LIMA tahun terakhir ini, banyak sekolah di Jabodetabek mulai mengakrabi metode pengajaran berbasis IT. Karena itu, banyak sekolah mulai mengadopsi sistem metodologi pengajaran berbasis aplikasi komputer.
Untuk keperluan ini, sekolah lalu menyediakan perangkat keras maupun lunaknya untuk keperluan metodologi pengajaran baru ini. Maka lalu dipasanglah infocus, baik murid maupun guru datang ke sekolah membawa laptop untuk proses ajar baru di kelas.
Tuntutan zaman
Ini merupakan ‘revolusi’ metodologi pengajaran modern karena tuntutan zaman. Guru tidak perlu lagi nyerocos selama 45 menit memberi materi ajar dengan sistem klasikal-konvensional: presentasi secara oral. Murid juga tidak perlu menunggu waktu bosan, ketika guru tanpa henti ‘berorasi’ memberi materi ajar dan ketika murid kadang tidak mengerti materi ajar.
Kini, baik guru maupun murid butuh ‘ruang bersama’ untuk saling berinteraksi membahas materi ajar. Berkat metodologi pengayaan materi ajar yang diolah bersama itu, maka di kelas terjadilah tidak hanya transfer pengetahuan dari guru kepada murid.
Lebih dari itu, tercipta pula ‘kesepahaman bersama’ atas materi ajar sehingga baik guru maupun murid lalu bersama-sama terpacu meningkatkan gairah rasa ingin tahunya terhadap materi ajar.
Pada titik persinggungan inilah, baik murid maupun guru lalu sadar bahwa proses transfer pengetahuan itu selalu berkembang.
Ada penemuan-penemuan baru yang membutuhkan pemahaman baru dan kesepahaman pengetahuan bersama atas hal-hal baru tersebut.
Nah, di sinilah pentingnya ketersediaan program-program aplikasi pengajaran berbasis teknologi IT agar proses belajar-mengajar yang diampu murid bersama mentornya (baca: guru) bisa berlangsung lancar, efektif, dan efisien.
Daya pikat dan jual
Karena itu, banyak sekolah lalu berlomba-lomba membangun fasilitas metode ajar berbasis teknologi IT sebagai ‘selling point” guna bisa menarik minat para orangtua mengirimkan anak-anaknya bersekolah di lembaga pendidikan ini.
Sekarang ini, nyaris tidak ada orangtua di Jakarta yang tidak merasa tergelitik bertanya kepada pihak sekolah: apakah sudah ada sistem metode ajar berbasis IT belum?
Jika belum, bisa jadi orangtua akan berpikir ulang mau menyekolahkan anaknya di sekolah. Singkat kata, perangkat IT lengkap sebagai pendukung metode pengajaran modern kini sudah harus tersedia di sekolah-sekolah.
Kalau hal itu terjadi di Ibukota Jakarta, maka keniscayaan seperti itu sudah tidak mengherankan.
Tapi kalau perangkat IT modern dengan penerapan sistem metodologi pengajaran berbasis aplikasi program komputer itu terjadi di garis tapal batas Indonesia – Timor Leste di Timor Barat, sudah barang tentu hal ini merupakan capaian prestasi luar biasa.
Inilah yang saya temukan di SMA Surya Atambua di wilayah teritorial Kabupaten Belu, Timor Barat, NTT – sekitar 10 km dari pos tapal batas di Motaainatau satu jam penerbangan dari Ibukota NTT Kupang.
Sejak tahun 1958
SMA Surya Atambua mencatat sejarah berdirinya pada tahun 1958, ketika para imam misionaris SVD –terutama Pastor Pieter Verharen SVD– merintis sekolah swasta katolik ini di Timor Barat.
Beberapa tahun kemudian, terjadilah alih generasi kepemimpinan dari tangan misionaris SVD ke tangan para awam katolik. Baru pada tahun 2000-an, pihak Keuskupan Atambua mengambil oper tongkat kepemimpinan awam katolik kepada para imam diosesan keuskupan.
Untuk itu, dua imam diosesan Keuskupan Atambua lalu ditugaskan mengurus layanan pastoral pendidikan ini: Romo Benjamin “Min” Seran Pr dan Romo Yosep Ukat Pr.
Maka, Romo Min lalu angkat koper meninggalkan Seminari Lalian di pinggrian kota Atambua menuju SMA Surya Atambua; pun pula Romo Yosep Ukat harus meninggalkan paroki binaannya menuju ladang pastoral yang baru di bidang pendidikan anak-anak muda di SMA Suria Atambua.
Tahun-tahun 1999 hingga 2001 menjadi masa-masa suram bagi sekolah katolik milik Keuskupan Atambua ini.
Kompleks sekolahan yang maha luas ini menjadi semacam permukiman baru bagi para pengungsi politik yang melarikan diri dari Timtim pasca Insiden Dili. Lingkungan sekolah menjadi tidak terawat dan terkesan kumuh.
Merasa karena tidak punya tenaga spesialis pendidikan, pihak Keuskupan Atambua mengundang para suster untuk bersedia mengelola aset pendidikan ini.
Namun, di tengah jalan program ini berhenti berjalan sehingga pihak Keuskupan memutuskan mengirim para imam diosesannya untuk mengelola lembaga pendidikan ini.
Latar belakang inilah yang akhirnya membawa dua pastor diosesan Keuskupan Atambua yakni RD Benjamin “Min” Seran dan RD Yosep Ukat berkarya di SMA Suria Atambua sejak tahun 2001 hingga sekarang.
Merintis pelan dan sukses di kemudian hari
Ketika ditugaskan Bapak Uskup untuk berkarya di SMA Surya Atambua ini, Romo Min hanya bisa mengernyitkan dahi. Ia merasa sudah sangat nyaman berkarya sebagai KepSek di Seminari Lalian mendidik para calon imam.
Romo Yosep Ukat Pr juga sudah merasa nyaman berkarya di paroki. Namun tugas baru menanti mereka hingga akhirnya berdua dikaryakan di medan pastoral pendidikan anak-anak muda.
Secara perlahan, kerja keras menata situasi mereka lakukan. Kesan kumuh dibersihkan.
Taman luas di kompleks sekolahan dibersihkan; pula pula ‘hutan’ pepohonan yang tak terawat berikut timbunan sampah di taman ekolah juga dibereskan.
Hasil kerja keras di awal-awal tahun berkarya di SMA Suria Atambua ini akhirnya berbuah manis beberapa tahun kemudian. (Berlanjut)
Kredit foto: Mathias Hariyadi
Baca juga: SMA Katolik Suria Atambua, Ruang Terbuka Hijau Plus Pengajaran Berbasis Aplikasi IT (2)