[media-credit name=”google” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]ADA banyak alasan mengapa orang menempuh pendidikan. Salah satu alasannya adalah supaya mengalami hidup sukses di masa depan. Akan tetapi, hidup sukses itu sendiri banyak tafsirannya. Setiap orang bisa mempunyai gambarannya masing-masing tentang “apa itu hidup sukses”.
Dewasa ini kesuksesan dalam hidup seringkali dikaitkan dengan simbol-simbol yang melekat pada kehadiran seseorang yang memungkinkan dirinya dipandang “keren” oleh dirinya sendiri maupun oleh lingkungan pergaulannya. Dalam hal ini, kesuksesan hanya dilihat dari performa luar seseorang, dan belum dilihat dari apa yang dialami seseorang sebagai manusia yang terus bertumbuh sebagai pribadi.
Latihan Menumbuhkan Kemampuan
Pendidikan sesungguhnya justru lebih menyentuh “segi dalam” dari seseorang daripada “segi luar”-nya. Dengan lain kata, pendidikan amat memperhatikan orang sebagai manusia yang secara fisik, mental, dan spiritual bertumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu, daripada hanya sekedar memperhatikan segi-segi luar yang ditempelkan pada orang.
Namun demikian, perihal nature seseorang tersebut tidak dapat dipisahkan dari nurture-nya. Lingkungan tempat manusia yang bertumbuh dan berkembang, yaitu masyarakat dan alam semesta, juga menjadi perhatian pendidikan. Karenanya, di dalam pendidikan tidak dapat dihindarkan usaha-usaha untuk mendalami tiga domain dasar pendidikan, yaitu: (1) “siapa itu manusia”, (2) “seperti apa masyarakat dan alam semesta di mana sang manusia itu hidup”, dan (3) “seperti apa relasi yang terjadi antara manusia di satu sisi serta masyarakat dan alam semesta di sisi lain”.
Pendidikan yang menyentuh secara sekaligus tiga domain tersebut dilakukan secara sadar, disusun dengan aneka bahan, ditempuh dengan aneka tahap, serta dalam pendampingan para guru sebagai rangkaian latihan sehingga apa yang dipercaya sebagai potensi pada setiap orang yang menjalani pendidikan berkembang sepenuhnya menjadi kemampuan aktual yang teruji oleh tantangan-tantangan.
Kemampuan yang bertumbuh dari potensi menjadi aktual melalui proses pendidikan tersebut secara garis besar meliputi: (1) kemampuan untuk mengetahui (ability to know), (2) kemampuan untuk mengekspresikan pengetahuan dan menjelaskan mengapa pengetahuan tertentu perlu dikuasai (ability to communicate and explicate the knowledge), dan (3) kemampuan untuk menjalankan dalam tindakan apa yang dikatakan dan yang dipercayai sebagai kebenaran (ability to walk the talk and the truth).
Untuk masuk ke dalam proses pendidikan yang pada akhirnya melahirkan dan menumbuhkan kemampuan aktual itu, dibutuhkan kerelaan untuk menjalani proses yang terjadi. Tanpa kerelaan ini, pendidikan tidak pernah akan sampai menyentuh potensi terdalam dari seseorang hingga pada gilirannya terbuka peluang untuk mengembangkan potensi tersebut lebih lanjut. Sebab, tanpa kerelaan, sesungguhnya seseorang sejak awal tidak pernah mau untuk mengalami pendidikan.
Persoalannya, tidak setiap orang dalam kenyataan berada pada proses pendidikan bidang ilmu yang dimauinya, misalnya karena bidang ilmu itu dimaui justru oleh orangtuanya atau karena bidang ilmu pilihan pertama tidak lolos seleksi. Dalam hal ini, sikap yang realistis adalah berusaha untuk menemukan relevansi bidang ilmu yang akan dipelajarinya terhadap persoalan-persoalan hidup yang sekarang ada.
Penemuan relevansi bidang ilmu ini boleh dikatakan merupakan momentum “eureka!” bagi seseorang yang menyimpan energi luar biasa untuk menjalani dengan tekun proses pendidikan yang secara faktual tidak pernah berlangsung secara mudah dan dalam waktu yang instan.
Menemukan diri sendiri (self discovery) momentum “eureka!” mengenai relevansi bidang ilmu dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan hidup manusia zaman tersebut sesungguhnya bukan hanya harus dilakukan oleh mereka yang belum merasa cocok dengan bidang ilmu yang akan digulatinya, tetapi juga harus menjadi pokok perhatian bagi semua orang yang mau belajar ilmu apa pun. Sebab, pada proses self discovery ini terletak relasi mendasar antara orang-orang yang studi dan masalah-masalah dunia.
Bila seseorang sudah menemukan momentum “eureka!” itu maka terbukalah pada dirinya “mata baru” yang mampu memandang hidup secara keseluruhan dari sudut pandang ilmu yang digulatinya dengan cara yang amat personal tetapi tidak membuatnya jadi egois. Dalam waktu yang sama, dirinya juga bisa merumuskan dengan bebas dan happy alasan dasariah mengapa ia menjalani studi ilmu tertentu di tengah-tengah pergaulan ilmu pengetahuan yang ada. Dalam kesadaran seperti itu, lembaga pendidikan, seketat apa pun kondisinya, tidak menjadikan orang yang sedang studi berada dalam situasi terasingkan atau terpisahkan dari realitas hidup dunia aktual, tetapi malahan mendekatkan dan semakin menghubungkan.
Dengan lain kata, berkat “eureka!” itu, seseorang terbakar hasratnya untuk mencapai keunggulan ilmu yang mau dilewatinya dengan tekun menjalani proses hari demi hari hingga dirinya tidak gentar pada kesulitan tetapi malahan semakin mencintai ilmu yang hendak dikuasainya itu. Dan dengan bantuan para guru, ia mengalami sendiri pada dirinya: bagaimana proses terlahir dan terbentuknya apa yang disebut dalam kebudayaan Yunani sebagai arete (excellency).
Siklus See-Judge-Act
Dengan menggulati ilmu dalam imajinasi yang menyala di tengah persoalan-persoalan masyarakat dan alam semesta, seseorang sesungguhnya menjalani proses pembelajaran terus-menerus (on going learning) untuk: (1) melihat dunia (see), (2) melakukan refleksi dan menimbang-nimbang perkara (judge), serta (3) memutuskan tindakan (act) yang dilakukan dalam konteks dirinya sendiri maupun dalam konteks relasinya dengan masyarakat dan alam semesta.
Dalam siklus See-Judge-Act ini, semakin hati seseorang yang sedang studi tersambung dengan realitas hidup masyarakat dan alam semesta, semakin tergugahlah ia untuk mengembangkan studi secara mendalam yang punya perspektif lebih luas daripada sekedar kepentingan sempit dirinya sendiri. Atau, melalui dinamika See-Judge-Act tersebut, pada masa studinya orang menempa diri menjadi men and women among others, for others, and with others.
Dalam terminologi Nicolaus Driyarkara (1913-1967), filsuf yang menjadi pendiri dan rektor pertama perguruan tinggi Sanata Dharma, dinamika See-Judge-Act membuat efektif formasi atau pembentukan manusia muda menjadi homo homini socius (manusia adalah kawan bagi sesamanya).
Dengan demikian, tepatlah adagium: “Pada hati yang tertambat sesama, ilmu tak mungkin membisu.” Sebab, dengan kompetensi ilmunya, seseorang yang relasi batinnya dengan masyarakat dan alam semesta kuat, hati nuraninya tidak tenteram sebelum sungguh-sungguh melakukan tindakan yang mampu mengubah air mata masyarakat dan derita dunia menjadi senyuman. Inilah kiranya yang mau dimaksudkan dengan semboyan “cerdas dan humanis” di kalangan civitas academica Universitas Sanata Dharma.
Maka proses studi tidak bisa lalu disempitkan hanya dalam proses mengumpulkan aneka pengetahuan, atau proses menghapalkan rumus-rumus semata, tetapi menurut Paulo Freire (1921-1997), pencetus pendidikan pembebasan yang gagasannya dikenal antara lain dalam buku Pedagogy of the Oppressed (1970), halnya lebih merupakan proses membiasakan diri untuk mampu membaca dan menuliskan realitas.
Kemampuan untuk membaca dan menuliskan realitas ini mengandaikan berkembangnya kapasitas dari manusia yang sedang studi untuk membuat keputusan ketika berhadapan dengan masalah-masalah yang hadir dalam kehidupannya (problem solving capacity).
Dalam konteks orang muda yang sedang menempuh studi di tengah segala problematika yang sedang terjadi di Indonesia, proses latihan untuk membaca dan menuliskan realitas itu dapat ditempatkan pada peristiwa-peristiwa studi yang memungkinkan seseorang mampu membaca dan mengerti: seperti apa sejarah terbentuknya dan perkembangan komunitas masyarakat yang disebut sebagai Indonesia itu.
Kecuali itu, dirinya juga mampu berimajinasi tentang masyarakat Indonesia yang dicita-citakan, dan bila memungkinkan, berani pula untuk memulai usaha mewujudkan apa yang dicita-citakan itu dengan segala kemampuan terpelajarnya dan dengan segala rasa perasaan cintanya pada masyarakat Indonesia. Proses “membaca dan menuliskan Indonesia” yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa studi ini merupakan seni menjalani masa studi yang menumbuhkan komitmen dari seseorang untuk mengembangkan spirit “salus populi suprema lex” atau “the salvation of the people is the supreme law” (keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi di dalam hati dan di dalam segala perwujudan tindakan), dan bukannya melulu berpusat pada diri sendiri.
Terkait dengan soal keindonesiaan, sudah tertanam di dalam memori terdalam dari orang-orang yang sedang studi di masa kini bahwa Indonesia itu secara historis adalah buah dari kesepakatan bersama dan bertemunya jiwa besar para pejuang kemerdekaan dari berbagai latar belakang pada masa runtuhnya kekuasaan penjajah kolonial. Para pejuang kemerdekaan tersebut, berkat studi mereka masing-masing yang digerakkan oleh rasa perasaan senasib dan seperjuangan sebagai satu bangsa yang mengalami penjajahan, mampu membaca dan menuliskan realitas tentang satu bangsa di kepulauan Nusantara yang terdiri dari berbagai keunikan kultural dan sosial, hingga usaha-usaha terpelajar dan cinta mereka itu sanggup menggugah kesadaran tentang hidup bersama yang merdeka, bermartabat, dan menerbitkan fajar pengharapan. Usaha-usaha mereka itu diikat dan dihidupi oleh nilai-nilai yang diyakini sudah lama ada dan akan terus ada di lubuk terdalam masyarakat Indonesia merdeka. Nilai-nilai itu adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial yang dipadu dalam satu sebutan ringkas: Pancasila, dan yang sesungguhnya merupakan intisari dari puisi dan prosa sehari-hari masyarakat Indonesia.
Apa yang pernah dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan yang bertolak dari kegelisahan studi pada masanya itu sesungguhnya tidak pernah kehilangan relevansinya pada masa kini. Orang-orang muda yang menjalani studi pada masa kini dipanggil untuk mewujudkan misi perjuangan yang serupa dalam konteks dunia yang sudah berbeda. Masyarakat dan alam semesta Indonesia masa kini adalah arena hidup yang menggerakkan dan menyalakan studi. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa studi yang dialami sekarang ini merupakan tungku perapian yang membentuk kematangan pribadi-pribadi muda dengan segala kreativitas dan inovasi-inovasinya di dalam membentuk masa depan yang semakin berpengharapan bagi semua dan mewujudkan “kemerdekaan baru” di zaman yang diwarnai dengan fenomena globalisasi dan kemajuan aneka teknologi ini.
Maka, proses belajar yang ditekuni hari demi hari sekarang ini bukan saja merupakan proses pembebasan seseorang dari kekurangan dan kelemahan yang menghambat dirinya di dalam mewujudkan cita-cita personal, tetapi juga merupakan proses pembebasan bagi masyarakat dan dunia kehidupan dari persoalan-persoalannya.
Semoga semua orang muda menemukan momentum “eureka!” dalam peristiwa-peristiwa studi mereka dan berani mempertaruhkan jiwa dan raga bagi sesamanya.
Rm. Robertus In Nugroho Budisantoso, SJ adalah seorang dosen yang sekarang tinggal di Sangkalputung, Klaten. Karangan di atas merupakan bahan refleksi dalam rangka inisiasi mahasiswa baru Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, tahun 2011.