googleSIANG itu, aku memberanikan diri masuk ke kamar Valerie, kamar yang sudah lima minggu ini tak berpenghuni.
Beberapa obat tersebar di meja kecilnya. Aku segera bergegas untuk menyiapkan baju dan segala kebutuhannya.
Aku menemukan beberapa kertas kecil di lemari bajunya. Aku tertegun,
di muka kertas-kertas tersebut tertulis namaku. Ragu-ragu, kubuka
kertas itu.
“Andros, Maafkanlah kalau kondisiku ini harus memaksamu mengerti.
Maafkan aku kalau aku tak pernah bisa membahagiakanmu atau sekedar
membalas kebaikanmu. Mungkin kau bertanya ‘Mengapa harus kamu?’ Tuhan
bilang karena kamu tak pernah mengeluh dan tulus.
Di mataNya ada wajahmu. Di tanganNya ada namamu. Dia bisa pilih siapa saja. Tapi dia pilih kamu. Dan Tuhan benar, kau hadiah terindah untukku. Percayalah Andros, di setiap doaku terselip namamu.”
Hatiku bertambah ngilu.
Aku segera berangkat ke rumah sakit. Dia masih koma. Wajahnya kuyu, beberapa selang dan kabel membelit tubuhnya. Oh Tuhan, aku tak sanggup melihatnya begini. Kugenggam tangannya, Tuhan, angkatlah segala sakitnya pindahkanlah ke tubuhku! Tuhan, aku janji tak akan menyakitinya lagi.
Aku kembali ke kamarku, kutemukan plastik kecil berisi benih anggrek sisa praktikum. Sejak kecil Valerie suka sekali dengan anggrek. Entah apa yang mendorongku, aku memutuskan untuk menanam anggrek itu.
Tuhan, kalau kau menghendaki, biarlah Valerie sembuh seiring mekarnya kembang ini. Tapi bila tidak, mampukan aku untuk merelakan dia seiring layunya anggrek ini.
Valerie, segeralah pulang. Lihatlah aku menanam anggrek ini untukmu.
Aku janji tidak akan marah kalau kau membereskan berkas-berkasku. Aku
janji tidak akan membuang teh yang kau seduh disaat aku penat. Aku
janji tak akan menyembunyikanmu dari teman-temanku, atau memarahimu
karena tingkahmu yang kuanggap memalukan.
Penulis : Gheacinta Cyntia Jasmine & Theresia Okvitawati, keduanya siswi kelas 12 SMA Regina Pacis, Surakarta
