INILAH modus penipuan melalui dunia virtual yang baru saja hendak menyergap saya sebagai target korban, kalau saja tidak langsung mawas diri.
Beberapa jam yang lalu, tiba-tiba di HP Siemens BenQ yang sudah saya akrabi sejak 15 tahun terakhir ini berdering nyaring. Melalui nomor Telkomsel Halo yang juga sudah saya akrabi sejak tahun 1995-an itu, seseorang di seberang sana menyapa saya dengan gaya sok akrab.
“Bang, sudah lupa sama saya ya?,” begitu awal percakapan tak terduga di jalur telepon genggam.
Saya yang lagi fokus menulis berita tentu saja dibuat kaget sekaligus girang. Wah, ini pasti teman lama alumni seminari atau awak media massa yang sudah lama tidak ketemu dan pernah meliput bersama.
Begitulah alam pikir spontan yang menguasai saya.
Lalu di seberang sana, kemudian langsung nerocos cerita: “Ah, bagaimana mana sih Abang kok bisa sampai melupakan kawan lama sendiri?,” katanya kemudian.
Sejenak saya ikut merasa bersalah, karena biasanya memori saya cepat mengingat nama orang dan dimana atau kapan bertemu. Namun kali ini, saya dibuat mati kutu. Soalnya, dia ‘menantang’ saya untuk kembali mengenali dia hanya melalui nada suara di ujung telepon.
Kemudian orang di sana mengaku bernama Agus, seorang perwira polisi.
Nah, begitu sebut nama, saya langsung ingat salah seorang kerabat yang memang bernama Agus. Ia memang seorang polisi, namun bertugas di wilayah Ciamis, Tasikmalaya, Jabar.
Tapi, si “Agus” anonim ini mengaku diri sudah pindah tugas dari daerah ke Polda Metro Jaya. Ia pun menambahi informasi penting: “Bang, saya dinas di bagian direktorat Narkoba,” begitu akunya.
Lantas, kemudian saya ‘tegur’ si Agus ini. Kenapa tidak menyempatkan diri pulang mudik, ketika kakak kandungnya nomor dua dari atas meninggal dunia pertengahan Februari 2016 lalu?
Begitu tukas saya mengalikan isu pembicaraan. Si Agus tidak menjawab dan hanya berpesan bahwa nomornya supaya disimpan agar kalau dia telepon, saya langsung bisa mengingatnya.
Ketika saya menyebutkan seorang perwira polisi berpangkat komisaris besar yang menjadi teman akrab sejak tahun 1878, si Agus ini sepertinya bungkam tidak merespon informasi. Mestinya, sebagai sesama polisi, tentu saja rasa ingin tahunya menggelak ketika diberitahu bahwa ada seorang perwira berpangkat kombes menjadi dosen di PTIK Jakarta. Namun, si Agus sepertinya ‘kosong’ merespon isu pembicaraan ini.
Hanya selang 15 menit kemudian, si Agus ini telepon lagi. Kali ini nada bicaranya dibuat-buat memelas.
“Bang, bantu saudara sendiri. Mau pinjam uang untuk keluarga. Urusan mendesak. Hanya Rp 1 juta saja ya,” begitu pinta dia.
Untunglah, beberapa pekan sebelumnya, saya sudah diwanti-wanti orang agar tidak meladeni omongan orang di jalur HP dengan nomor-nomor yang tidak dikenal atau dengan orang yang mengaku kenal sok akrab dengan main tebak-tebakan.
Karena itu, permintaan pinjam uang itu pun tidak saya gubris. Kata saya, “Silakan hubungi saudara-saudarimu saja. Saya kan bukan saudara kandungmu,” begitu jawaban saya.
Begitu juga, ketika saya sebutkan nama kakak kandungnya yang pertama agar dia pinjam duit sama saudara sendiri, Agus sepertinya juga bergeming. Gak ngaruh, karena memang sasarannya adalah saya.
Nah, karena saya mulai tidak peduli dengan omongan dia, maka si Agus mulai kebakaran jenggot lantaran jebakannya tidak kena.
Lalu, sejurus kemudian, berkali-kali dia melakukan panggilan telepon dan ketika saya angkat dia tidak menjawabnya. Kali lain, dia melakukan panggilan dan kali ini HP saya tidak saya angkat.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)