu tanggal 27 Juli 2011 lalu, Uskup penahbis Monsinyur Johannes Pujasumarta Pr yang juga Uskup Agung Diosis Semarang secara khusus bicara dalam homilinya tentang tugas imam membawa gerakan kasih dan kegembiraan kepada dunia.
Sapaan sekaligus ajakan ini bergema di Gereja Paroki Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta, saat Mgr. Pujasumarta menahbiskan 7 frater diakon calon imam dari Ordo Serikat Yesus (SJ) dalam ekaristi agung bersama Provinsial SJ Provinsi Indonesia Romo Rio Mursanto SJ dan Rektor Kolese Ignatius (Kolsani) Romo Hasto Rosariyanto SJ.
Dari tangan monsinyur bersama kedua petinggi SJ itulah, rahmat tahbisan imamat mengalir kepada Frater Diakon Yosef Andi Purwono SJ, Frater Diakon Eduardus Didik Chahyono Widyatama SJ, Frater Diakon Agustinus Rudy Chandra Wijaya SJ, Frater Diakon Yosef Fristian Yulianto SJ, Frater Diakon Dominico Savio Octariano Widiantoro SJ, Frater Diakon Ferdinandus Effendi Kusuma Sunur SJ, dan Frater Diakon Elias Ambirat Duhkito SJ.
[media-credit name=”Kolsani” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]
Mengapa dalam homilinya, Uskup penahbis Mgr. Pujasumarta menekankan fungsi luhur tugas para imam sebagai pewarta kasih dan kegembiraan bagi dunia? Monsinyur beralasan, karena tahun 2011 ini merupakan tahun rahmat bagi Gereja Indonesia yang tahun ini genap merayakan 50 tahun keberadaan hirarki episkopal Gereja Katolik Indonesia. Persisnya, hirarki episkopal itu eksis sejak 3 Januari 1961 hingga sekarang ini.
Tanah subur bagi panggilan imamat
Indonesia, kata Uskup penahbis Mgr. Pujasumarta dalam kotbahnya, boleh dibilang sangat subur bagi panggilan imamat. Bersama ketujuh frater diakon SJ tersebut, Mgr. Pujasumarta sebelumnya juga menahbiskan 2 frater diakon dari KOngregasi Xaverian (SX) dan 1 frater diakon praja, 4 frater diakon Kongregasi Keluarga Kudus (MSF).
Mengapa justru ajakan menjadi misionaris dunia pewarta kasih dan kegembiraan bagi dunia itu terungkap dalam acara tahbisan imam yesuit di Kotabaru? Monsinyur Pujasumarta punya jawabannya, “Teristimewa Kotabaru ini memiliki peran khusus bagi sejarah tumbuh dan berkembangnya kesadaran menjadi Gereja Katolik Indonesia.”
Menengok ke belakang, kata monsinyur, di penghujung abad ke-20 lalu maka awal sejarah keberadaan Seminari Menengah Santo Petrus Canisius di Mertoyudan, Magelang (1912), Novisiat SJ Girisonta di Ungaran (1922), dan Seminari Tinggi Santo Paulus di Kentungan, Yogyakarta (1936) sama sekali tak bisa dipisahkan dari Gereja Kotabaru.
[media-credit name=”Kolsani” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]
Kotabaru adalah awal darimana persemaian bibit-bibit panggilan imam di Tanah Jawa dan seluruh Indonesian ini mulai berkembang. Karena itu, kata Uskup penahbis, “Saya ucapkan ucapkan selamat atas anugerah panggilan yang telah diterima. Setelah disiapkan oleh banyak pribadi dan komunitas dalam waktu yang lama dengan hati-hati, cermat dan menyeluruh, hari ini sebuah tonggak baru akan dipancangkan: menjadi imam Tuhan.”
Hadirnya ketujuh imam baru tersebut, kata Monsinyur, menjadi berarti bagi Gereja karena “Mereka akan terus mengambil bagian di dalam melanjutkan sejarah Gereja Katolik yang selama ini telah menerima sumbangan besar dari Serikat Yesus (SJ) yang pernah mengaku diri kecil minima societas itu” .
Hadiah dari Tuhan
Kata Monsinyur penahbis Pujasumarta, imamat adalah anugerah Tuhan bagi GerejaNya. Imamat membawa pembaruan, penyegaran dan kegembiraan bagi Gereja. “Anugerah semangat pembaruan ini yang memampukan Jesuit sebagai serikat imamat, menjadikan Gereja senantiasa bermakna bagi anggotanya dan sekaligus berperan di dalam masyarakatnya,” tandas Mgr. Pujasumarta.
Zaman modern seperti sekarang ini, ungkap Mgr. Pujasumarta Pr, peran Gereja menjadi krusial karena Gereja harus menjadi bermakna bagi segenap anggotanya sekaligus menjadi pemicu semangat masyarakat.
“Kita memerlukan keduanya, agar kita bersama tetap setia pada panggilan untuk menjadi garam, ragi dan terang dunia. Menjadi garam yang asinnya nyata, agar tidak dibuang dan diinjak-injak orang; menjadi ragi, yang dayanya mengubah dunia dari dalam; menjadi terang yang bersinar dalam kegelapan,” kata mantan Rektor Seminari Tinggi Kentungan ini. (Bersambung)
Sumber: http://pujasumarta.multiply.com
Photo credit: www.kolsani.provindo.org
Mathias Hariyadi, penulis blog http://mytitch.blogspot.com and anggota Redaksi Sesawi.Net.
If only we knew earlier.