PERKAWINANNYA akhirnya kandas dan kemudian memilih bercerai secara sipil melalui proses peradilan untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. “Jujur saja, pilihan ini tidak mudah dan sangat berat, makan energi batin dan membuat kondisi finansial juga morat-marit,” tutur M. Ari Anggorowati membuka babak hidupnya yang paling pahit di hadapan para peserta SAGKI 2015 di hari Rabu (4/11) siang.
Menikah tidak ‘bebas’
Mengapa harus bercerai? Itu pertanyaan umum yang mengemuka di forum SAGKI.
Dengan tenang dan tangkas, Ari mengatakan, pilihan hidup menikah dan kemudian harus bercerai di tengah jalan itu terjadi melalui proses yang sangat panjang. “Kami menikah tidak sepenuhnya ‘bebas’,” ungkapnya jujur.
Peran orangtua sangat dominan, ketika proses hubungan personal dengan mantan suaminya itu memasuki tahap penting: perkawinan katolik. “Kami berdua menikah pada usia sangat muda,” kenangnya.
Seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya hari-hari sulit dia temui sepanjang hari hingga akhirnya entah kemana suaminya pergi begitu saja meninggalkan dia dan kedua anaknya yang waktu itu masih kecil. “Empat tahun lamanya saya menjalani hari-hari sangat sulit dalam kondisi batin serba ketidakpastian,” lanjutnya menceritakan kisah hidupnya.
Perkembangan waktu malah menunjukkan hal yang tidak positif dimana muncul intimidasi dan ancaman hingga akhirnya ia berinisiatif menggugat cerai suaminya melalui prosedur hukum di pengadilan. “Itu pun tidak mudah, karena sebagai PNS saya harus minta izin atasan. Susah ngomongnya, karena harus membuka aib sendiri di hadapan orang lain,” kenang Ari.
Yang pasti, katanya lebih lanjut, “Saya memutuskan bercerai demi masa depan saya dan anak-anak agar kondisinya menjadi lebih baik.”
Menjadi janda muda
Palu sudah diketok hakim, maka resmi sudah Ari menyandang predikat janda muda ketika perceraian sipil itu akhirnya dilegalkan oleh negara. “Sampai saat ini, saya belum mengurus perceraian nikah gerejani dan karenanya saya mendapatkan halangan untuk boleh menerima komuni,” katanya menahan haru.
Ketika halangan menerima komuni ini lantas menyebar kemana-mana di lingkaran umat katolik sendiri, maka posisinya sebagai janda muda membuatnya kian rikuh bergaul di paroki dimana ia sendiri hidup. “Saya lalu memutuskan pindah rumah, ikut ibu yang berdomisil di paroki lain yang lebih akomodatif,” kata Ari merumuskan kegelisahannya karena tidak disambut hangat oleh komunitas orang katolik di lingkup parokinya sendiri.
Pengalaman menjadi janda muda itu tidak mengenakkan. Stigma serba negatif selalu menghampiri dia, setiap kali dia ingin berbuat baik bagi orang lain, termasuk untuk Gereja Katolik itu sendiri. Ketika khasak-khusuk mulai meretas di kalangan umat paroki dan mencurigainya sebagai penggoda iman, maka ia mundur teratur dan kemudian membatalkan niat baiknya untuk menyumbangkan keahliannya sebagai analis data untuk perbaikan administrasi gereja.
Gosip juga terjadi di lingkup kerja. Sekali waktu dia ditegur atasannya agar lebih baik menggunakan celana panjang daripada mengenakkan rok. “Aneh juga, siapa sih yang mau iseng lihat-lihat betis saya,” katanya serius namun dengan nada canda.
Kini, sudah 13 tahun lebih, Ari menyandang status janda. Namun, sekarang, ia mengaku punya posisi batin sukacita merengkuhi statusnya sebagai single parent ini sejak masuk ke lingkup pergaulan yang tidak pernah menggubris penting apakah dia janda atau tidak.
Tergoda bunuh diri
Ditanyai Romo Agung Prihartana MSF apakah masih merasa terganggu dengan sebutan ‘janda’ itu? Dengan tangkas, Ari menyebutkan bahwa kalau pun harus merintih sedih, itu karena anak-anaknya mesti menanggung ‘luka’ karena keputusannya melakukan perceraian. Anak-anak di sekolah selalu terpaksa ‘menyembunyikan’ diri untuk tidak terpancing membeberkan kisah pilu keluarganya di depan teman-temannya.
“Penderitaan saya bukan karena bercerai, tapi anak-anak harus menanggung risiko dari keputusan saya bercerai. Sekali waktu, ketika saya harus kerja di Surabaya selama empat tahun, saya berpisah dengan anak-anak. Yang pertama sekolah di Van Lith Muntilan, adiknya di Jakarta, sementara ibunya kerja di Surabaya,”.
“Kini, sepenuhnya saya bisa menerima kondisi dan realitas hidup ini apa adanya: kenyataan bahwa saya memang telah bercerai demi masa depan kami selanjutnya. Saya sudah tidak meratapi lagi kenyataan pedih ini,” kata Ari.
Namun itu ia katakan dengan tambahan ada catatan sangat penting.
Sekali waktu, kata Ari dengan nada tenang, dia memang tengah kalut menghadapi proses perceraian yang makan waktu, energi batin, dan juga membuatnya melarat. Entah apa yang membuatnya pernah berpikiran untuk bunuh diri bersama kedua anaknya.
“Saya pernah ingin membawa diri saya dan kedua anak saya ke sebuah lokasi tak jauh dari Stasiun Manggarai untuk bisa digilas mati oleh kereta yang lewat. Saya mati, pun pula kedua anak saya ikut bersama saya. Tidak kuat menanggung derita batin,” kenangnya.
Berikutnya adalah disorientasi
Saat masih menyandang janda muda, beberapa orang mendesaknya untuk segera menikah lagi. Namun, lagi-lagi pikirannya sesak oleh pertanyaan-pertanyaan mendasar: menikah dengan siapa, apakah calon mampu menerima kenyataan bahwa dia sudah punya momongan dua anak.
Untunglah, di ujung sana masih saja ada orang yang mau peduli dengan Ari. Orang ini mengatakan, perjalanan hidupmu masih jauh dan pergumulan batin senantiasa selalu ada. Seperti umat Yahudi yang meninggalkan Mesir dan kemudian menyeberangi Laut Merah, demikian Ari, maka “Saya pun waktu itu juga tidak tahu apa yang akan terjadi dengan saya, usai perceraian kami resmi dan legal.”
Kredit foto: Romo FX Adisusanto SJ/Yohanes Indra (Dokpen KWI
kisah yang menarik dan inspiratif dari ibu ari ini, perlu direnungkan oleh umat, supaya tidak begitu saja menilai negatif jika ada keluarga yang justru menanggung beban karena pernikahannya. sebaliknya jika ada keluarga yang bermasalah seperti itu hendaknya umat justru menjadi pendamping atau sekadar “keranjang” untuk curhat, melepas beban bantinnya.