TIDAK pernah terbayang dalam mimpi terliar masa kecilku sekalipun, segala lika liku rahmat demi rahmat yang aku alami semenjak aku menerima tahbisan suci di bulan Agustus 2006.
Kucoba merangkai benang merah, mengurai setiap simpul jejak-jejak Tuhan ketika kasihNya memanggil namaku dengan lembutnya.
April 1992 menjadi bulan yang tidak bisa aku lupakan. Karena pada saat itu Josep muda, yang saat itu masih duduk di bangku SMP, mulai berani mengungkapkan untuk pertama kali ketertarikannya untuk menjadi seorang PASTOR.
Pada waktu itu, di Sabtu sore, di pelataran sekolahku diadakan Misa Penyembuhan Romo Yohanes Indrakusuma. Karena bujukan teman-teman misdinar aku pun ikut acara itu.
Sampai tiba saat Romo Yohanes beserta tim nya berdoa, dan mengundang orang-orang yang hadir maju ke depan untuk ditumpangkan tangan dan didoakan, hatiku semakin bergetar tak karuan.
Ada sebuah kuasa luar biasa bekerja di dalam diriku, entah apa namanya, aku tidak tahu pada saat itu.
Belum pernah aku mengalami ada kuasa yang begitu besar seperti itu sebelumnya.
Mulut dan kakiku lemas, serasa terkunci, tangan dan badanku kaku, berkeringat dingin serta kesemutan.
Aku tidak bisa bergerak.
Tetapi di saat yang sama ada suara dari dalam batinku, yang terus menerus mengundangku untuk maju ke depan.
Terjadi pergulatan yang cukup “aneh” bila dialami oleh seorang anak SMP culun sepertiku.
Aku tetap tidak bisa bergerak sampai hampir semua umat yang hadir selesai didoakan di depan.
Tiba-tiba ada sebuah tenaga lembut yang begitu hangat dan damai, mencairkan segala kebekuanku, melancarkan kembali nafas dan aliran darahku.
Kuberanikan kakiku melangkah ke depan, selangkah demi selangkah.
Aku sampai di depan seorang “frater”,
ia berbisik di telingaku:
“jangan kamu lawan Panggilan itu”
(kok dia bisa tahu “rahasia” hatiku?)
Mulutku perlahan berkata dengan terbata-bata. Aku mengucapkan kata-kata yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya:
“saya mau jadi PASTOR, tolong doakan dan kuatkan saya.”
Setelah kata-kata itu aku ucapkan,
air mataku pun mengalir deras,
tetapi bukan kesedihan yang aku rasakan, tetapi semacam “rasa bahagia” dan kelegaan luar biasa.
Itulah untuk pertama kali seorang Josep menjawab panggilan Tuhan.
Tetapi karena waktu itu aku masih terlalu muda, pengalaman rohani itu perlahan terlupakan, dan sampai muncul kembali di akhir masa SMAku.
Setamat SMA aku pun memutuskan untuk masuk Seminari di tahun 1995.
Aku yakin ada banyak orang di luar sana juga mengalami pengalaman seperti yang saya alami.
Namun tidak sedikit yang memendam dan melupakan peristiwa “tersentuh” itu entah karena takut, malu, ataupun tidak menghiraukannya.
Para imam yang Anda kenal adalah orang yang menanggapi pengalaman rohani itu. Dalam kerapuhan dan kelemahan rohani mereka, mereka berkata: YA terhadap panggilan itu. Meski kadang mereka tidak mengerti “arti” dan konsekwensi dari jawaban itu.
Kadang dalam hidup dibutuhkan orang-orang yang berani, sedikit nekad, tidak jarang dianggap “aneh”, nyeleneh, atau malahan “sedikit bumbu kegilaan.”
Karena orang-orang seperti itulah panggilan imam masih terus “ada” di arus jaman super canggih ini, meski semakin lama semakin sedikit jumlahnya.
Saudara-saudariku terkasih,
Support imam-imammu, entah yang Anda kenal maupun yang jauh di sana, yang sedang mengalami keraguan, kesulitan, kesepian, masalah silih berganti.
Doakan mereka untuk mengingat kembali sejarah panggilan mereka, menemukan kembali kekuatan dasyat yang dulu pernah ada. Kekuatan maha dasyat yang menarik mereka untuk berkata YA dan SETIA pada panggilan itu.
Tuhan Yesus memberkati dan menguatkan setiap imam di seluruh dunia, termasuk aku, si Josep kecil.
Manila 17 April 2016.
Salamku, Romo Josep Susanto.