JANGAN terpukau oleh kemewahan, apalagi sukses finansial dan status sosial, kecuali kalau yang Anda kagumi itu benar-benar menjalani hidupnya dengan bahagia dan senang. Filosofi Jawa yang berbunyi wang-sinawang (diam-diam saling memperhatikan secara seksama) barangkali mewakili ide besar tentang filosofi kehidupan yang termaktub dalam film komedi anyar The Intern ini.
Sejatinya, meski dibandrol dengan label komedi, The Intern pada hemat saya adalah film sangat serius. Ia berkisah tentang dua manusia yang sama-sama ingin mencari makna hidup sejati di balik kisah sukses yang mereka renda sekarang dan di masa lalu.
Gila kerja tapi hari-harinya sepi
Jules Ostin (Anne Hathaway), perempuan cantik tinggi semampai, sukses luar biasa memimpin perusahaan jasa jual-beli online About-the-Fit hanya dalam waktu singkat: 18 bulan saja. Di kantornya yang sengaja dia besut dengan suasana serba kasual itu, dia adalah ‘raja’ dalam arti yang sesungguhnya. Dengan kekuasaan mutlak, Jules Ostin bisa menggeser posisi karyawannya kapan saja dengan sesuka hati. Karenanya, tak seorang pun berani menegurnya, sekalipun Jules Ostin sampai nekad membawa sepeda onthel untuk ‘berjalan’ ke sana kemari.
Di kantor, Jules sukses besar dan boleh dibilang jumawa dalam segala hal. Namun, sejatinya perempuan gila kerja ini tengah merenda hari-harinya dengan kesepian luar biasa. Karena tuntutan pekerjaan dan pada dasarnya juga gila kerja, Jules Ostin tanpa sadar telah kehilangan gairah untuk melakoni jenis hidup berkeluarga.
Tidur nyenyak juga sudah lama telah hilang dari keseharian Jules Ostin, lantaran pikirannya selalu dihantui oleh fluktuasi volume jual-beli aneka pakaian yang dilansir perusahaannya. Kalau pun masih bisa disebut bahagia, maka itu hanyalah karena Jules Ostin masih bisa menikmati statusnya sebagai perempuan karir dan sebagai seorang ibu yang pernah melahirkan Paige dari rahimnya. Ia merasa berarti hanya karena masih harus mengantar Paige pergi sekolah.
Pensiun dan sepi
Di seberang sana, seorang bapak nan sepuh bernama Ben Withaker (Robert De Niro) yang sudah berumur 70 tahun juga tengah berjuang mencari makna hidup usai merenda kerja selama 40 tahun sebagai direktur iklan dan penerbit buku telepon. Ketika istrinya sudah lama meninggalkannya karena kematian dan anak-anaknya sudah berkeluarga dan pindak ke kota lain, maka hari-hari sepi menjadi menu keseharian hidup Ben.
Hidupnya dibuat bergairah kembali, setelah diterima kerja sebagai magang (intern) di perusahaan About-the-Fit yang dibesut Si Cantik Jules Ostin. Ia ingin kerja agar hari-harinya tak sepi, karena di rumah ia hanya seorang diri tanpa ada nyawa manusia lain di sekelilingnya. Ia juga mulai mengalami absurditas ketika selalu mendapati dirinya sendirian dan mengalami hatinya hampa, sekalipun sebelumnya sempat mereguk keramaian saat traveling.
Bertemunya Ben Withaker dan Jules Ostin membawa mereka berdua dalam sebuah petualangan batin untuk menemukan makna kehidupan yakni hidup bahagia dan senang. Di sinilah, tersembul magnet daya pikat The Intern, ketika dua bintang layar lebar kelas papan atas bertemu dan beradu acting mengeksplorasi kekuatan mereka membetot emosi penonton.
Menjadi ‘bapa rohani’
Mestinya, karena sudah uzur, Ben layak untuk tidak diterima kerja. Namun, entah mengapa, tiba-tiba Ben malah diposisikan menjadi asisten pribadi Jules Ostin: semula hanya menjadi sopir namun belakangan malah menjadi ‘penasehat rohani’nya. Ketika hubungan kerja mulai klop, hubungan Ben dengan ‘atasan’nya Jules Ostin mulai merangkak lebih jauh. Kini, Ben tidak hanya sekedar menjadi asisten pribadi dan ‘bapa rohani’nya, melainkan pada Ben itulah segala keluh-kesah kehidupan Jules mulai termuntahkan dan kepadanya dimintakan nasehat.
Puncaknya terjadi, ketika secara tak sengaja Ben memergoki Matt Ostin (Andre Holm), suami Jules, selingkuh dengan merajut cinta kilat dengan ibu dari teman sekolah Paige (Jojo Kushner), anak semata wayang pasangan muda ini. Bukannya tak tahu tentang extra marital affair ini, tapi Jules Ostin sengaja memendam rasa agar kinerjanya memimpin About-the-Fit tidak goyah.
Namun, sekali waktu, tibalah saatnya ketika Jules Ostin harus berani menjatuhkan pilihan hidup. Mau sukses memimpin perusahaan atau sukses merenda kehidupan keluarga? Untuk opsi yang kedua ini, Matt Ostin telah berkorban diri untuk tidak lagi bekerja, melainkan menjadi ‘bapak rumah tangga’. Namun, karena selera seks Jules juga sudah ngedrop saking direnda kepenatan dan beban kerja, maka dia juga tak mampu lagi mengekang hasrat suaminya untuk kemudian mencari kehangatan cinta di luar rumah.
Menurut ‘nasehat’ Ben, suami yang selingkuh itu biasanya hanya ingin membuang pesan penting kepada istrinya sebagai berikut: Jangan salahkan pria, kalau sekali waktu bisa beralih ke lain hati. Itu dia katakan kepada Jules, karena mayoritas kaum pria hanya ingin mengatakan satu pesan penting kepada istrinya: ternyata saya masih ‘jantan’ dan laku juga di ‘pasar bebas’. Jadi, jangan kecewakan suami di rumah.
Konflik batin untuk terus memimpin perusahaan namun harus dibayar dengan kesibukan dan hidupnya hampa atau menyuruh orang lain bekerja untuk dirinya membawa Jules Ostin melakukan perjalanan jauh ke San Fransisco. Dengan mengajak Ben iktu serta, kepergiaannya ini bertujuan untuk mencari CEO bagi About-the-Fit agar Jules Ostin tak perlu bersibuk ria memimpin kantor. Perjalanan ini sampai membawanya ke sebuah ‘petualangan rohani’ bersama Ben Withaker, bapak gaek yang ternyata punya daya observasi tajam melihat sejarah hidup orang lain.
Maklum saja, dengan pengalamannya memimpin perusahaan selama 40 tahun dengan merenda hidup berkeluarga selama lebih dari 36 tahun sampai akhirnya istrinya meninggal dunia, Ben adalah sosok ‘bapak rohani’ yang pas untuk menguliti hidup penuh semu yang melibas keseharian Jules Ostin.
Obrolan santai di atas dipan antara Ben dan Jules Ostin yang sebelumnya saya kira akan berakhir dengan ngeseks dan ternyata tidak, tapi malah membawa mereka pada sebuah pola hubungan relasional antarpribadi yang mendalam. Kepada Ben, akhirnya Jules Ostin mengadakan confessiones bahwa dirinya merasa bersalah –karena saking workaholic-nya dia– hingga akhirnya suaminya Matt menaruh hati pada perempuan lain.
Sebagai perempuan, ia sakit hati ditelingkung oleh suaminya yang main selingkuh. Sebagai perempuan karir, ia merasa bersalah mengapa hal itu bisa sampai terjadi. Matt pun juga mengaku salah bahwa ia sampai hati meninggalkan istrinya dan beralih ke lain hati, karena hari-harinya dilalui dengan sepi tanpa ‘kehadiran’ Jules di kesehariannya bersama Paige.
Jules secara fisik memang ‘ada’ dan eksis di rumah ketika sudah pulang kerja. Namun sejatinya, hati dan pikiran Jules ‘ada’ dimana-mana karena harus senantiasa ‘terhubungkan’ dengan aneka gadget untuk berkomunikasi dengan para staf dan bawahannya dalam mengontrol kinerja perusahaan.
Kesibukan luar biasa telah merenggut kebahagiaan Jules. Uang banyak tidak mampu menyediakan tidur nyenyak baginya di atas springbed di rumah. Melainkan justru di dalam kabin mobil yang tengah disetiri oleh Ben, dirinya mendapatkan ‘kemewahan’ itu: tidur nyenyak sampai ngorok.
Di situlah Jules Ostin mulai sadar diri. Ternyata kekuasaan dan uang bukan segalanya, karena sejatinya juga tidak bisa ‘membeli’ tidur nyenyak baginya dan tidak mampu menghadirkan kebahagiaan dan perasaan senang bagi dirinya, suaminya Matt dan anak mereka Paige. Pada bagian ini pula, dia mulai sadar bahwa si bapak gaek bernama Ben Withaker itu adalah ‘malaikat penolong’ yang menuntunnya kembali menemukan jalan hidupnya yang benar dan mereguk kembali apa artinya hidup bahagia bersama keluarga (suami dan anak). Padahal, gara-gara suka ‘mencermati’ hidupnya itulah, Ben ingin dia mutasi ke bagian lain agar jangan lain menjadi ‘cermin’ darimana Jules bisa berkaca diri bahwa di balik semua kuasa dan uang itu ternyata dia tidak bahagia.
Pada sisi lain, justru di perusahaan About-the-Fit itulah, Ben tanpa sengaja menemukan teman hidup untuk mengisi hari-harinya yang mulai sepi sejak istrinya meninggal dan anak-anaknya berkeluarga dan pindah kota. Pemijat cantik Fiona (Rene Russo) berhasil mencuri hatinya, sejak dia mendapatkan layanan pijat refleksi di kantor dan itu membuatnya kembali bergairah sebagai pria jantan normal.
Seperti tagline resmi yang membungkus film ini dengan kalimat ‘experience never gets old’, maka nonton film The Intern sepertinya kita pergi melancong jauh, nyopir mobil, mendengarkan musik dan makan kacang goreng, sembari menikmati pemandangan alam dan karunia kehidupan berupa bahagia dan senang. The Intern dengan magnet luar biasa Anne Hathaway yang sumringah dan cantik mempersona plus pemainan kaliber kakap sekelas De Niro adalah kegiatan nonton sembari belajar hidup bahwa bahagia itu ada di sana tanpa sering kita sadari.
Kredit foto: Ist
Reviewnya lengkap, ga sabar besok nobar film ini 😀
Uang banyak ga bisa bikin kita tidur nyenyak.. nice!