Hari Biasa
warna liturgi Hijau
Bacaan
1Raj. 8:22-23,27-30; Mzm. 84:3,4,5,10,11; Mrk. 7:1-13. BcO 1Kor. 1:18-31
Bacaan Injil: Mrk. 7:1-13.
1 Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. 2 Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. 3 Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; 4 dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga. 5 Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” 6 Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. 7 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. 8 Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” 9 Yesus berkata pula kepada mereka: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. 10 Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. 11 Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban yaitu persembahan kepada Allah, 12 maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatupun untuk bapanya atau ibunya. 13 Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.”
Renungan:
PADA waktu kecil orang tua selalu melarang kita duduk di atas bantal. Alasannya hanya ora “ilok” (tidak pantas). Kita juga dilarang duduk di pintu rumah kala hujan. Ada banyak larangan tanpa penjelasan yang berarti. Turun temurun larangan tersebut kita wariskan pada keturunan kita.
Orang Yahudi juga mempunyai tradisi. “tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya” (Mrk 7:3-4). Mungkin salah satu alasannya adalah kebersihan demi kesehatan. Setelah bepergian atau ke pasar mereka kotor, maka perlu dibersihkan dulu. Namun kala melihat para murid makan tanpa bersih-bersih dulu mereka mempertanyakan tindakan tersebut tanpa melihat alasannya. Tindakan itu dipandang melanggar adat.
Untuk saat ini rasanya tidak mudah melarang seorang anak tanpa alasan yang jelas. Kalau mereka nurut bukan karena patuh tapi lebih untuk menghindari suara. Sebaliknya kalau alasannya jelas, seorang anak tanpa diperintah sekalipun akan melakukan yang kita ingini. Rasanya layak kalau kita tidak sekedar melarang. Kita perlu selalu mencari alasan yang tepat dan berdaya.
Kontemplasi:
Bayangkan dirimu ketika memberikan larangan kepada anak-anakmu.
Refleksi:
Bagaimana menemukan cara bicara yang tepat dan berdaya?
Doa:
Tuhan semoga aku mampu berkomunikasi dengan baik dengan sesamaku. Semoga bukan hanya larangan yang kusampaikan tapi keutuhan alasan yang bisa diterima. Amin.
Perutusan:
Aku akan mencari kata-kata yang tepat dan berdaya. -nasp-
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)