PADA salah satu waktu di tahun 1970, seorang mahasiswa ITB, Rene Louis Conrad, ditembak mati. Alasannya terlalu sederhana: kesebelasan ITB menang dalam pertandingan bola melawan akademi militer. Karena menang dan bersorak senang, Rene dipopori timah panas. Waktu itu, persis lima tahun setelah PKI dibubarkan dan banyak warga dibunuh, militer masih dengan gampang mengangkat senjata dan menghilangkan nyawa warga.
Mahasiswa marah, Indonesia ribut besar. Nada utama jelas: antimiliter dan militerisme. Di Yogyakarta, kota mahasiswa dan salah satu pusat budaya itu, kelompok-kelompok kritis menggalang diskusi, turun ke jalanan, dan menolak tunduk mencari haknya sebagai warga negara yang bebas dan sah. Pada 1971, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) mengadakan konggres di Solo. Gaspar Parang Ehok sebagai ketua PMKRI Cabang Yogyakarta tampil percaya diri menekankan kembali jati diri PMKRI sejati.
“Kalau sekiranya peran PMKRI semata-mata ditekankan pada hal-hal yang bersifat entertainment seperti berdansa setiap malam minggu, sebaiknya organisasi seperti itu dibubarkan saja,” kata-kata Gaspar sebagaimana ditulis ulang rekannya sesama aktivis Yogyakarta, Daniel Dhakidae.
Gaspar kemudian menginisiasi sebuah pertemuan yang membahas hal-hal yang bisa dibuat PMKRI. Salah satunya adalah penerbitan sebuah bulletin mingguan yang independen. Moderator PMKRI Cabang Yogyakarta Pater Depoortere menyambut baik inisiatif itu dengan menyiapkan dana untuk percetakan. Seorang misionaris mempunyai banyak uang? Tidak, ibu Pater Depoortere baru saja meninggal di Belanda. Rumah keluarga dijual dan uangnya menjadi hak sang misionaris.
Gaspar berpikir jauh lebih radikal. Dia mengajak aktivis-aktivis lain dari kelompok di luar PMKRI. Maka jadilah sebuah koran mingguan dengan susunan staf redaksi: Ashadi Siregar sebagai pemimpin redaksi, Zulfikly Lubis sebagai pemimpin umum, dan pemimpin perusahaan M Aini Chalid. Staf redaksi terdiri dari Gaspar Ehok, Daniel Dhakidae, Peter Hagul, Parakitri Tahi Simbolon, Sjarifudin Salim, dan Achmad Bey Sofyan.
Anda pasti bertanya-tanya, apa gerangan nama mingguan yang dikelolah oleh para aktivis muda ini? Sendi. Ya “Sendi” yang fenonemal dan penuh kontroversial itu, “Sendi” yang berani dan menolak mati itu. “Sendi” yang ingin menyentuh, menganggu, dan menguatkan sendi-sendi kehidupan bersama itu. Kalau mengenal sejarah, kita semua tahu, “Sendi” kemudian dibredel setelah dengan sangat kritis dan jujur ‘berbicara’ tentang pemerintahan Soeharto. Salah satunya tentang pembangunan TMII yang pada waktu itu dinilai sebagai proyek tipu-tipu dan suka-suka ibu Tien Soeharto.
***
Kita kembali ke figur Gaspar Parang Ehok (muda). Dia mahasiswa jurusan Hubungan Internasional FISIP, UGM. Seorang laki-laki Manggarai sejati yang ingin meraih pendidikan tinggi setelah ‘menganggur’ setahun di kampung membantu orangtuanya mengumpulkan uang biaya kuliahnya kelak. Awalnya, Gaspar tinggal di asrama mahasiswa Manggarai di daerah Bausasran. Namun, Gaspar mulai merasakan desakan kekurangan uang. Dia bertemu Romo J. Cassut, SJ yang mengajak pindah ke asrama Realino di daerah Mrican dengan beberapa tambahan pekerjaan lain.
Gaspar, melalui sahabatnya Peter Hagul, berkenalan dengan seorang misionaris Sabda Allah dari Polandia, Pater Josef Glinka SVD. Pater Glinka, sebagaimana dikisahkan Gaspar sendiri, membantu banyak hal dalam tangga-tangga hidupnya.Terutama, dalam semangat belajar meraih cita-cita menjadi diplomat. Gaspar menyelesaikan kuliah S-1 dengan skripsi bertajuk “Ostpolitik: Politik Luar Negeri Jerman Barat Terhadap Negara-Negara Komunis Eropa Timur”. Pater Glinka membantu Gaspar ketika melakukan penelitian di beberapa kedutaan besar, termasuk kedubes Polandia.
Gaspar ingin sekali menjadi diplomat. Namun, Departemen Luar Negeri belum mengadakan penerimaan pegawai baru. Gaspar berencana menjadi dosen di UGM. Akan tetapi, rencana itu berubah, Gaspar tiba-tiba merasa sangat terpanggil untuk mengabdi di NTT. Lagi-lagi Pater Glinka membantu menguatkan hati Gaspar ketika harus menyunting dan menikahi kekasihnya yang beda agama. Gaspar mempercayakan Pater Glinka sebagai Bapak Rohani bagi keluarganya.
Pater Glinka jugalah yang membantu Gaspar melanjutkan studi di bidang administrasi publik dan birokrasi di Jerman dengan beasiswa dari Kondrad Adenauer Stiftung. Gaspar, yang lahir 9 April 1947, kemudian lebih dikenal sebagai birokrat daerah yang jenius dan berpikiran maju. Gaspar menjadi Bupati Manggarai selama sepuluh tahun dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah NTT. Dalam masa kepemimpinannya, birokrasi dikelolah secara baik layaknya di bawah pimpinan seorang master ilmu administrasi lulusan Jerman. Daerah meraih pendapatan dari sumber-sumber yang pada masa sebelumnya belum dipikirkan.
Khalayak banyak mengenang Gaspar Parang Ehok sebagai bupati yang tegas dan bersahabat, yang disiplin dan tetap kreatif, yang mampu memadukan ketertiban administrasi birokrasi dan semangat persaudaraan gaya Manggarai tanpa sedikitpun jatuh pada bahaya KKN, dan banyak kesan lain. Praktisi hukum bisnis dan pasar modal, Gusti Dawardja, menulis di status facebook-ny, “Pak Gaspar Ehok, Guru Politikku yang baik, seorang birokrat yang egaliter dengan kadar intelektual bagai seorang professor tapi juga sekaligus seorang CEO yang handal yang bisa membumikan yang abstrak….”
Dalam sebuah tulisannya untuk menyambut HUT ke-70 Pater Josef Glinka SVD, Gaspar menulis: “Usia 70 tahun adalah usia yang relatif panjang dan tidak semua orang bisa mencapainya. Oleh karena itu, kalau Pater Glinka bisa meraihnya, maka hal itu pantas disambut secara istimewa”. Namun, hari ini, kita perlu membaca secara kreatif penggalan tulisan ini.
Gaspar Parang Ehok meninggal sebelum usia 70 tahun. Tetapi, hal itu bukan berarti Gaspar tidak istimewa. Sejarah hidupnya telah mengajarkan kepada kita tentang menjadi pribadi istimewa. Kita terus-menerus membutuhkan anak muda aktivis penuh inisiatif positif seperti Gaspar muda. Kita masih selalu membutuhkan seorang bupati dan birokrat daerah yang berotak professor dan berpikiran CEO. Gaspar istimewa, terutama, ketika sadar ataupun tidak sadar menjadi inspirasi bagi kita semua yang ditinggalkannya.
RIP Gaspar Parang Ehok (1947-2016). Lako di’a – di’a Ite ge, Keraeng Gaspar.
Sumber tautan: http://indonesiasatu.co/detail/gaspar-parang-ehok–birokrat-berhati-profesor-dan-berinisiatif-ceo