BAGI seorang rahib, setiap hari adalah hari kematian. Salah satu ayat emas Karthusian adalah “Kau telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama Kristus dalam Allah” (Kol 3:3). (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Lie Cha Lie Chu Lie Chung Yen (1)
Itu jugalah yang praktis saya rasakan di sini; terputuslah komunikasi langsung dengan dunia luar: tanpa koran, radio & TV. Tiada masa lalu, tiada masa depan, yang ada hanyalah Hari Ini.
Hidup dalam sel
Sel menjadi makam harian bagi saya. Kami diperkenankan keluar dari sel hanya tiga kali sehari, yaitu untuk Misa komunitas (pagi), ibadat sore dan ibadat tengah malam. Berbagai kegiatan lain dilakukan di dalam sel masing-masing.
Sel adalah arena perjuangan seorang rahib. Rahib Karthusian yang hidup dalam ketersembunyian diharapkan membiarkan diri dibentuk oleh selnya sehingga lama kelamaan ia bukan cuma mengucapkan doa dalam waktu-waktu tertentu saja melainkan seluruh hidupnya menjadi doa yang terus menerus.
Seorang pertapa padang gurun menasehati seorang rahib muda, “Tetaplah tinggal dalam selmu, dan selmu itu akan mengajarkan kamu segala sesuatu!”
Kami diperkenankan bicara hanya pada acara rekreasi (mengobrol) hari Minggu (45 menit) dan Walk Day hari Senin, berupa 4 jam jalan lintas alam (16 km), entah hujan entah panas, entah bersalju entah berlumpur. Cross-country ini, yang tidak terdapat pada tarekat rahib lain, merupakan tradisi Karthusian sudah sejak dari zaman St. Bruno, demi keseimbangan jasmani dan rohani para rahib; tanpa sarana ini kami tidak mungkin saling kenal karena sepanjang hari sendirian di sel masing-masing.
Sebelum ini dengan mudah saya berhubungan dengan Anda sekalian lewat berbagai sarana komunikasi modern, sekarang hubungan terputus sama sekali. Surat-menyurat dibatasi pada keluarga/saudara dekat tiga bulan sekali; selama Advent dan Prapaska tak ada surat masuk maupun keluar, kecuali ditulisi “urgent”.
Tidak setiap Biara Karthusian dilengkapi fasilitas komputer dan internet, melainkan hanya biara induk di Perancis, biara kedua di Italia Selatan dan Parkminster. Namun akses internet hanya untuk Romo Prior dan Pembimbing Novis; rahib-rahib lain pada kesempatan khusus saja, sekali dua kali setahun!
Dikisahkan oleh Nikos Kazantzakis (sastrawan Yunani) dalam memoir-nya, ketika mengunjungi biara rahib-rahib Yunani, ia bertanya pada seorang rahib lanjut usia, “Apakah Anda masih bergulat dengan setan?”
Dijawab demikian, “Oh tidak lagi! Saya semakin tua dan setan pun bosan dengan saya. Dia tak menggubris saya lagi, saya pun tak menggubris dia lagi.” Nikolas bertanya lagi, “Kalau begitu enak dong, hidup Anda menjadi santai-santai saja!” Rahib tua itu pun berkata, “Oh sama sekali tidak! Kini malahan lebih parah! Sekarang saya bergulat dengan Tuhan!”
Nah, saya yang baru berusia 52 tahun, dibilang tua ya tua, dibilang muda ya muda, malah lebih parah lagi: selain masih harus bergulat dengan setan, saya sudah harus mulai pula bergulat dengan Tuhan!
Yang ada hanya masa kini
Pembimbing Novis kerap memperingatkan saya yang kerap menengok ke masa lalu atau pun cemas akan masa depan, “Bagi seorang rahib yang nyata-nyata ada hanyalah masa sekarang ini. Tak ada masa lalu, tak ada masa depan. Pola waktu seorang rabib bukanlah garis lurus horizontal dari masa lalu, masa sekarang, ke masa depan, melainkan lingkaran spiral vertikal, yang mengangkat ‘masa kini dan di sini’ masuk ke dalam ke ‘keabadian’!”
Saya pegang pula nasehat dari seorang Yesuit Perancis masa lalu (Jean Pierre de Caussade, abad 18), “Untuk lepas dari tekanan batin akibat penyesalan akan masa lalu atau kecemasan akan masa depan, inilah aturan yang musti dilaksanakan: serahkanlah masa lalu pada Kerahiman Tuhan yang tanpa batas, pasrahkanlah masa depan pada Penyelenggaraan-Nya yang penuh kebaikan, persembahkanlah masa kini, sepenuhnya pada Kasih Tuhan dalam kesetiaan terhadap rahmat-Nya!”
Bergulat dengan segala macam kesukaran jasmani dan rohani ini, bila hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri, saya pasti kalah. Tapi saya yakin, kalau ini jalan panggilan Tuhan, tentu saya dapat bertahan karena Dia pastilah memberikan segala sesuatu yang diperlukan. Pesan St. Paulus selalu menghibur dan menguatkan saya, “Ia yang memanggilmu adalah setia, ia pula yang akan menggenapinya” (1 Tessalonika 5:24), “Tuhanlah yang telah membuatmu mampu menginginkan dan melaksanakan apa yang berkenan kepada-Nya” (Filipi 2:13).
Bunda Maria selalu menjagai anak-anaknya, juga saya meskipun saya anaknya yang kurang ajar! Di bulan April y.l., Hari Minggu Kerahiman Ilahi, setelah saya, dengan mohon doa Bunda, memantapkan niat untuk masuk Novisiat Karthusian, di depan pintu sel L saya temukan papan kayu lukisan Bunda Pertolongan Abadi (ikon).
Ternyata itu ikon kesayangan milik Lazarus (postulan Inggris yang ditolak Romo Prior) yang ia wariskan kepada saya sebelum meninggalkan Parkminster, diiringi surat singkat, “Untuk Anda atas bisikan Bunda kita yang kudengar dalam batin!” Icon asli, berasal dari abad ke-15, disimpan di Gereja St. Alphonsus, Via Merulana, Roma; copy ada juga di Gereja Novena yang terkenal di Singapura. Saya terima hadiah itu sebagai tanda peneguhan dari Bunda Maria.
Kini setiap hari saya memohonkan pertolongan Our Mother of Perpetual Help/Succour bagi Anda sekalian. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan di Malam Pertama (5B)