CUKUP lama untuk seorang pemula ketika menempuh perjalanan dua jam dari Keuskupan ke Banjarnegara. Kamis, 10 Maret 2016, pk. 12.00, di rumah Ketua Lingkungan St. Andreas Banjarnegara, Ibu Fatima. Suaminya, Mas Hong-Tie datang kemudian. Menyusul Om Jen-Jen, Bu Priyo, Tante Achiang, dan Billy putranya Bu Lily yang datang mewakili Ibunya sebagai Ketua Bidang yang membawahi Tim Kerja PSE Paroki Banjarnegara. Semua yang hadir adalah umat Lingkungan Santo Andreas.
Billy mengantar kami ke sana ke rumah Bu Erny, ibunya Willy. Ibu Erny adalah warga lingkungan St. Andreas Banjarnegara. Sehari-harinya, Ibu yang berumur 70 tahun lebih ini berjualan ikan asin di Pasar Banjarnegara. Anaknya, Willy ini, sudah menikah dan sudah berpisah dengan istrinya.
Sekarang Willy tinggal bersama dengan Ibunya di rumah. Willy belum lama mengalami kecelakaan dan kaki kanannya luka parah. Persisnya di telapak kaki kanan. Di perjalanan menuju rumah Bu Erny,
“Bu Priyo, bagaimana keadaan Willy?”
“Sudah mendingan, kok Romo. Setiap hari ganti perban. Tadinya memang diminta operasi, tetapi keluarga tidak mau karena ketiadaan biaya sehingga harus rawat jalan ke dokter setiap dua hari sekali,” kata Bu Priyo menjelaskan.
“Kalau operasi, mungkin sekitar Rp 8 jutaan, Romo. Sedangkan kalau rawat jalan, ya Rp 5-6 jutaan,” kata Billy yang setia mengantar Willy, bersama dengan Bu Priyo, salah satu anggota APP/PSE paroki ini.
Di rumah itu, Bu Erny sudah menunggu kami. Beliau pulang dari pasar karena diberitahu kalau ada tamu mau datang berkunjung. Pertama-tama, kami menengok ke arah kamar Willy di sebelah ruang tamu rumah itu. Willy terbaring tak berdaya. Badannya agak gemuk. Telapak kaki kanannya tampak diperban.
Suasana mendung, menambah gelap kamar itu, apalagi siang itu, Willy berpakaian kaos dan celana pendek hitam. Di dekat pintu kamar, ada tongkat panjang dari besi. Mungkin, ini adalah alat bantu jalan. Rumah sedemikian sederhana itu memperlihatkan dengan mudah kepada kami, apa-apa saja yang ada di dalamnya, seperti motor besar sejenis megapro mungkin yang terparkir di ruangan bagian dalam di depan TV.
“Bagaimana keadaanmu Willy?” tanya saya.
“Sudah membaik,” jawaban Willy dengan singkat.
Setelah bertemu dengan Willy yang hanya sebentar, kami melanjutkan bercakap-cakap di ruang tamu.
“Bu Erny, kedatangan kami ke sini, pertama-tama adalah untuk silaturahmi. Kunjungan menjenguk orang sakit. Kami prihatin dengan keadaan Willy dan Ibunya ini dan membawa bantuan dari APP Keuskupan. Namanya saja bantuan, tentu seadanya kami. Untuk sepenuhnya sesuai yang dibutuhkan, lingkungan dan APP paroki akan mengusahakan.
Namun demikian, sekali lagi, yang penting adalah kunjungan dan silaturahmi kami ini yang peduli dengan keadaan Ibu sebagai umat Katolik Keuskupan Purwokerto dan warga Paroki Banjarnegara, serta Lingkungan Andreas pada khususnya. Ada yang mau disampaikan, Ibu?” tanya saya.
Ibu Erny tampak terdiam sejenak dan matanya mulai berkaca-kaca.
Bu Priyo yang tampak duduk di sebelahnya menyenggol, “Trimakasih gitu, Bu.”
Perempuan lanjut dengan mengenakan daster ini mengulangi kata-kata Bu Priyo dan menambah, “Memang, cobaan itu datang terus-menerus Romo.”
“Bu, kalau cobaan tidak datang terus-menerus, yang datang adalah ‘minyak suci’ dan kemudian ‘peti mati’,” kata saya disambut gelak tawa spontan kami semua di ruang tamu itu.
Suasana kembali cair dan tidak larut dalam kesedihan.
“Saya sudah tua, Romo. Sudah 71 tahun.”
“Ah, masak to? Kelihatan masih 50 tahun, apalagi rambut masih hitam semua.”
“Ini saya semir, Romo.”
Ibu-ibu yang sedari tadi menyimak pembicaraan kami, tidak dapat menahan tawa.
Suasana siang itu sangat cair, tidak larut dalam kesedihan. Apalagi setelah kami berdoa bersama di kamar Willy. Rasanya kekeluargaan dengan kunjungan itu lebih dari sekedar materi bantuan yang diberikan. Saya juga mendengar kalau nanti malam, lingkungan juga akan mengadakan iuran sukarela untuk meringankan beban penderitaan sakitnya Willy ini.
Bantuan dari APP Keuskupan memang jauh dari ekspektasi Tim APP Paroki. Hal ini dimaksudkan dengan pertimbangan bahwa dana guliran APP di paroki masih cukup banyak. Dana itu supaya dikucurkan dalam prosentasi untuk bantuan karitatif macam ini dengan prosentase lebih banyak supaya tidak menumpuk.
Pertimbangan lain, keadaan Willy juga sudah mulai membaik, paling tidak dari yang disampaikan oleh Willy sendiri dan juga oleh Bu Priyo, salah satu anggota Tim PSE/APP paroki.
Kami pulang disertai hujan yang mulai rintik-rintik turun. Sambil bercanda sana-sini, kami membungkus rasa solidaritas pada mereka yang membutuhkan, siapa pun itu, tanpa memandang agamanya apa, seperti Willy ini.
Yang terpenting adalah keprihatinan Willy menggerakkan semakin banyak orang untuk peduli, ya APP Keuskupan, ya APP Paroki, ya warga Lingkungan.
Domine Ad Quem Ibimus,
Stef, Pr